Sabtu, 17 Januari 2009
di
04.22
|
*dalam bahasa disini 'uwan = abang/kakak'
Pertengahan 1997 lalu - karena dibawa peruntungan - Uwan mendapatkan kontrak kerja internasional untuk mengelola suatu pilot proyek yang diuji-cobakan di 2 kecamatan Kabupaten Solok, tepatnya Lembah Gumanti dan Lembang Jaya. Mumpung dibayar dollar dari Washington sana ditambah kenaikan kurs, ada terlebih sedikit dana yang bisa diinvestasikan. Berkat jasa baik kawan Uwan di Alahan Panjang, Bung Syamsul, dapat pulalah mengganti sebidang lahan garapan di kawasan Rimbo Tinggi berpemandangan indah.
Terhampar Bukit Barisan, Gunung Talang dihadapan, Danau Diatas membentang dan ke timur tampak Lembah Gumanti sejauh-jauh pandang dilayangkan. Udara sejuk mendekati dingin karena 1675 meter dari permukaan laut. Suasana sepi sehingga cocok untuk kontemplasi. Makan tentulah enak, walau sekedar dengan goreng ikan asin cabe hijau ditambah telur bulat rebus sedang hangat-hangatnya.
Uwan sebetulnya sekedar mensiliah jariah kebun markisa yang terlantar lama. Ditambah lagi dengan menggebubunya asap akibat kebakaran hutan, makin parahlah kondisi kebun waktu itu. Hal yang sama juga dialami oleh kebun-kebun petani sekitar lainnya. Banyak diantara pekebun meninggalkan sementara lahannya, karena maklum berkebun diatas bukit sulit mendapatkan sumber air penyiram. Pekebun menunggu nasib saja, bagaimana jadinya.
Karena baru pertama kali dalam hidupnya punya lahan, walau sedang dilanda jerebu, Uwan bersemangat tinggi mengolah kebun barunya itu. Tiang-tiang junjungan markisa diganti hampir total. Kawat yang putus segera dibeli baru, tali plastik pendukung, mana yang putus disambung kembali. Lahan disiangi bersih dan hampir tiap ada waktu luang disela-sela tugas konsultasi, Uwan senantiasa mengurusi kebunnya. Pokoknya dari segi penampilan, kebun Uwanlah di perbukitan itu yang paling tertata rapi dan bersih.
Datanglah musim hujan dipenghujung tahun, jerebu sirna dan markisa mulai berdaun untuk selanjutnya berbunga. Pemandangan makin sedap, hijau kemana-mana memandang ditimpali warna warni khas bunga markisa. Ungu, hijau dan putih bergelayutan. Pekebun mulai berdatangan satu persatu untuk mengolah kebun markisanya. Rimbo Tinggi mulai hidup kembali, bersemi ditengah hiruk pikuknya aktifitas pekebun. Beberapa mulai menginap sehingga malam haripun ada interaksi budaya dengan Uwan si pendatang baru.
Mengamati perkembangan, Uwan melihat pekebun praktis menunggu bunga berubah menjadi putik dan berkembang menjadi buah. Dari kulit buah berwarna ungu ke biru hijau dan akhirnya akan menguning. Pekebun rupanya hanya akan menunggu. Sekitar dua bulan lagi tentulah bisa mulai memetik dan menjualnya.
Uwan berpikir, kenapa harus menunggu. Logikanya, setelah berputik tentu perkembangan buah perlu sinar matahari lebih banyak. Untuk itu diambillah keputusan perlu dilakukan eksperimentasi. Uwan melakukan sosialisasi pikiran logisnya itu. Namun rupanya tak dapat diterima sebagian besar pekebun, karena merasa tak perlu dan malah mungkin tak ada gunanya. Buang-buang tenaga saja.
Walau dianggap sekedar pekebun baru, Uwan tetap dengan idenya. Ia memangkas kebunnya sampai jumlah daun yang tinggal hanya 20 % saja lagi. Hampir botak kebun itu dikerjainya. Rekan seprofesinya senyum terkulum dibelakang punggung Uwan, melecehkan pola pemangkasan itu.
Namun apa yang terjadi ? Karena sinar matahari penuh, tingkat kerontokan putik rendah sekali. Dalam pengamatan, kerontokan bisa ditekan menjadi sekitar 10 %, bandingkan dengan cara lama yang mencapai hampir 35 %. Akibat penyinaran sempurna itu pula, markisa Uwan paling duluan matang dan siap dipanen. Pemanenan lebih dulu hampir dua setengah minggu dibanding dengan rekannya yang lain.
Dari segi produksipun, karena kerontokan bisa ditekan, Uwan memperoleh total panen 38 kardus (setara dengan 19.000 buah segar) dalam 2 minggu pertama. Dengan pola dibiarkan seperti selama ini, paling-paling hanya akan diperoleh maksimal 24 kardus saja.
Karena kebun Uwanlah yang paling duluan panen dibanding seluruh kawasan Rimbo Tinggi, Uwan dapat meletakkan harga jual sangat tinggi, tertinggi dari yang pernah ada, yakni dipatok 150 rupiah perbuah. Inipun harga di kebun dimana peralatan paska panen ditanggung oleh toke pembeli. Tentu berikut transportasi dan upah angkat ke truk. Pemasukan Uwan bersih Rp. 2.850.000.- .
Ditambah panen akhir sisanya dengan harga penjualan tinggal Rp. 70 perbutir markisa segar, dikantongilah bersih 3.350.000.- Sebuah angka yang menakjubkan dan tak pernah sebegitu besar perolehan sebelumnya. Setelah kejadian itu, petani sejawatnya sekitar mulai pula mempraktekkan pola serupa. Dari mulut ke mulut, fenomena ini menjalar ke seantero 2 kecamatan.
Terdata ada 5000 hektar lebih kebun markisa di ketinggian kabupaten Solok. Dampaknya, Uwan dituduh sebenarnya ahli juga di markisa. Padahal hanya sekedar pendatang baru. Nampaknya petani perlu contoh kongkrit untuk mengikuti suatu pendekatan bertani. Pola penyuluhan selama ini, lebih banyak dimulut saja, diragukan keefektifannya.***
Pertengahan 1997 lalu - karena dibawa peruntungan - Uwan mendapatkan kontrak kerja internasional untuk mengelola suatu pilot proyek yang diuji-cobakan di 2 kecamatan Kabupaten Solok, tepatnya Lembah Gumanti dan Lembang Jaya. Mumpung dibayar dollar dari Washington sana ditambah kenaikan kurs, ada terlebih sedikit dana yang bisa diinvestasikan. Berkat jasa baik kawan Uwan di Alahan Panjang, Bung Syamsul, dapat pulalah mengganti sebidang lahan garapan di kawasan Rimbo Tinggi berpemandangan indah.
Terhampar Bukit Barisan, Gunung Talang dihadapan, Danau Diatas membentang dan ke timur tampak Lembah Gumanti sejauh-jauh pandang dilayangkan. Udara sejuk mendekati dingin karena 1675 meter dari permukaan laut. Suasana sepi sehingga cocok untuk kontemplasi. Makan tentulah enak, walau sekedar dengan goreng ikan asin cabe hijau ditambah telur bulat rebus sedang hangat-hangatnya.
Uwan sebetulnya sekedar mensiliah jariah kebun markisa yang terlantar lama. Ditambah lagi dengan menggebubunya asap akibat kebakaran hutan, makin parahlah kondisi kebun waktu itu. Hal yang sama juga dialami oleh kebun-kebun petani sekitar lainnya. Banyak diantara pekebun meninggalkan sementara lahannya, karena maklum berkebun diatas bukit sulit mendapatkan sumber air penyiram. Pekebun menunggu nasib saja, bagaimana jadinya.
Karena baru pertama kali dalam hidupnya punya lahan, walau sedang dilanda jerebu, Uwan bersemangat tinggi mengolah kebun barunya itu. Tiang-tiang junjungan markisa diganti hampir total. Kawat yang putus segera dibeli baru, tali plastik pendukung, mana yang putus disambung kembali. Lahan disiangi bersih dan hampir tiap ada waktu luang disela-sela tugas konsultasi, Uwan senantiasa mengurusi kebunnya. Pokoknya dari segi penampilan, kebun Uwanlah di perbukitan itu yang paling tertata rapi dan bersih.
Datanglah musim hujan dipenghujung tahun, jerebu sirna dan markisa mulai berdaun untuk selanjutnya berbunga. Pemandangan makin sedap, hijau kemana-mana memandang ditimpali warna warni khas bunga markisa. Ungu, hijau dan putih bergelayutan. Pekebun mulai berdatangan satu persatu untuk mengolah kebun markisanya. Rimbo Tinggi mulai hidup kembali, bersemi ditengah hiruk pikuknya aktifitas pekebun. Beberapa mulai menginap sehingga malam haripun ada interaksi budaya dengan Uwan si pendatang baru.
Mengamati perkembangan, Uwan melihat pekebun praktis menunggu bunga berubah menjadi putik dan berkembang menjadi buah. Dari kulit buah berwarna ungu ke biru hijau dan akhirnya akan menguning. Pekebun rupanya hanya akan menunggu. Sekitar dua bulan lagi tentulah bisa mulai memetik dan menjualnya.
Uwan berpikir, kenapa harus menunggu. Logikanya, setelah berputik tentu perkembangan buah perlu sinar matahari lebih banyak. Untuk itu diambillah keputusan perlu dilakukan eksperimentasi. Uwan melakukan sosialisasi pikiran logisnya itu. Namun rupanya tak dapat diterima sebagian besar pekebun, karena merasa tak perlu dan malah mungkin tak ada gunanya. Buang-buang tenaga saja.
Walau dianggap sekedar pekebun baru, Uwan tetap dengan idenya. Ia memangkas kebunnya sampai jumlah daun yang tinggal hanya 20 % saja lagi. Hampir botak kebun itu dikerjainya. Rekan seprofesinya senyum terkulum dibelakang punggung Uwan, melecehkan pola pemangkasan itu.
Namun apa yang terjadi ? Karena sinar matahari penuh, tingkat kerontokan putik rendah sekali. Dalam pengamatan, kerontokan bisa ditekan menjadi sekitar 10 %, bandingkan dengan cara lama yang mencapai hampir 35 %. Akibat penyinaran sempurna itu pula, markisa Uwan paling duluan matang dan siap dipanen. Pemanenan lebih dulu hampir dua setengah minggu dibanding dengan rekannya yang lain.
Dari segi produksipun, karena kerontokan bisa ditekan, Uwan memperoleh total panen 38 kardus (setara dengan 19.000 buah segar) dalam 2 minggu pertama. Dengan pola dibiarkan seperti selama ini, paling-paling hanya akan diperoleh maksimal 24 kardus saja.
Karena kebun Uwanlah yang paling duluan panen dibanding seluruh kawasan Rimbo Tinggi, Uwan dapat meletakkan harga jual sangat tinggi, tertinggi dari yang pernah ada, yakni dipatok 150 rupiah perbuah. Inipun harga di kebun dimana peralatan paska panen ditanggung oleh toke pembeli. Tentu berikut transportasi dan upah angkat ke truk. Pemasukan Uwan bersih Rp. 2.850.000.- .
Ditambah panen akhir sisanya dengan harga penjualan tinggal Rp. 70 perbutir markisa segar, dikantongilah bersih 3.350.000.- Sebuah angka yang menakjubkan dan tak pernah sebegitu besar perolehan sebelumnya. Setelah kejadian itu, petani sejawatnya sekitar mulai pula mempraktekkan pola serupa. Dari mulut ke mulut, fenomena ini menjalar ke seantero 2 kecamatan.
Terdata ada 5000 hektar lebih kebun markisa di ketinggian kabupaten Solok. Dampaknya, Uwan dituduh sebenarnya ahli juga di markisa. Padahal hanya sekedar pendatang baru. Nampaknya petani perlu contoh kongkrit untuk mengikuti suatu pendekatan bertani. Pola penyuluhan selama ini, lebih banyak dimulut saja, diragukan keefektifannya.***
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar