MUSIBAH kelaparan tahun 1963 di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah masa paling mengerikan dalam hidup Trisno Suwito (60), warga Dusun Plarung, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul. Setiap hari ada saja warga Gunung Kidul yang mati karena kelaparan.

"Kami enggak peduli walaupun sehabis makan umbi beracun perut kami melilit, yang penting kami masih bisa bertahan hidup," kata petani yang tergolong miskin ini.

...

Hingga tahun 1980-an umbi-umbian liar masih menjadi cadangan makanan penting selain nasi bagi warga Desa Sawahan. Mereka biasa menyebut umbi-umbian itu sebagai peganjel lumbung. Artinya, kalau musim paceklik dan petani tidak memiliki nasi, mereka akan memakan umbi-umbian untuk mengganjal perut.

MEMASUKI pertengahan tahun 1980-an, zaman berubah ketika program swasembada beras yang digulirkan Orde Baru berjalan lancar. Petani mendapat bibit padi dan pupuk dengan mudah. Mereka pun dapat memanen padi dan palawija bergantian setiap tahun. Meski tetap hidup pas-pasan, mereka tidak mengalami kelaparan lagi. Mereka dapat makan dengan nasi yang merupakan simbol kemakmuran ketika itu.

Namun, sejak saat itu pula warga Gunung Kidul melupakan umbi-umbian sebagai peganjel lumbung. Mengonsumsi umbi-umbian sebagai bahan makanan pokok seperti memutar kaset tentang masa-masa kelaparan yang sebenarnya ingin mereka kubur dalam-dalam. Karena itu, umbi-umbian pun turun derajat sebagai campuran pakan ternak.

Sebagian petani bahkan menyingkirkan umbi-umbian berduri dari ladangnya masing-masing yang tidak laku dijual. Akibatnya, mulai tahun 1990-an beberapa jenis umbi sulit ditemukan dari Gunung Kidul, padahal umbi-umbian adalah tanaman khas yang bisa hidup dengan baik di perbukitan kering seperti Gunung Kidul.

Ir Nursanti Widi Arimbi MP, dosen Fakultas Pertanian Universitas Wangsa Manggala, Bantul, Yogyakarta, yang mendalami umbi-umbian mencatat beberapa umbi seperti gembili jempina dan gembili wulung menghilang dari Gunung Kidul sejak tahun 1995.

Tidak mengherankan jika kini generasi baru di Gunung Kidul mungkin hanya tahu nama umbi-umbian itu dari orangtua mereka tanpa pernah melihat sendiri.

AYAH Trisno, Noyo Semito yang petani miskin, ternyata tidak termasuk warga yang melupakan sejarah. Karena itu, ketika petani lain menyingkirkan umbi-umbian, Noyo tetap menanam beberapa di antaranya di pekarangan rumahnya yang sempit.

Sebelum meninggal pada tahun 2000, Noyo sempat berpesan kepada Trisno agar menyelamatkan umbi-umbian langka dan menanamnya kembali di ladang. Penyelamatan umbi-umbian itu merupakan wujud dari rasa terima kasih keluarga Noyo kepada umbi-umbian yang menyelamatkan keluarga mereka.

"Bapak saya bilang, ’Kalau kamu tetap menanam umbi, ketika ada kelaparan lagi kamu enggak akan mati’," kata ayah tiga anak yang lahir dan besar di Dusun Plarung ini.

Usaha mengumpulkan dan menyelamatkan umbi-umbian langka dilakukan Trisno secara serius sejak 2,5 tahun lalu. Pengetahuan mengenai umbi-umbian semata dia peroleh dari ayahnya dan pengalaman masa kecil. Selebihnya, dia didampingi Kelompok Kerja Pemberdayaan Agrotani, lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta yang bergerak di bidang pangan.

Sebagai petani yang pendidikan sekolah dasar pun tak tamat, Trisno tidak mengenal ensiklopedi tanaman. Namun, kalau sudah bertutur soal umbi-umbian dia bisa menjelaskan ciri masing-masing umbi langka mulai dari bentuk daun, batang, hingga durinya. Bahkan, sekaligus cara mengolah umbi-umbian yang sebagian beracun itu agar aman dikonsumsi manusia.

Untuk mencari umbi-umbian yang sebagian besar langka itu, hampir tiap hari Trisno meniti bukit-bukit dengan batu cadas nan tajam di sekitar desanya. Kadang dia merasa frustrasi karena umbi yang dulu biasa dia konsumsi seakan menghilang ditelan bumi.

"Beberapa bibit umbi saya dapat di sela-sela batu cadas yang ada di bukit. Itu pun cuma satu batang dan sudah hampir mati," katanya.

Saat ini Trisno berhasil mengumpulkan sekitar 150 jenis umbi, termasuk yang langka seperti gembili jempina (Dioscorea sp) dan gembili wulung/ungu (Dioscorea sp). Umbi-umbian lainnya yang diselamatkan antara lain umbi senggani ulo yang bentuknya mirip ular yang melingkar, umbi legi, compleng (Amorphopallus sp), coklok, katak (Dioscorea pentafolia), dan beberapa jenis ganyong (Kanna edulif).

Umbi-umbian langka itu dia tanam lagi di ladang miliknya yang luasnya hanya seperempat hektar. Selain sempit, ladang milik Trisno Suwito seperti ladang-ladang di daerah Perbukitan Seribu pada umumnya, hanya berupa petak tandus yang ada di sela-sela bebatuan cadas. Tumbuh-tumbuhan, termasuk umbi-umbian, di ladang itu seperti tumbuh di atas batu. Kedalaman tanah di ladang itu kadang hanya 10 cm, selebihnya yang ditemukan melulu bebatuan.

UNTUK petani sekelas Trisno, upaya mengumpulkan umbi langka itu pastilah menguras koceknya yang sudah tipis. Dia mengaku, untuk membeli bambu sebagai rambatan umbi-umbian itu dia harus mengeluarkan uang Rp 1.000 per batang. "Sudah habis ratusan batang, jadi uang saya sudah ratusan ribu rupiah melayang. Buat saya itu besar sekali, bisa untuk membeli teve," katanya.

Namun, modal yang dikeluarkan, kata Trisno, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hasilnya. Dia menyamakan usaha mengumpulkan umbi-umbian seperti mengumpulkan harta karun. "Ini harta karun buat generasi sekarang dan yang akan datang," katanya.

Saat ini, lanjut Trisno, hampir setiap bulan ada saja mahasiswa atau sarjana, terutama dari Universitas Gadjah Mada, mendatanginya untuk mengenal umbi langka itu. Belum lama ini seorang kandidat doktor dari Nusa Tenggara Barat secara khusus meneliti umbi-umbian langka koleksinya.

"Saya senang kalau ada yang datang ke sini meneliti atau sekadar bertanya. Saya merasa usaha keras saya dihargai," katanya.

Namun, penghargaan terbesar yang dia rasakan adalah panggilan baru yang disematkan warga di desanya. Sejak menemukan gembili jempina, Trisno lebih sering dipanggil Pak Jempina. (BUDI SUWARNA)
Sumber : Kompas

Diposting oleh petani berdasi

0 komentar:

Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved