Rabu, 14 Januari 2009
di
21.50
|
Oleh Widjil Purnomo
KARAWANG – Bagi kalangan petani jamur merang (Volvariella volvacea) di Indonesia, sosok Ir Misa Suwarsa, Msc (49) sudah tidak asing lagi. Pak Misa, begitu ia biasa dipanggil, merupakan satu-satunya ahli jamur merang di Indonesia. Bahkan ia sukses mendidik dan melatih orang yang ingin menjadi petani seperti dirinya.Itulah sebabnya, rumah Misa yang dikelilingi areal persawahan di Kampung Jatimulya, Mekarjati, Karawang, Jawa Barat, tak pernah sepi dikunjungi tamu, mulai dari pejabat, ilmuwan jamur merang hingga pedagang di pasar. Menteri Pertanian (waktu itu) Bungaran Saragih merupakan pejabat yang paling sering berkunjung ke rumah Misa. Bahkan suatu kali, Bungaran Saragih datang membawa istri dan tamunya dari Uni Eropa untuk menikmati sate jamur merang.
Suami Yani Maryani (34) ini tak canggung mencangkul sawah bersama petani lain dan memikul jerami dari sawah ke tempat penyimpanan di dekat rumahnya. Tugas utamanya adalah memeriksa tubung-tubung (kamar tempat pembiakan jamur merang yang kedap cahaya) di dekat rumahnya, dengan dibantu sepuluh karyawannya."Saya ini petani dan keturunan petani. Jadi aneh rasanya kalau hanya berpangku tangan dan duduk di depan meja seperti orang kantoran," ucapnya terkekeh.
Kehidupan bapak dua anak, yakni Muhammad Hidayatullah (10) dan Siti Nurjanah (3) ini sangat bersahaja. Rumah induknya berukuran sekitar 4x6 m2 berlantaikan semen dengan dinding separuh tembok dan separuh kayu di bagian atas. Tidak ada perabotan yang istimewa kecuali rak yang berisi berbagai literatur. Di samping rumah dekat tubung, terdapat bangunan tanpa dinding dan di sinilah ia menerima tamu atau berdiskusi dengan murid-muridnya di atas balai-balai.Misa mengaku bahagia karena pemerintah memberi perhatian pada perkembangan jamur merang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini terbukti dengan dibentuknya Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Jamur Merang Indonesia oleh Departemen Pertanian yang dipusatkan di rumahnya dan mengangkat Misa sebagai kepalanya.
Setiap periode, pemerintah mengirim utusan dari berbagai daerah untuk dididik dan dilatih menjadi petani jamur merang."Kini mereka sudah menjadi petani jamur merang. Ada yang sukses, tapi juga ada yang gagal karena jamurnya tidak bisa tumbuh dengan baik. Biasanya yang gagal ini, mereka tidak sungguh-sungguh ingin menjadi petani. Mereka hanya iseng saja," tuturnya.Kiprahnya di bidang jamur merang, membuat Misa melenggang masuk Istana Negara. Ia mendapat penghargaan sebagai perintis budi daya jamur merang di Indonesia. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 27 Mei 2004.
Pada tahun itu pula ia satu-satunya orang asing yang diundang Pemerintah China untuk mendalami jamur merang selama setahun di negara tirai bambu itu. Petani MemprihatinkanMenjadi petani jamur merang sebenarnya bukan cita-cita Misa Suwarsa, meski ia anak petani di Depok, Jawa Barat. Kesadaran ini justru muncul saat ia telah mapan sebagai dosen di almamaternya, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). "Saya terkesan saat ngobrol dengan seorang profesor dari satu negara di Eropa yang saat itu menjadi dosen tamu di ITB," ungkapnya.Profesor itu menyatakan prihatin melihat petani Indonesia yang nasibnya sangat malang karena tidak bisa memanfaatkan potensi yang ada di sekelilingnya.
Seandainya mereka bisa memanfaatkan jerami, kehidupan ekonominya pasti akan lain. "Jerami dibakar begitu saja. Padahal sisa abunya justru merusak kesuburan tanah karena mengandung karbon," ungkap Misa menirukan profesor itu.Sebaliknya, jerami bisa dimanfaatkan sebagai media pembudidayaan jamur merang. Secara ekonomis, nilai jual jamur merang enam kali lipat dari nilai padi. Sementara peluang pasarnya sangat besar, terutama China dan Jepang, juga negara-negara Eropa. "Seharusnya ada seorang ahli yang mau membimbing para petani itu agar bisa hidup sejahtera," katanya.Mendengar ucapan itu, Misa tersentak lalu teringat orang tuanya sendiri yang kesulitan menghidupi anak-anaknya.
"Hati saya bergolak antara tetap sebagai dosen atau terjun langsung membimbing petani. Akhirnya saya memutuskan keluar sebagai dosen ITB," kata Misa mengenang peristiwa 15 tahun lalu itu. Rupanya keputusan itu tidak direstui orang tua. Tapi Misa yang kala itu masih bujangan, tetap nekad dan malah pergi ke Karawang. "Saya hanya mendengar kalau Karawang itu lumbung padi. Maka saya pergi ke sini, meski tidak punya bekal dan tidak punya saudara," ungkapnya.Di Karawang, Misa langsung menuju sekelompok petani di sawah dan mengungkapkan keinginannya untuk membuat jamur merang. Namun ia justru ditertawakan karena sudah banyak usaha jamur merang yang gulung tikar. Hal ini tidak membuat niat Misa surut.
Ia tetap minta agar dikenalkan dengan pengusaha jamur merang yang bangkrut itu. Lantas kepada pengusaha tersebut, Misa menawarkan kerja sama, tapi ditolak karena sang pengusaha kapok membudidayakan jamur merang. Maka kemudian ia menyewa tiga tubung milik pengusaha itu. Di luar dugaan, ternyata tiga tubung itu membuka babak babak baru dalam hidupnya. Hanya dalam tempo sebulan, Misa bisa secara terus menerus memanen jamur merang dan menjualnya sendiri ke pasar. Tak ayal, ia langsung melunasi utangnya termasuk bunga yang digunakan untuk proses produksinya.Sebelum masa sewa selama setahun habis, Misa sudah mampu membeli lahan di Kampung Mekarjati untuk membangun tiga tubung sendiri.
Kini ia memiliki delapan tubung yang setiap tubungnya rata-rata menghasilkan 1.500 kg jamur merang setiap bulan. "Para pedagang datang sendiri ke sini dengan membeli antara Rp 7.500 hingga Rp 10.000 per kg. Restoran di Jakarta juga ada yang pesan langsung dari sini dengan kualitas yang paling baik. Kami kewalahan melayani permintaan mereka," ucapnya.Misa juga mengaku ada permintaan untuk mengekspor jamur merang, tapi belum bisa dilaksanakan karena permintaan dalam negeri saja belum bisa dipenuhi. Bahkan ada sebuah bank asing yang cukup bonafit menawarkan bantuan finansial agar Misa bisa memproduksi besar-besaran untuk ekspor. "Saya menolak karena misi saya bukan seperti itu," tegasnya.
KARAWANG – Bagi kalangan petani jamur merang (Volvariella volvacea) di Indonesia, sosok Ir Misa Suwarsa, Msc (49) sudah tidak asing lagi. Pak Misa, begitu ia biasa dipanggil, merupakan satu-satunya ahli jamur merang di Indonesia. Bahkan ia sukses mendidik dan melatih orang yang ingin menjadi petani seperti dirinya.Itulah sebabnya, rumah Misa yang dikelilingi areal persawahan di Kampung Jatimulya, Mekarjati, Karawang, Jawa Barat, tak pernah sepi dikunjungi tamu, mulai dari pejabat, ilmuwan jamur merang hingga pedagang di pasar. Menteri Pertanian (waktu itu) Bungaran Saragih merupakan pejabat yang paling sering berkunjung ke rumah Misa. Bahkan suatu kali, Bungaran Saragih datang membawa istri dan tamunya dari Uni Eropa untuk menikmati sate jamur merang.
Suami Yani Maryani (34) ini tak canggung mencangkul sawah bersama petani lain dan memikul jerami dari sawah ke tempat penyimpanan di dekat rumahnya. Tugas utamanya adalah memeriksa tubung-tubung (kamar tempat pembiakan jamur merang yang kedap cahaya) di dekat rumahnya, dengan dibantu sepuluh karyawannya."Saya ini petani dan keturunan petani. Jadi aneh rasanya kalau hanya berpangku tangan dan duduk di depan meja seperti orang kantoran," ucapnya terkekeh.
Kehidupan bapak dua anak, yakni Muhammad Hidayatullah (10) dan Siti Nurjanah (3) ini sangat bersahaja. Rumah induknya berukuran sekitar 4x6 m2 berlantaikan semen dengan dinding separuh tembok dan separuh kayu di bagian atas. Tidak ada perabotan yang istimewa kecuali rak yang berisi berbagai literatur. Di samping rumah dekat tubung, terdapat bangunan tanpa dinding dan di sinilah ia menerima tamu atau berdiskusi dengan murid-muridnya di atas balai-balai.Misa mengaku bahagia karena pemerintah memberi perhatian pada perkembangan jamur merang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini terbukti dengan dibentuknya Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Jamur Merang Indonesia oleh Departemen Pertanian yang dipusatkan di rumahnya dan mengangkat Misa sebagai kepalanya.
Setiap periode, pemerintah mengirim utusan dari berbagai daerah untuk dididik dan dilatih menjadi petani jamur merang."Kini mereka sudah menjadi petani jamur merang. Ada yang sukses, tapi juga ada yang gagal karena jamurnya tidak bisa tumbuh dengan baik. Biasanya yang gagal ini, mereka tidak sungguh-sungguh ingin menjadi petani. Mereka hanya iseng saja," tuturnya.Kiprahnya di bidang jamur merang, membuat Misa melenggang masuk Istana Negara. Ia mendapat penghargaan sebagai perintis budi daya jamur merang di Indonesia. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 27 Mei 2004.
Pada tahun itu pula ia satu-satunya orang asing yang diundang Pemerintah China untuk mendalami jamur merang selama setahun di negara tirai bambu itu. Petani MemprihatinkanMenjadi petani jamur merang sebenarnya bukan cita-cita Misa Suwarsa, meski ia anak petani di Depok, Jawa Barat. Kesadaran ini justru muncul saat ia telah mapan sebagai dosen di almamaternya, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). "Saya terkesan saat ngobrol dengan seorang profesor dari satu negara di Eropa yang saat itu menjadi dosen tamu di ITB," ungkapnya.Profesor itu menyatakan prihatin melihat petani Indonesia yang nasibnya sangat malang karena tidak bisa memanfaatkan potensi yang ada di sekelilingnya.
Seandainya mereka bisa memanfaatkan jerami, kehidupan ekonominya pasti akan lain. "Jerami dibakar begitu saja. Padahal sisa abunya justru merusak kesuburan tanah karena mengandung karbon," ungkap Misa menirukan profesor itu.Sebaliknya, jerami bisa dimanfaatkan sebagai media pembudidayaan jamur merang. Secara ekonomis, nilai jual jamur merang enam kali lipat dari nilai padi. Sementara peluang pasarnya sangat besar, terutama China dan Jepang, juga negara-negara Eropa. "Seharusnya ada seorang ahli yang mau membimbing para petani itu agar bisa hidup sejahtera," katanya.Mendengar ucapan itu, Misa tersentak lalu teringat orang tuanya sendiri yang kesulitan menghidupi anak-anaknya.
"Hati saya bergolak antara tetap sebagai dosen atau terjun langsung membimbing petani. Akhirnya saya memutuskan keluar sebagai dosen ITB," kata Misa mengenang peristiwa 15 tahun lalu itu. Rupanya keputusan itu tidak direstui orang tua. Tapi Misa yang kala itu masih bujangan, tetap nekad dan malah pergi ke Karawang. "Saya hanya mendengar kalau Karawang itu lumbung padi. Maka saya pergi ke sini, meski tidak punya bekal dan tidak punya saudara," ungkapnya.Di Karawang, Misa langsung menuju sekelompok petani di sawah dan mengungkapkan keinginannya untuk membuat jamur merang. Namun ia justru ditertawakan karena sudah banyak usaha jamur merang yang gulung tikar. Hal ini tidak membuat niat Misa surut.
Ia tetap minta agar dikenalkan dengan pengusaha jamur merang yang bangkrut itu. Lantas kepada pengusaha tersebut, Misa menawarkan kerja sama, tapi ditolak karena sang pengusaha kapok membudidayakan jamur merang. Maka kemudian ia menyewa tiga tubung milik pengusaha itu. Di luar dugaan, ternyata tiga tubung itu membuka babak babak baru dalam hidupnya. Hanya dalam tempo sebulan, Misa bisa secara terus menerus memanen jamur merang dan menjualnya sendiri ke pasar. Tak ayal, ia langsung melunasi utangnya termasuk bunga yang digunakan untuk proses produksinya.Sebelum masa sewa selama setahun habis, Misa sudah mampu membeli lahan di Kampung Mekarjati untuk membangun tiga tubung sendiri.
Kini ia memiliki delapan tubung yang setiap tubungnya rata-rata menghasilkan 1.500 kg jamur merang setiap bulan. "Para pedagang datang sendiri ke sini dengan membeli antara Rp 7.500 hingga Rp 10.000 per kg. Restoran di Jakarta juga ada yang pesan langsung dari sini dengan kualitas yang paling baik. Kami kewalahan melayani permintaan mereka," ucapnya.Misa juga mengaku ada permintaan untuk mengekspor jamur merang, tapi belum bisa dilaksanakan karena permintaan dalam negeri saja belum bisa dipenuhi. Bahkan ada sebuah bank asing yang cukup bonafit menawarkan bantuan finansial agar Misa bisa memproduksi besar-besaran untuk ekspor. "Saya menolak karena misi saya bukan seperti itu," tegasnya.
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar