Rabu, 28 Januari 2009 di 07.26 |  

Uwan disini = Kakak/Abang
Minggu lalu Uwan ketemu Wisnu di Yogya. Ia menceritakan perjalanan nasibnya sejak menganggur menyusul krisis ekonomi pertengahan 98 lalu. Setelah pesangonnya sebagai bankir ludas, mereka sekeluarga nyaris bergantung pada penghasilan istrinya sebagai guru SD bergolongan IIC. Tentu tak cukup, mana anaknya yang besar harus masuk SMP tahun lalu.

Namun bagaimanapun kehidupan mesti jalan terus. Wisnu kerja serabutan menutupi biaya keluarga. Masih tak cukup, ia terus putar otak mengatasi problem basic need keluarga. Berbagai business Plan telah dirancang dan ditawar-tawarkannya kepada bank untuk dibiayai dan calon investor. Tapi tak ada yang berminat.
...

Akhirnya ia menemukan fenomena lingkungan yang kalau digarap serius akan memberi hasil baik. Dalam hitungannya, pengelolaan sampah di kompleksnya akan memberikan hasil menarik bila dipadukan dengan unit ekonomi lain. Maka dikumpulkannya 9 pemulung yang biasa menjemput sampah kerumah-rumah di Perumnas Minomartani, Ngagglik - Kabupaten Sleman. Perumnas ini terdiri dari 2943 rumah dalam kawasan yang cukup luas.

Sebagai ekonom ia meyakinkan pemulung akan peluang yang cukup signifikan bila sampah diolah secara terpadu. Jadilah, kelompok bisnis berbasis pemulung dan pengangguran eks Bank swasta terkenal. Bersepuluh mereka menghadap lurah untuk menyewa fasos-fasum kompleks seluas 500 m2 yang dijadikan depo sampah. Sewanya setengah juta setahun dibayar belakangan. Depo dikhususkan untuk gudang pengumpulan; hamparan pengomposan dan 8 kolam ikan lele ukuran 3 x 4 meter persegi.

Pelaksanaannya sebagai berikut :
9 pemulung tetap bekerja seperti biasa, menjemput sampah dari rumah ke rumah. Sekitar jam 9 pagi semuanya sudah selesai. Pemulung mendapat gaji dari retribusi sampah kompleks dan itu dinyatakan sebagai basic salary. Nilainya rata-rata berkisar 200 – 250 ribu rupiah.
Dibawah koordinasi Wisnu, pemulung menyortir sampah menjadi onggokan plastik; kaca; kaleng dan sampah organik. Sampah organik mencapai 75 %.
Plastik, kaca dan kaleng dikumpulkan pada karung khusus dan dijemput pembeli dari pabrik-pabrik dua kali sebulan.

Disamping koordinator, Wisnu merangkap pemasaran dan membuka kontak hubungan dengan berbagai pihak lain. Perguruan tinggi mau membantu menganalisis kulaitas kompos, pihak pabrik mau membeli hasil sortiran dan pedagang ikan mau memborong produksi lele.
Sampah organik dibuat kompos dengan pola terbuka (sistem aerob).
Pengomposan terbuka dilaksanakan dengan suku rendah (dibawah 70 derjat). Bila suhu meninggi, dilakukan pembalikan dan penyiraman.

Pengomposan berlangsung 30 hari, dimana selama 15 hari proses dihasilkan ulat/ belatung yang jumlahnya cukup banyak. Rata-rata depo menghasilkan 8 kilogram ulat belatung perhari.
Paralel dengan proses pengomposan, bibit ikan lele ditabur sebanyak 3000 ekor per-kolam yang ukuran bibitnya 4- 6 centimeter.
Makanan utama ikan lele adalah belatung yang fully protein tersebut, setengah kilogram pagi dan setengahnya lagi sore hari.

Hari ketiga puluh lele dipanen untuk diganti dengan bibit baru. Panenan berupa ikan lele berukuran berat 10 ekor perkilo. Artinya tiap kolam menghasilkan 300 kilogram lele siap goreng. Total produksi ikan perbulan jadinya 2,4 ton saja.
Kelompok pemulung terintegrasi ini memperoleh penghasilan perbulan cukup banyak, yakni dari penjualan plastik-kaca-kaleng mencapai 4 juta rupiah. Kompos seberat 14 ton berkontribusi 7 juta rupiah. Ikan lele justru tertinggi, yakni 12 juta rupiah. Total jenderal 23 juta rupiah.

Penghasilan ini dibagi rata masing-masing 2 juta perorang, 3 juta sisanya untuk membayar sewa depo 50 ribu perbulan, persiapan pembelian gerobak baru dan sisanya dijadikan tabungan kelompok. Melihat dampak positif ini, sejak awal 2000 Wisnu telah melanjutkan pengembangan usahanya ke 5 perumahan lainnya di kabupaten Sleman. Ya, semacam ekspansi bisnis yang patut mendapat acungan jempol karena mampu berkembang dimasa sulit.

Sambil senyum simpul Wisnu menjelaskan bahwa perbulan take home pay yang disetornya ke istri dirumah bersih 10 juta. Itu makanya, ia yang mentraktir Uwan makan burung dara bakar di malioboro malam itu.***

Diposting oleh petani berdasi

0 komentar:

Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved