Kamis, 29 Januari 2009
di
19.30
|
DIA nyaris dianggap gila oleh para tetangga dan keluarganya. Siang- malam, sejak tahun 2000, Mbah Hadi Jatmiko (72) selalu menunggui jati-jati kecil yang baru ditanamnya di tanah kosong, sekitar 500 meter dari rumahnya. "Ibaratnya, daunnya tambah satu saja saya tahu," kata kakek bercucu empat itu.
APA yang dilakukan Mbah Hadi membuat Kartinem (67), istrinya, menjadi makin jengkel saja. Apalagi Mbah Hadi tiba- tiba menjual lahan kolam lele seisinya untuk dibelikan bibit jati. "Saya sempat didiamkan mbokne dan tidak dimasakkan nasi. Saya juga dianggap gila oleh mbokne karena menjual kolam lele, dan uangnya habis saya belikan bibit jati," katanya sambil memiringkan jari di keningnya. "Mbokne" adalah kosakata dalam bahasa Jawa yang artinya istri.
Orang-orang desa kala itu ikut menertawakan pensiunan karyawan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sleman (1992), Provinsi DI Yogyakarta, itu. Akan tetapi, Mbah Hadi jalan terus, istilah setempatnya ndableg. Ia malah meminta para tetangganya mengambil gratis rumpun bambu di lahan itu sebelum diambil pembeli lahan.
Sebanyak 4.000 batang bibit jati yang dibelinya dari Ngawi, Jawa Timur, lalu ditanamnya di tanah kosong tak produktif, seluas 4.000 meter persegi. Untuk membeli tanah yang lebih luas itu, Mbah Hadi terpaksa "berjudi" dengan meminjam uang dari bank sebesar Rp 6 juta, dengan jaminan surat keterangan pensiunan pegawai negeri golongan II B.
Tiga tahun setelah itu, ribuan pokok jati yang ditanam memberinya kegembiraan. Tanaman itu tumbuh subur. Tinggal menunggu waktu memetik hasilnya.
CIRI khas orang-orang yang bakal meraih sukses: mereka berani mengambil risiko, termasuk menjual kolam lele dan berutang uang seperti Mbah Hadi tadi. Mbah Hadi adalah warga Dusun Jetis Kaliurang, Desa Sumber Agung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, kira-kira 20 kilometer sebelah barat Kota Yogyakarta.
Rumah Mbah Hadi di sudut dusun kini sejuk dikelilingi pohon jati yang rimbun. Rumah dari kayu jati itu besar tetapi amat sepi, hanya ditempati Hadi dan Kartinem. Keempat anaknya telah berkeluarga dan meninggalkan mereka.
Di sebelah rumahnya ada lapangan bulu tangkis yang dipakai untuk menjemur jagung dan biji-biji jati. Ini adalah lapangan yang punya arti khusus baginya serta membanggakannya. Tahu, apa sebabnya? Dulu, lapangan itu dipakai anak bungsunya, Finarsih, atlet bulu tangkis nasional, untuk berlatih.
"Kesepian ini yang membuat saya ingin berbuat sesuatu, ya, semacam tetenger (penanda-Red) bagi anak-cucu," kata Mbah Hadi.
Jalan hidup Mbah Hadi menguak perspektif lain ketika pada tahun 1999 ia berkelana ke Ngawi, Jawa Timur, untuk mencari sahabat lamanya. Di sana dia mendapat "pencerahan" tentang berharganya pohon jati dari Lurah Kapitu, Ngawi.
"Saya masih ingat perkataannya ketika itu: jati adalah warisan terbaik untuk anak dan cucu. Rumah sebaik apa pun kalah berharga dibandingkan dengan jati. Rumah akan lapuk di makan usia, tetapi jati semakin tua kian berharga," katanya. Ia lalu merangkai pemahamannya begini: menanam jati berarti belajar mengetahui kesejatian hidup, intisari hidup. "Nanem jati itu harus bisa sepi ing pamrih (jauh dari pamrih) karena hasil dari jati bukan kita yang akan memetiknya," katanya.
Pencerahan itulah yang menggerakkan jiwanya. Dengan telaten ia merawat jati-jati kecil yang ditanamnya sembari selalu menjelaskan kepada semua warga di dusunnya tentang berharganya jati. "Kalau tanah dibiarkan ditumbuhi semak belukar, sampai 20 tahun pun akan tetap menjadi semak belukar. Tetapi, kalau ditanami jati, 20 tahun lagi akan bernilai tinggi."
Sebagian tetangganya pun meminta bantuan Mbah Hadi menanam dan merawat jati, dan Mbah Hadi ingin mengembangkan pembibitan jati, dibantu dua petani jati dari Ngawi. "Kalau bibit jati diberikan begitu saja, mereka pasti akan menyia-nyiakannya. Mereka harus membeli biar tahu bahwa jati itu sudah berharga sejak masih bibit," katanya tentang bisnis bibit jati yang harganya Rp 2.500 per batang.
Warga Dusun Jetis Kaliurang, yang kebanyakan petani padi, akhirnya mulai menanami lahan kosong tak produktif dengan pokok jati, lalu terbentuk pula Kelompok Tani Jati Lestari di dusunnya. Dalam tempo empat tahun, kelompok tani yang beranggota 20 orang ini sudah menanam 49.000 batang jati. Pada saat bersamaan, ia juga diminta oleh beberapa daerah untuk mengajari penduduk di Indonesia cara menanam jati, mulai dari Prambanan (DIY), Wonosobo, Purwokerto, dan Banjarnegara (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), sampai Tapanuli (Sumatera Utara). Total tanah yang telah "ditaklukkan" kakek tua itu dengan pohon jati tak kurang dari 50 hektar.
JATI-jati tertua yang ditanam Mbah Hadi baru mencapai ketinggian sekitar 12 meter dengan diameter sepuluh sentimeter. Sedikitnya, masih butuh waktu 15 tahun lagi untuk dipanen. "Mungkin saya sudah mati saat jati-jati ini bisa dipanen. Pokoknya, kalau menanam jati itu jangan memikirkan hasilnya sekarang, tetapi kita harus ikhlas," katanya.
Ia bahkan ngelantur berkata, "Cukup, jati itu nanti menjadi kijing (peti mati) saya, saya sudah puas," katanya.
Sebenarnya kakek tua ini sedang menjalani apa yang jarang dilakukan oleh umumnya bangsa ini: mencintai proses, tanpa terpana pada hasil. Pertumbuhan pohon-pohon jati itu-meminjam istilah dia-adalah tetenger atau penanda tentang orang yang setia dengan keyakinannya akan sesuatu yang baik, bermanfaat, meski boleh jadi bukan dia sendiri nanti yang menikmatinya, melainkan anak cucunya. Dalam kultur "jalan pintas" sekarang, adakah yang berpikir semacam itu sekarang, Saudara-saudara?
Mbah Hadi tentu boleh sedikit "ge-er" sekarang karena ia merasa tak akan pernah dilupakan dan dikalahkan oleh waktu. "Kelak cucu-cucu saya pasti akan mengelus nisan saya. Mereka akan teringat dan bangga dengan apa yang saya tinggalkan. Saya juga bisa mati dengan tenteram," katanya. (K10)
Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/19/naper/919971.htm
APA yang dilakukan Mbah Hadi membuat Kartinem (67), istrinya, menjadi makin jengkel saja. Apalagi Mbah Hadi tiba- tiba menjual lahan kolam lele seisinya untuk dibelikan bibit jati. "Saya sempat didiamkan mbokne dan tidak dimasakkan nasi. Saya juga dianggap gila oleh mbokne karena menjual kolam lele, dan uangnya habis saya belikan bibit jati," katanya sambil memiringkan jari di keningnya. "Mbokne" adalah kosakata dalam bahasa Jawa yang artinya istri.
Orang-orang desa kala itu ikut menertawakan pensiunan karyawan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sleman (1992), Provinsi DI Yogyakarta, itu. Akan tetapi, Mbah Hadi jalan terus, istilah setempatnya ndableg. Ia malah meminta para tetangganya mengambil gratis rumpun bambu di lahan itu sebelum diambil pembeli lahan.
Sebanyak 4.000 batang bibit jati yang dibelinya dari Ngawi, Jawa Timur, lalu ditanamnya di tanah kosong tak produktif, seluas 4.000 meter persegi. Untuk membeli tanah yang lebih luas itu, Mbah Hadi terpaksa "berjudi" dengan meminjam uang dari bank sebesar Rp 6 juta, dengan jaminan surat keterangan pensiunan pegawai negeri golongan II B.
Tiga tahun setelah itu, ribuan pokok jati yang ditanam memberinya kegembiraan. Tanaman itu tumbuh subur. Tinggal menunggu waktu memetik hasilnya.
CIRI khas orang-orang yang bakal meraih sukses: mereka berani mengambil risiko, termasuk menjual kolam lele dan berutang uang seperti Mbah Hadi tadi. Mbah Hadi adalah warga Dusun Jetis Kaliurang, Desa Sumber Agung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, kira-kira 20 kilometer sebelah barat Kota Yogyakarta.
Rumah Mbah Hadi di sudut dusun kini sejuk dikelilingi pohon jati yang rimbun. Rumah dari kayu jati itu besar tetapi amat sepi, hanya ditempati Hadi dan Kartinem. Keempat anaknya telah berkeluarga dan meninggalkan mereka.
Di sebelah rumahnya ada lapangan bulu tangkis yang dipakai untuk menjemur jagung dan biji-biji jati. Ini adalah lapangan yang punya arti khusus baginya serta membanggakannya. Tahu, apa sebabnya? Dulu, lapangan itu dipakai anak bungsunya, Finarsih, atlet bulu tangkis nasional, untuk berlatih.
"Kesepian ini yang membuat saya ingin berbuat sesuatu, ya, semacam tetenger (penanda-Red) bagi anak-cucu," kata Mbah Hadi.
Jalan hidup Mbah Hadi menguak perspektif lain ketika pada tahun 1999 ia berkelana ke Ngawi, Jawa Timur, untuk mencari sahabat lamanya. Di sana dia mendapat "pencerahan" tentang berharganya pohon jati dari Lurah Kapitu, Ngawi.
"Saya masih ingat perkataannya ketika itu: jati adalah warisan terbaik untuk anak dan cucu. Rumah sebaik apa pun kalah berharga dibandingkan dengan jati. Rumah akan lapuk di makan usia, tetapi jati semakin tua kian berharga," katanya. Ia lalu merangkai pemahamannya begini: menanam jati berarti belajar mengetahui kesejatian hidup, intisari hidup. "Nanem jati itu harus bisa sepi ing pamrih (jauh dari pamrih) karena hasil dari jati bukan kita yang akan memetiknya," katanya.
Pencerahan itulah yang menggerakkan jiwanya. Dengan telaten ia merawat jati-jati kecil yang ditanamnya sembari selalu menjelaskan kepada semua warga di dusunnya tentang berharganya jati. "Kalau tanah dibiarkan ditumbuhi semak belukar, sampai 20 tahun pun akan tetap menjadi semak belukar. Tetapi, kalau ditanami jati, 20 tahun lagi akan bernilai tinggi."
Sebagian tetangganya pun meminta bantuan Mbah Hadi menanam dan merawat jati, dan Mbah Hadi ingin mengembangkan pembibitan jati, dibantu dua petani jati dari Ngawi. "Kalau bibit jati diberikan begitu saja, mereka pasti akan menyia-nyiakannya. Mereka harus membeli biar tahu bahwa jati itu sudah berharga sejak masih bibit," katanya tentang bisnis bibit jati yang harganya Rp 2.500 per batang.
Warga Dusun Jetis Kaliurang, yang kebanyakan petani padi, akhirnya mulai menanami lahan kosong tak produktif dengan pokok jati, lalu terbentuk pula Kelompok Tani Jati Lestari di dusunnya. Dalam tempo empat tahun, kelompok tani yang beranggota 20 orang ini sudah menanam 49.000 batang jati. Pada saat bersamaan, ia juga diminta oleh beberapa daerah untuk mengajari penduduk di Indonesia cara menanam jati, mulai dari Prambanan (DIY), Wonosobo, Purwokerto, dan Banjarnegara (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), sampai Tapanuli (Sumatera Utara). Total tanah yang telah "ditaklukkan" kakek tua itu dengan pohon jati tak kurang dari 50 hektar.
JATI-jati tertua yang ditanam Mbah Hadi baru mencapai ketinggian sekitar 12 meter dengan diameter sepuluh sentimeter. Sedikitnya, masih butuh waktu 15 tahun lagi untuk dipanen. "Mungkin saya sudah mati saat jati-jati ini bisa dipanen. Pokoknya, kalau menanam jati itu jangan memikirkan hasilnya sekarang, tetapi kita harus ikhlas," katanya.
Ia bahkan ngelantur berkata, "Cukup, jati itu nanti menjadi kijing (peti mati) saya, saya sudah puas," katanya.
Sebenarnya kakek tua ini sedang menjalani apa yang jarang dilakukan oleh umumnya bangsa ini: mencintai proses, tanpa terpana pada hasil. Pertumbuhan pohon-pohon jati itu-meminjam istilah dia-adalah tetenger atau penanda tentang orang yang setia dengan keyakinannya akan sesuatu yang baik, bermanfaat, meski boleh jadi bukan dia sendiri nanti yang menikmatinya, melainkan anak cucunya. Dalam kultur "jalan pintas" sekarang, adakah yang berpikir semacam itu sekarang, Saudara-saudara?
Mbah Hadi tentu boleh sedikit "ge-er" sekarang karena ia merasa tak akan pernah dilupakan dan dikalahkan oleh waktu. "Kelak cucu-cucu saya pasti akan mengelus nisan saya. Mereka akan teringat dan bangga dengan apa yang saya tinggalkan. Saya juga bisa mati dengan tenteram," katanya. (K10)
Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/19/naper/919971.htm
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar