Rabu, 28 Januari 2009
di
07.45
|
Irzal Bujang (bukan nama sebenarnya) adalah rekan petani muda sejawat Uwan dari Ampek Angkek yang benar-benar tipikal petani andalan. Ia pekerja keras, tercermin dari badannya yang kekar. Kulitnyapun hitam karena mungkin setiap hari tersengat matahari. Ia tergolong mangsa pembangunan berbasis revolusi hijau, karena pola bertani sentralistik selama ini telah membuat dia akrab dengan berbagai produk pestisida yang disebutnya sebagai racun.
Dalam bertanam lado (cabai merah) ia mengalokasikan lebih 40 % dari permodalan yang dimilikinya untuk membeli racun. Demikian pula produk hortikultura lainnya, tak kurang dari persentase itu yang harus dibelanjakan untuk membeli pestisida.
Perkenalan Uwan dengannya terjadi tahun lalu. Sambil menyiangi kebunnya, kami berbincang tentang sulitnya hidup bertani saat itu. Segalanya mahal, sarana produksi melambung sampai 400 % dan tak kurang harga yang terbanting kalau over produksi. Pembicaraan menghangat tentang ada pendekatan baru dalam bertani, yakni menggantikan peran pupuk dan pestisida dengan bahan alami yang dapat dibuat sendiri. Dengan demikian ongkos produksi dapat ditekan ketitik sangat rendah, hanya sekitar 20 % dari sebelumnya.
Seketika wajah Bujang menegang, matanya menyala-nyala karena mendapat jalan keluar dalam meneruskan karirnya bertani. Ia mencecar Uwan dengan berbagai pertanyaan, karena ia haus akan informasi itu. Siang itu, transformasi ide berlangsung alamiah. Bujang merasa tercerahkan.
Selanjutnya ia memutuskan ikut kelompok tani sekampungnya menjadi peserta sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT). Penerapan teknologi bertani ini pada dasarnya hanya kembali ke keselarasan alam, sambil mengendalikan pertumbuhan hama. Bila serangan hama datang, maka dikendalikan dengan pestisida alami, yang diistilahkan dalam pelatihan sebagai agens hayati. Berjenis agens hayati telah ditemukan untuk berbagai tanaman hortikultura yang biasa ditanam oleh kaum petani dikampungnya.
Bersama kelompoknya, ia belajar serius. Ada satu putaran masa tanam untuk berbagai macam komoditi dijadikan bahan pelatihan. Pelatihan benar-benar di lapangan, walau tetap ada sistem kelasnya. Pelatihnyapun tak sama seperti berbagai pelatihan yang dulu-dulu pernah diikutinya, pelatih kini hanya mengalirkan pikiran-pikiran buah pengalaman peserta. Pelatih hanya memformulasi kesimpulan dari peserta. Hasilnya mutlak merupakan kontribusi pengalaman petani peserta.
Untuk pupukpun ternyata cukup dibuat sendiri. Bahannya dapat berupa jerami atau limbah pertanian lainnya dengan ditambah pupuk kandang dan campurkan sedikit agens hayati. Dapatlah pupuk pengganti pupuk kimia sintetis yang biasa diaplikasikannya sejak dulu.
Ia mantap dengan pengetahuan barunya itu. Bersama kelompoknya dia mendirikan pos IPAH (Informasi Pelayanan Agen Hayati) untuk menyebarluaskan pengetahuannya dan mengajak seluruh pihak agar mengembangkan keterampilan yang sama. Pelatihan demi pelatihan diorganisirnya sambil mengamati perkembangan pertanian dikampungnya.
Untuk dirinya sendiri, dilahan sekitar setengah hektar dia bertanam cabai merah. Sebagai modal kerja dia meminjam KUT yang disalurkan lewat kelompok taninya. Kalau tak salah ia memperoleh kredit sebanyak 6.750.000 rupiah, sesuai standar masa tanam untuk lahan setengah hektar.
Sambil menunggu pupuk dari bahan jerami matang, ia mempersiapkan lahannya sendirian. Mestinya sambil bersiul-siul kecil. Dibelakang rumahnya, ia telah mempersiapkan 5 jenis agens hayati yang kelak akan dipakainya untuk melawan serangan hama yang pasti bakal menyerang. Dua diantaranya sejenis cendawan.
Penanaman dan penggarapan berikutpun selalu dikerjakannya sendiri. Kata fasilitatornya di SLPHT, pola bertani jenis ini sangat tergantung pada pengamatan lapangan. Untuk itu hampir sepanjang hari dia bekerja di kebun. Setelah subuh berkaum-kaum di mesjid dekat rumahnya, ia sudah meluncur ke kebun. Pulang ke rumah sebentar, lalu kembali. Shalat Dzuhur dan makan siang praktis hanya 1 jam saja. Tak ada istirahat lain, lagipula ia memang tak biasa tidur siang. Pengamatannya yang seksama membuahkan hasil efektif dan dicatatnya dengan cermat. Tanamannya berhasil gemilang.
Sesuai rencana, dua minggu menjelang puasa ia mulai panen raya, yang berketerusan sampai menjelang lebaran haji. Harga sangat baik diperolehnya karena puncak pasar untuk lado di Sumatera Barat adalah periode itu. Hasil bersih setelah potong KUT nilainya mencapai jutaan rupiah.
Evaluasinya, dengan membuat segalanya sendiri, dia hanya mengalokasikan dana KUT hanya Rp.1.600.000.- saja, atau 23,7 % dari jumlah pinjaman. Kemudian dengan rendahnya biaya produksi ini, ditambah keuntungan berlipat karena panen dipuncak kebutuhan pembeli akan cabai, maka dari pembukuan Bujang tertera angka penghasilan bersih 11,6 juta rupiah. Sebuah angka yang belum pernah dicapainya selama bertani.
Bujang terus bersiul-siul kecil tiap pagi menyusuri pematang menuju kebunnya. Hari itu kepalanya tegak, matanya makin menyala. Masa depan dihadapinya dengan muka berseri-seri, penuh harapan.
Fenomena Bujang mestilah menginspirasi sejawatnya, dimanapun bertani. SLPHT, Pos IPAH dan Agens Hayati seyogyanya bertaburan ke seluruh pelosok nagari di Sumatra Barat. Mengantisipasi globalisasi dimana trend konsumen dunia yang menghendaki produk hortikultura bebas pestisida (environmental friendly product), Bujang sudah pada jalur yang tepat.
Tinggal lagi, kita perlu menghadirkan bujang-bujang lain mempelopori pola bertani sehat selaras alam ini.
Siul Bujang meninggi mendayu-dayu terdengar dari lahan garapannya, menirukan lagu dangdut lama kegemarannya – Wajah di Balik Kaca.***
Sumber dari: http://www.zukri.itgo.com
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar