Jumat, 23 Januari 2009
di
04.55
|
Oleh Mawar Kusuma
Kehadiran ulat jati kala musim hujan ibarat daging yang turun dari surga bagi warga pelosok pedesaan di Gunung Kidul. Ketika uang simpanan warga yang hampir semuanya petani tersedot untuk pembelian aneka sarana produksi pertanian, ulat jati menjadi lauk pendamping nasi yang sanggup menyediakan pemenuhan gizi bagi warga, bahkan menjadi sumber pemasukan pendapatan Warga Desa Giring,.
Supardi (47), yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani mengaku hanya sanggup menyediakan lauk tahu dan tempe serta sayur bagi istri dan empat anaknya. Ia memang memelihara sapi, kambing, dan ayam, namun hewan ternak tersebut akan dijual untuk pemenuhan kebutuhan lain dibanding dikonsumsi untuk keluarganya.
Pemenuhan protein hewani bagi keluarga Supardi cuma diperoleh ketika memasuki musim ulat jati seperti kali ini. Berlalunya musim ulat jati biasanya diikuti kehadiran belalang. Selain tersedia melimpah di alam, cita rasa dari ulat jati maupun belalang tergolong lezat. "Dibanding ayam pedaging, kami lebih memilih memakan ulat dan belalang," katanya, beberapa waktu lalu.
Sembari mengolah ladang, Supardi yang sama sekali tidak memiliki sawah ini juga sibuk mencari ulat jati yang telah menjadi kepompong di ladang garapannya yang menempati areal milik dinas kehutanan. Dengan lincah, anak Supardi, Davis Mandoyo (8), memanjat pohon jati yang jumlahnya mencapai ratusan pohon. Ia meraih kepompong yang tersembunyi di lipatan daun jati maupun terserak di bawah pohon. Dari pagi hingga tengah hari berburu kepompong, Supardi dan anaknya membawa pulang sekitar setengah kilogram kepompong. Kepompong lalu direbus hingga mendidih sebelum kemudian digoreng dengan bumbu bawang putih. Harum kepompong menyeruak dan menggugah selera sejak masih diproses di penggorengan. Hari itu, Supardi menikmati kepompong dengan nasi dari beras raskin (beras untuk keluarga miskin) yang baru saja diterimanya.
Panenan ulat jati di satu wilayah hanya berlangsung selama satu pekan dan tidak serempak di seluruh wilayah Gunung Kidul. Hampir setiap rumah tangga pasti memiliki pohon jati dengan jumlah satuan hingga ratusan. Pada musim panen jati, mayoritas warga menjadikan ulat dan kepompongnya sebagai lauk atau sekadar kudapan. Jika Supardi mencari kepompong ulat jati hanya untuk konsumsi keluarganya, ratusan petani lain di Gunung Kidul memanfaatkan musim ulat jati dengan beralih profesi sebagai pedagang ulat jati dadakan. Lebih dari 50 pedagang ulat jati, misalnya, mangkal di ruas jalan Paliyan-Panggang. Pedagang ulat jati juga banyak ditemui di berbagai ruas jalan seperti Jalan Baron dan Jalan Semanu.
Suharsi (35) bersama lima rekannya dari Dusun Kepek, Saptosari, bahkan berjalan kaki hingga 9 kilometer setiap hari untuk mencari ulat dan kepompong jati sebagai bahan dagangan. Mereka biasanya menyusuri pohon jati di hutan-hutan. Sejak subuh hingga tengah hari, setiap pencari ulat bisa memperoleh hingga 1 kilogram ulat atau kepompong yang laku dijual Rp 25.000-Rp 30.000.
Proses pencarian kepompong ulat jati tergolong lebih mudah dibanding ulat. Peminat kepompong pun cenderung lebih banyak. Satu pekan sebelumnya, warga pelosok pedesaan lebih banyak mencari ulat jati yang belum menjadi kepompong. Ulat-ulat jati lebih mudah ditemukan ketika matahari belum menyingsing.
Ulat-ulat jati tanpa bulu dan berwarna hitam itu akan meluncur ke tanah dengan bantuan sulur-sulurnya dari ketinggian pohon jati. Ulat yang telah sampai di permukaan tanah segera bersembunyi di rerimbunan daun kering. Dengan ranting di tangan, warga memburu ulat yang terselip di antara daun kering.
Musim ulat jati yang hanya terjadi satu tahun sekali ini tak ingin dilewatkan oleh warga yang telah terbiasa mengonsumsi ulat sejak usia kecil. Tak jarang warga Gunung Kidul di perantauan yang rindu ulat dan kepompong pun memesan olahan ulat dan kepompong yang biasanya bisa awet hingga satu pekan.
Ulat dan kepompong jati telah selama berabad-abad lekat dengan kehidupan warga Gunung Kidul. Tradisi mengonsumsi ulat telah diturunkan dari generasi ke generasi.
Dinas Kesehatan Gunung Kidul pun mengakui keberadaan ulat jati dan belalang turut menyangga gizi warga sehingga angka harapan hidup di Gunung Kidul tinggi. Umur harapan hidup kaum perempuan, misalnya, mencapai 72,48 tahun di atas rata-rata nasional 69,60 tahun.
Kehadiran ulat jati kala musim hujan ibarat daging yang turun dari surga bagi warga pelosok pedesaan di Gunung Kidul. Ketika uang simpanan warga yang hampir semuanya petani tersedot untuk pembelian aneka sarana produksi pertanian, ulat jati menjadi lauk pendamping nasi yang sanggup menyediakan pemenuhan gizi bagi warga, bahkan menjadi sumber pemasukan pendapatan Warga Desa Giring,.
Supardi (47), yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani mengaku hanya sanggup menyediakan lauk tahu dan tempe serta sayur bagi istri dan empat anaknya. Ia memang memelihara sapi, kambing, dan ayam, namun hewan ternak tersebut akan dijual untuk pemenuhan kebutuhan lain dibanding dikonsumsi untuk keluarganya.
Pemenuhan protein hewani bagi keluarga Supardi cuma diperoleh ketika memasuki musim ulat jati seperti kali ini. Berlalunya musim ulat jati biasanya diikuti kehadiran belalang. Selain tersedia melimpah di alam, cita rasa dari ulat jati maupun belalang tergolong lezat. "Dibanding ayam pedaging, kami lebih memilih memakan ulat dan belalang," katanya, beberapa waktu lalu.
Sembari mengolah ladang, Supardi yang sama sekali tidak memiliki sawah ini juga sibuk mencari ulat jati yang telah menjadi kepompong di ladang garapannya yang menempati areal milik dinas kehutanan. Dengan lincah, anak Supardi, Davis Mandoyo (8), memanjat pohon jati yang jumlahnya mencapai ratusan pohon. Ia meraih kepompong yang tersembunyi di lipatan daun jati maupun terserak di bawah pohon. Dari pagi hingga tengah hari berburu kepompong, Supardi dan anaknya membawa pulang sekitar setengah kilogram kepompong. Kepompong lalu direbus hingga mendidih sebelum kemudian digoreng dengan bumbu bawang putih. Harum kepompong menyeruak dan menggugah selera sejak masih diproses di penggorengan. Hari itu, Supardi menikmati kepompong dengan nasi dari beras raskin (beras untuk keluarga miskin) yang baru saja diterimanya.
Panenan ulat jati di satu wilayah hanya berlangsung selama satu pekan dan tidak serempak di seluruh wilayah Gunung Kidul. Hampir setiap rumah tangga pasti memiliki pohon jati dengan jumlah satuan hingga ratusan. Pada musim panen jati, mayoritas warga menjadikan ulat dan kepompongnya sebagai lauk atau sekadar kudapan. Jika Supardi mencari kepompong ulat jati hanya untuk konsumsi keluarganya, ratusan petani lain di Gunung Kidul memanfaatkan musim ulat jati dengan beralih profesi sebagai pedagang ulat jati dadakan. Lebih dari 50 pedagang ulat jati, misalnya, mangkal di ruas jalan Paliyan-Panggang. Pedagang ulat jati juga banyak ditemui di berbagai ruas jalan seperti Jalan Baron dan Jalan Semanu.
Suharsi (35) bersama lima rekannya dari Dusun Kepek, Saptosari, bahkan berjalan kaki hingga 9 kilometer setiap hari untuk mencari ulat dan kepompong jati sebagai bahan dagangan. Mereka biasanya menyusuri pohon jati di hutan-hutan. Sejak subuh hingga tengah hari, setiap pencari ulat bisa memperoleh hingga 1 kilogram ulat atau kepompong yang laku dijual Rp 25.000-Rp 30.000.
Proses pencarian kepompong ulat jati tergolong lebih mudah dibanding ulat. Peminat kepompong pun cenderung lebih banyak. Satu pekan sebelumnya, warga pelosok pedesaan lebih banyak mencari ulat jati yang belum menjadi kepompong. Ulat-ulat jati lebih mudah ditemukan ketika matahari belum menyingsing.
Ulat-ulat jati tanpa bulu dan berwarna hitam itu akan meluncur ke tanah dengan bantuan sulur-sulurnya dari ketinggian pohon jati. Ulat yang telah sampai di permukaan tanah segera bersembunyi di rerimbunan daun kering. Dengan ranting di tangan, warga memburu ulat yang terselip di antara daun kering.
Musim ulat jati yang hanya terjadi satu tahun sekali ini tak ingin dilewatkan oleh warga yang telah terbiasa mengonsumsi ulat sejak usia kecil. Tak jarang warga Gunung Kidul di perantauan yang rindu ulat dan kepompong pun memesan olahan ulat dan kepompong yang biasanya bisa awet hingga satu pekan.
Ulat dan kepompong jati telah selama berabad-abad lekat dengan kehidupan warga Gunung Kidul. Tradisi mengonsumsi ulat telah diturunkan dari generasi ke generasi.
Dinas Kesehatan Gunung Kidul pun mengakui keberadaan ulat jati dan belalang turut menyangga gizi warga sehingga angka harapan hidup di Gunung Kidul tinggi. Umur harapan hidup kaum perempuan, misalnya, mencapai 72,48 tahun di atas rata-rata nasional 69,60 tahun.
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar