Sumber – Beberapa jenis pohon pisang yang pernah ada di Kabupaten Rembang termasuk langka, salah satunya adalah pohon pisang rojo sewu. Dusun Jenthir dan Dusun Nglakeh Desa Lohgede Kecamatan Sumber, pernah menjadi pusatnya tanaman super unik ini. Dikatakan unik, karena pisang rojo sewu buahnya berjumlah ribuan. Kondisi tandannya menggantung hingga menyentuh tanah, bahkan kerap kali harus diberi tiang penyangga supaya pohon tidak roboh.
...
Tetapi sayang sekali karena kurang kepedulian warga untuk membudidayakan jenis pisang tersebut, akhirnya lambat laun pisang rojo sewu kini menghilang. Jangankan untuk mencari buahnya, untuk mendapatkan bibit pohon pisangnya saja sudah tidak ada lagi. Termasuk ketika Reporter R2B mendatangi pusat pisang rojo sewu, di Dusun Jenthir Desa Lohgede Kecamatan Sumber. Ironisnya, banyak warga yang mengaku sudah lupa kapan terakhir melihat jenis pisang raja sewu.

Sukarmin, salah satu warga Dusun Jenthir Desa Lohgede mengatakan dulu sekitar tahun 1990 sampai dengan 2000 an pernah ada sejumlah pohon pisang rojo sewu milik salah satu tetangganya. Tetapi seiring berjalannya waktu, sang pemilik meninggal dunia dengan diikuti pohon pisang mati tak terawat dan sekarang untuk mendapatkannya lagi sangat sulit.


Banyak cerita ketika pohon pisang rojo sewu masih tegak berdiri. Hampir setiap hari, selalu saja ada warga dari Desa lain yang datang menonton atau iseng mencoba menawar untuk membeli bibit pohonnya.

Mereka cukup tertarik, karena buah pisang rojo sewu berbeda dengan pohon pisang pada umumnya.

Satu hal yang tak pernah dilupakan oleh warga adalah ketika masa panen pisang rojo sewu. Hampir seisi Dusun bisa mencicipi rasa manisnya pisang, karena jumlah buahnya yang cukup banyak. Memang tidak bisa kenyang kalau hanya makan 5 sampai 6 buah saja, karena ukuran buah pisang kecil kecil sebesar jempol tangan. Nah..cukup disayangkan apabila cerita cerita itu tampaknya tak bisa terulang lagi, karena kepedulian warga yang kurang untuk melestarikan keberadaan si rojo sewu.

Sekarang ini, sejumlah warga Desa Lohgede masih mempunyai pisang kidang, jenis pisang dengan kondisi dan pohon semua berwarna merah. Jangan sampai, nasib pohon kidang ini sama dengan pisang raja sewu. Musnah tanpa jejak.
Sumber : Radio R2B Rembang
Diposting oleh petani berdasi
Oleh Rimba Alangalang
Aku dilahirkan di sebuah kampung, Kadusirung, desa Sukalangu, kecamatan Saketi, Pandeglang, yang jauh dari keramaian. Perkebunan, bukit, sawah, sungai, kerbau, kambing, layang-layang, alat pancing, adalah tempat, alat dan teman bermainku. Tak ada toko-toko besar di sana. atau pusat perbelanjaan yang modern, dengan banyak fasilitas yang lengkap. Apalagi sebuah toko buku. Itu adalah hal yang mustahil untuk ditemukan. Yang ada hanya warung-warung kecil yang menjual jajanan anak-anak dan kebutuhan rumah tangga biasa saja.
...
Kampungku dikelilingi PTPN VIII, sebuah perkebunan karet milik pemerintah. Sekitar 5 km jaraknya menuju jalan utama, dan 10 km ke kota kecamatan. Jalan saru-satunya yang menghubungkan kampungku dengan jalan utama hanyalah sebuah jalan desa. Jalan yang tidak terlalu lebar dan belum diaspal. Hamparannya berupa tanah dan batu-batu besar. Kalau musim kemarau, debu berterbangan ke mana-mana. Kalau musim hujan, jalan seperti kubangan kerbau.

BUDAK JERO
Kalau orang yang rumahnya terletak di jalan utama -- jalan raya Labuan – Pandeglang -- menjuluki kami ”BJ” alias Budak Jero (baca: orang pedalaman). Kalau kami ingin melihat mobil gede dan mobil bagus (baca: bus dan sedan), dari rumah kami harus berjalan 5 kilometer menuju prapatan Pasar Sabut, desa Sodong, Saketi. Atau kalau mau gratis, kami harus mengejar truk pengangkut pasir. Kemudian naik secara diak-diam di belakang. Jatuh dari truk dan dimarahi sopir sudah biasa bagi kami.

Di sebuah pertigaan, di pinggir jalan utama. Kami anak-anak BJ memandang takjub ke arah mobil yang berlalu-lalang. Mobil gede dan mobil bagus kami pandangi sampai hilang di tikungan, bahkan kami pandangi lekat-lekat jika datang mobil yang bentuknya belum pernah kami lihat dalam buku pelajaran di sekolah. Saat itu aku berpikir betapa tertinggalnya kampung kami dari dunia luar yang terus bergerak mengikuti arus perubahan jaman. Setelah puas, kamipun mencari tumpangan untuk pulang. Jika tidak ada, terpaksa berjalan kaki melintasi perkebunan karet yang tak berujung untuk sampai ke rumah. Tapi kami bahagia, setidaknya ada sebuah cerita yang akan kami jadikan bahan pembicaraan hangat di sekolah besok.

Dulu aku selalu berfikir kenapa bapaku bukan seorang supir mobil gede, pedagang atau pejabat? Kenapa memilih hanya menjadi guru SD saja? Tinggal di kampung yang jauh dari keramaian, gaji yang tidak seberapa dan tinggal di rumah panggung warisan buyutku pula. Tidak seperti paman dan bibiku yang tinggal di kota. Pulang membawa mobil dan memakai pakaian yang bagus-bagus. Ah, bapak!

Yah, Bapakku hanya seorang guru Sekolah dasar (SD). Setiap hari sebelum aku masuk sekolah, aku selalu diajaknya ikut ke sekolah tempatnya mengajar. Aku si kecil memperhatikannya mengajar, menghadapi murid kampungnya dengan sabar karena kemampuan murid-murid di kampung jarang di atas rata-rata.

Masuk SD
Aku masuk SD Sukalangu tahun 1991. Saat itu aku berusia tujuh tahun. Tapi pada usia enam tahun aku sudah hapal abjad dari A hingga Z. Hal tersebut sudah hebat untuk ukuran anak kampung. Disamping karena tidak ada Tk, buku-buku yang jarang, listrikpun belum masuk. Untuk belajar malam saja, harus menggunakan lampu totok. Hiburan yang ada hanya sebuah radio transistor. Satu-satunya orang yang punya televisi di kampungku hanya kepala desa.

Semua orang tumpah ke sana. Dari mulai anak-anak hingga orang tua. Itupun televisi hitam putih. Televisi hitam putih tersebut menggunakan aki (accumulator) untuk menyalakannya. Ketika muatan listrik yang tersimpan dalam aki tersebut melemah, maka gambar dalam layar TV hitam putih tersebut semakin mengecil,mengecil, dan akhirnya hanya sebuah garis horizontal saja yang terlihat.

Dibanding teman-temanku yang mayoritas bapaknya petani, buruh, dan penambang pasir, sebenarnya aku lebih beruntung. Karena bapakku seorang guru SD. Walaupun ibuku hanya lulusan MTS (Madrasah Tsanawiyah) dan seorang ibu rumah tangga biasa. Gaji bapakku hanya cukup buat makan saja waktu itu. Tapi aku masih lebih beruntung dari kawan-kawanku. Pada 1990-an di kampungku, untuk membeli satu buah buku tulis saja harganya Rp. 500,-. Kalau mereka mau membeli buku, harus mengumpulkan uang selama seminggu. Tapi waktu itu aku masih belum puas karena bapakku bukan seorang pejabat atau supir mobil gede. Hanya seorang guru SD.

Semenjak bisa membaca, tanganku tidak pernah lepas dari buku. Ibuku sering jengkel ketika aku memegang buku, karena pasti pekerjaan rutinku memberi makan ayam peliharaan kami terabaikan. Atau kadang beliau marah karena terasi yang baru dibelinya sudah tak terbungkus lagi, karena bungkusnya sudah berpindah tempat. Akulah yang mengambilnya untuk dibaca.

Naik ke kelas lima, buku-buku cerita di SD-ku sudah aku lahap semua. Beberapa masih ada di kamarku, sampai saat ini belum aku kembalikan. Karena mengambilnya pun secara diam-diam. Yaitu dengan cara meloncat dari jendela paling atas ruang guru. Rupanya bapak tahu kegilaanku terhadap buku. Tanpa sepengetahuanku, sepulang mengajar, bapak selalu membawakan buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah tempatnya mengajar. Ketika aku pulang sekolah, buku-buku cerita tersebut sudah tertumpuk di meja belajarku. Biasanya buku-buku tersebut habis kubaca hari itu juga. sebelum sekolah agama dan sebelum tidur di remang lampu totok. Dan setelah sekian lama, aku tahu bahwa bapaklah yang selalu menyimpannya di meja belajarku.

Setelah habis kubaca, mulai lagi aku grasak-grusuk mencari buku-buku yang bisa aku baca. Kadang aku menukarkan panci yang sudah tidak terpakai dengan sebuah komik petruk karya Tatang S kepada Mang Usup, tukang rongsokan. Mang usup sesekali suka melintas di kampungku. Di gerobaknya banyak barang rongsokan. Dia menukar barang-barangnya berupa komik, makanan brondong (semacam popcorn), gulali (permen), dan mainan anak-anak dari plastik, dengan perkakas rumahtangga yang sudah jelek. Bahkan panci yang masih agak baguspun aku penyok-penyokin supaya bisa ditukar. Jika komik Tatang S habis aku baca, kadang meminjam novel remaja dari sepupuku yang sudah SMA di Menes, kota kecamatan. Padahal waktu itu aku masih kelas lima SD
Sumber : http://www.rumahdunia.net
Diposting oleh petani berdasi
Mungkin bagi sebagian orang, tumpukan kertas bekas, besi tua, atau botol kosong adalah sampah rongsokan yang harus dibuang. Tetapi, ada sebagian orang justru menggantungkan hidup mereka dari barang yang rongsok. Bahkan, rongsokan pulalah yang mengubah nasib mereka.

Seperti apa yang dilakukan oleh Muh Roni (30 tahun) warga Campursalam, Kec. Parakan. Sudah 3 tahun ini dia menjalankan bisnis jual beli rongsokan. Hasilnya pun bisa dibilang lumayan. Selain bisa mencukupi kebutuhan keluarga, Muh Roni bisa menarik beberapa warga untuk ikut bekerja bersamanya.


...
Setelah lulus SMA, pria dengan 2 orang anak ini disuruh orang tuanya untuk meneruskan pekerjaan mereka sebagai petani. Namun dia tidak mau “Saya dulu dipaksa orang tua untuk meneruskan tradisi mereka menjadi petani, tetapi saya wegah macul”. Keadaan ini membuat dia harus berpikir dan berjuang lebih keras sebelum memutuskan untuk berkecimpung pada bisnis ini. Pada awalnya, dengan bermodalkan uang 1,5 juta dan sebuah “montor bukaan” Muh Roni berkeliling dari desa ke desa di wilayah Kab. Temanggung untuk mencari barang rongsokan “Pada bulan pertama, saya hanya bisa memutar 500 ribu tiap hari. Yah, memamg tergolong kecil sih, karena waktu itu saya hanya ditemani oleh dua orang teman saya keliling kampung untuk mencari barang”. Usaha ini terus berkembang hingga omset perhari bisa mencapai 3 juta pada tahun pertama. Hal ini bisa dia lakukan, selain sudah mengetahui daerah/pengepul barang rongsok, dia juga harus bisa menjalin hubungan baik dengan pembeli yang ada di daerah Solo dan Surabaya.

Bagi sebagian orang, bisnis rongsok memang dianggap usaha rendahan alias prestice-nya kurang. Namun, karena keadaan kepekso dan keinginan untuk mengubah nasib yang sangat kuat bisnis apapun asalkan halal bisa ditekuni. “Pada awal saya memulai usaha ini, sempat terjadi kisruh dengan orang tua. Mereka menganggap usaha yang saya jalankan ini tidak akan berhasil.” Namun, karena sangat yakin akan peluang bisnis ini, dia mampu membuktikan bahwa yang bisa menghasilkan sumber penghidupan bukan hanya sekedar jadi petani.

Pada perjalanan usaha sampai dengan tahun ke-3, karena banyaknya pemain baru di dunia usaha ini, dia menspesialisasikan usahanya untuk penggilingan limbah dari bahan plastik. Di samping persaingan bisnis usaha ini masih sangat terbuka, risikonya sangat kecil, dan margin keuntungan yang bisa didapat lebih tinggi dari pada hanya jual beli rongsokan. Butuh tambahan modal sekitar 188 juta untuk pengembangan usaha ini antara lain untuk pembelian truk, mesin giling dan pergudangan.

Untuk urusan tenaga kerja, awalnya Muh Roni mendatangkan 3 orang dari Cepu sebagai tenaga ahli, selain itu, dia mengikutsertakan beberapa orang saudaranya untuk ikut belajar bersama mereka. Dan kini, karena telah dirasa mampu, semua tenaga kerja diambil dari masyarakat sekitar yaitu 10 orang ditambah seorang sopir. Sampai dengan saat ini, omset usaha Muh Roni mencapai 5 - 6 juta perhari dengan margin keuntungan bersih sekitar 5% atau 250 - 300 ribu perhari. “Yah, lumayan Mas, dengan usaha ini saya bisa menghidupi keluarga saya, kerabat, dan masyarakat lain di desa ini.” Begitu tutur pria berpenampilan sederhana ini kepada Stanplat.

Oh ya, dari usaha yang dijalankan ini, warga sekitar juga ikut kecipratan rejeki. Sebelum plastik digiling dan dikeringkan, Muh Roni meminta bantuan warga sekitar untuk membersihkan dan memotong tutup kepala plastik yang akan diolah. Ongkos yang dikeluarkan adalah 800 rupiah/kilogram. “Yo lumayan, tiap hari saya dan istri saya dapat 30 kg mulai dari pagi hingga sore.” Tutur Subagyo (28 th).

Saat ini memang segala bisnis dapat dijalankan, namun sebagian besar masyarakat masih belum berani berspekulasi. Pertanyaan mereka hampir sama, bagaimana pertama kali memulianya. Untuk hal ini, Suami seorang Pegawai Pemda ini menuturkan “Selain harus berani menanggung resiko, para calon usahawan atau pemula harus menguasai informasi. Kunjungilah pengusaha sukses, minta petunjuk dari meraka. Rasa senang dan optimis dengan usaha yang akan dijalani juga harus senantiasa dijaga.”

Sebagai penutup kepada Stanplat di rumahnya dia menuturkan bahwa dia juga sangat senang jika ada orang yang mau berusaha terjun di bidang usaha yang sama. Jika ada orang yang ingin meminta informasi apapun, pasti akan sangat disambut dengan baik, dan nyaris semua informasi tidak ada yang disembunyikannya. Selain itu dia sering mendambakan agar masyarakat Temanggung mampu “berusaha” meskipun tidak punya lahan pertanian, dan modal yang berlimpah.

Dia juga sangat menyayangkan warga di sekitarnya yang merantau di luar daerah, dan di sana hidup sama susahnya. “Mbok mending tetep di kampung saja to, asal dia berani dan mau berusaha, Insya Allah ada jalannya.”
Sumber : dinconomy.wordpress.com
Diposting oleh petani berdasi

Panorama indah dan hasil alam melimpah sering kali tak berbanding lurus dengan kesejahteraan warga sekitarnya. Kenyataan pahit itu menggerakkan Roib Sobari memperbaiki nasib warga desanya. Berbekal jabatan sebagai kepala desa, Roib membangun Desa Pasanggrahan menjadi desa wisata.

Hasilnya, desa di kaki Gunung Burangrang, wilayah Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, itu rutin dikunjungi orang. Siswa dan guru dari sedikitnya 80 sekolah dan yayasan di Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bandung menginap di Pasanggrahan. Sebagian di antaranya rutin mendatangi desa ini untuk mengikuti kegiatan latihan dasar kepemimpinan.

...
Pendapatan desa pun meningkat pesat. Kalau semula nyaris tak ada pemasukan ke kas desa, belakangan ada pemasukan Rp 10 juta-Rp 20 juta per tahun. Pada musim liburan, seperti bulan Juni-Agustus atau Desember-Januari, banyak orang berlibur di Pasanggrahan.

Menurut Roib, Pasanggrahan sebenarnya sejak lama dikunjungi banyak tamu. Berdasarkan cerita para leluhur, desa yang terletak sekitar 35 kilometer dari pusat Purwakarta itu telah didiami penduduk sejak tahun 1800-an. Pasanggrahan berarti tempat menerima tamu.

Suasana desa yang dimiliki Pasanggrahan, seperti sawah, kebun, sungai, ladang, kolam ikan, udara sejuk, dan panorama khas desa di pegunungan, menarik minat wisatawan. Selain itu, di Pasanggrahan ada makam ”keramat” yang rutin dikunjungi peziarah dan ramai pada saat-saat tertentu.

Namun, banyaknya pengunjung itu tak berpengaruh positif pada peningkatan kesejahteraan warga desa. Melimpahnya hasil kebun, seperti cengkeh, teh, melinjo, dan manggis, juga tak bisa meningkatkan kemampuan ekonomi mereka.

Tahun 2000 sebagian rumah belum memiliki fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK), serta tak menghadap ke jalan. Jalan desa di sebagian dusun masih jalan tanah dan sulit dilalui saat hujan.

Kepala desa

”Potensi pariwisata itu ada, tetapi tak menghasilkan pendapatan karena belum ’digosok’, belum dibangun dan dikelola dengan baik,” kata Roib tentang keinginannya menjadikan Desa Pasanggarahan sebagai daerah wisata.

Untuk mewujudkan keinginannya membangun desa, Roib lalu meniatkan diri mengikuti pemilihan kepala desa tahun 2002. Berbekal pengalaman sebagai staf bidang ekonomi di kantor desa, dia terpilih sebagai Kepala Desa Pasanggrahan periode 2002-2007.

Pada saat menjadi kepala desa, Roib menghapus kewajiban warga membayar ”upeti” kepada desa untuk meringankan beban warga yang mayoritas petani. Sebelumnya, setiap petani diharuskan membayar Rp 25.000-Rp 200.000 per tahun, tergantung luas lahan dan jumlah panen, sebagai ”pajak” hasil bumi.

Beberapa komoditas pertanian tumbuh subur di Desa Pasanggrahan. Manggis, cengkeh, melinjo, padi, cabai, tomat, kol, dan berbagai sayuran dibudidayakan di pekarangan, ladang, dan sawah warga. Namun, sebagian warga tak menikmati keuntungan optimal karena terjerat sistem ijon dan permainan tengkulak.

Upaya lain yang ditempuh Roib adalah memperbaiki sektor pariwisata. Infrastruktur pariwisata dia prioritaskan diperbaiki lebih awal. Sebagian jalan penghubung antar-dusun sulit dilalui karena becek dan sempit. Selain itu, sebagian rumah warga yang dijadikan tempat menginap tamu belum memiliki fasilitas MCK, bahkan ada yang tak layak huni.

Butuh dana besar untuk memperbaiki semua itu. Roib memulainya dengan meningkatkan kesadaran wisata warga. Ia mengampanyekan manfaat pariwisata bagi kehidupan desa melalui rapat rutin desa, kunjungan langsung ke rumah warga, dan pengajian mingguan. Warga yang terbukti menikmati keuntungan dari pariwisata ia jadikan contoh untuk membangkitkan motivasi warga lain.

”Saya tekankan bahwa keramahan, kebersihan, dan keindahan perlu terus dipupuk agar pengunjung betah tinggal di desa dan kembali lagi untuk berlibur,” ujarnya.

Awalnya, sebagian warga tak peduli dengan ajakan Roib. Mereka berpendapat, tanpa usaha apa pun wisatawan akan datang. Namun, Roib terus mencoba, sampai warga memahami pentingnya memberi pelayanan yang baik bagi tamu. Mereka juga mau bergotong royong memperbaiki jalan desa, mengeraskan jalan tanah dengan menyusun batu kali yang berlimpah di sungai.

Tahun 2005 Roib minta bantuan Pemerintah Kabupaten Purwakarta untuk menata ulang dan memperbaiki rumah warga. Maka, Pasanggrahan mendapat bantuan Rp 200 juta dan tahun berikutnya Rp 310 juta. Semua dana itu dimanfaatkan untuk memperbaiki rumah warga.

Bantuan itu berbuah manis. Jumlah pengunjung ke desa ini meningkat dari 1.000-2.000 orang menjadi 5.000 orang per tahun. Keuntungan dari usaha yang dikelola desa lalu digunakan untuk memperbaiki sarana desa, rumah warga, serta sarana wisata.

Sedikitnya 114 rumah warga yang tersebar di empat dusun, yaitu Pasanggrahan, Tajur, Borondong, dan Depok, siap menerima pengunjung. Sebagian besar di antara rumah warga itu telah memiliki MCK dan satu sampai tiga kamar tidur tamu. Rumah-rumah itu umumnya berbentuk panggung, dinding dan lantai kayu, dengan arsitektur tradisional khas rumah Sunda.

Keuntungan juga dia gunakan untuk membeli lahan. Hasilnya, Desa Pasanggrahan punya 4.000 meter persegi lahan yang telah dibangun menjadi areal perkemahan. Roib melengkapi areal itu dengan tempat ibadah, MCK, dan lintasan untuk tracking.

Kembali ke desa

Selama ini mayoritas pengunjung adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka biasanya datang untuk menggelar latihan dasar kepemimpinan (LDK). Warga setempat menyebut LDK dengan istilah ”BP” alias bimbingan pendidikan. Pasanggrahan pun lebih dikenal sebagai desa wisata ”BP”.

Konsep wisata yang ditawarkan Roib adalah kembali ke desa. Para pemilik rumah yang diinapi tamu pun menyediakan menu makanan dan minuman khas desa, seperti bajigur, bandrek, dan nasi liwet dengan lalap.

Anggota karang taruna pun dikerahkan untuk memandu pengunjung menjelajah alam di sekitar desa atau mengikuti kegiatan warga, seperti membajak sawah dengan kerbau, menanam padi, memancing dan menangkap ikan di kolam, serta memanen hasil bumi seperti teh, cengkeh, manggis, kol, cabai, dan jagung.

Meski pengelola tak mematok tarif untuk beragam layanan itu, tetapi pengunjung secara sukarela memberi uang dari Rp 75.000 hingga Rp 300.000 per hari kepada pemilik rumah. Bahkan, sebagian tamu juga menyumbang untuk kas desa sebagai bantuan pembangunan desa.

Sejak tahun 2007 Roib tak lagi menjadi kepala desa. Namun, usaha membangun Pasanggrahan dilanjutkan Nenden Asyani (32), kepala desa periode 2007-2012, anak keempat Roib.

”Pasanggrahan belum sempurna sebagai desa wisata dan masih banyak hal yang perlu kami benahi. Namun, setidaknya warga telah memiliki modal sebagai pelaku pariwisata yang tahu bagaimana harus melayani tamu dengan baik,” kata Roib.
Sumber : Kompas
Diposting oleh petani berdasi

Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.
...
Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli "Max Havelaar" dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.

Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.

Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.

Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang adalah masa pembinaan.

Nama:
Raden Ajeng Kartini
Lahir:
Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal:
Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)

Pendidikan:
E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Suami:
Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Prestasi:
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang
Kumpulan surat-surat:
Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Penghormatan:
- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
Sumber:
- Album Pahlawan Bangsa Cetakan ke 18, penerbit PT Mutiara Sumber Widya
- Wajah-Wajah Nasional cetakan pertama. Karangan: Solichin Salam

Sumber : TokohIndonesia DotCom
Diposting oleh petani berdasi
Jumat, 17 April 2009 di 21.59 | 0 komentar  
Budidaya Ikan arwana bukanlah sesuatu yang mudah anda harus mempelajari beberapa tehik atau cara untuk membudidayakan Ikan arwana ini,saya sech ga tau yang profesional tapi kalau cara budidaya ikan arwana yang dasar adalah sebagai berikut :
...
Pemeliharaan Induk
Induk dipelihara dalam kolam berukuran 5 x 5 m dengan kedalaman air 0,5-0,75 m. Kolam ditutup plastik setinggi 0,75 m untuk mencegah lompatan ikan.

Ruangan pemijahan dibangun di pojok perkolaman dan ditambah dengan beberapa kayu gelondongan untuk memberikan kesan alami. Batu dan kerikil dihindari karena dapat melukai ikan atau dapat tercampur pakan secara tidak sengaja.

Kolam pembesaran dibangun di area tenang dan ditutup sebagian, dan dijauhkan dari sinar matahari langsung. Induk dipelihara dalam kolam pembesaran hingga mencapai matang gonad.

Pengelolaan Kualitas Air
Kualitas air dijaga agar mendekati lingkungan alami arwana yaitu pH 6,8-7,5 dan suhu 27-29 C. Penggantian air dilakukan sebanyak 30-34% dari total volume dengan air deklorinisasi.

Pemberian Pakan
Keseimbangan gizi sangat penting bagi kematangan gonad dan pemijahan. Induk diberikan pakan bervariasi yang mengandung kadar protein tinggi. Pakan diberikan setiap hari dalam bentuk ikan/udang hidup atau runcah, dan ditambah pelet dengan kadar protein 32 %. Jumlah pemberian pakan per hari adalah 2 % dari bobot total tubuh.

Kematangan gonad
Matang gonad terjadi pada umur 4 tahun dengan panjang tubuh 45-60cm.
Pemijahan terjadi sepanjang tahun, dan mencapai puncaknya antara bulan Juli dan Desember. Induk jantan di alam akan menjaga telur yang sudah dibuahi dalam mulutnya hingga 2 bulan ketika larva mulai dapat berenang.

Arwana betina mempunyai ovarium tunggal yang mengandung 20-30 ova besar dengan diameter rata-rata 1,9 cm dengan kematangan berbeda-beda. Induk jantan dewasa juga mempunyai sebuah organ vital menyerupai testis.

Pembedaan Kelamin
Juvenil sulit dibedakan jenis kelaminnya. Perbedaan akan muncul setelah ikan berukur 3-4 tahun.

Pembedaan jenis kelamin diketahui melalui bentuk tubuh dan lebar mulut. Arwana jantan mempunyai tubuh lebih langsing dan sempit, mulut lebih besar dan warna lebih mencolok daripada betina. Mulut yang melebar dengan rongga besar digunakan untuk tujuan inkubasi telur. Perbedaan lain adalah ukuran kepala jantan relatif lebih besar, sifat lebih agresif termasuk dalam perebutan makanan.

Kebiasaan Pemijahan
Tingkah laku arwana sangat unik selama masa pengenalan lain jenis. Masa ini berlangsung selama beberapa minggu atau bulan sebelum mereka mulai menjadi pasangan. Hal ini dapat diamati pada waktu malam, ketika ikan berenang mendekati permukaan air. Arwana jantan mengejar betina sekeliling kolam, terkadang pasangan membentuk lingkaran (hidung menghadap ke ekor pasangan).

Sekitar 1-2 minggu sebelum pemijahan, ikan berenang bersisian dengan tubuh seling menempel. Terjadilah pelepasan sejumlah telur berwarna jingga kemerahan, Jantan membuahi telur dan kemudian mengumpulkan telurdi mulitnya untuk diinkubasi sampai larva dapat berenang dan bertahan sendiri. Diameter telur 8-10 mm dan kaya akan kuning telur dan menetas sekitar seminggu setelah pembuahan. Setelah penetasan, larva muda hidup dalam mulut jantan hingga 7-8 minggu sampai kuning telur diserap total. Larva lepas dari mulut dan menjadi mandiri setelah ukuran tubuh 45-50 mm.

2. Panen Larva
Inkubasi telur secara normal adalah membutuhkan 8 minggu. Untuk memperpendek waktu, telur yang sudah dibuahi dapat dikeluarkan dari mulut pejantan 1 bulan setelah pemijahan. Induk jantan ditangkap dengan sangat hati-hati dengan jaring halus lalu diselimuti dengan handuk katun yang basah untuk menghindari ikan memberontak dan terluka.

Untuk melepaskan larva dari mulut induk jantan, tarik perlahan bagian bawah mulut dan tubuh ditekan ringan. Larva dikumpulkan dalam wadah plastik dan diinkubasikan dalam akuarium. Jumlah larva yang dapat mencapai 25-30 ekor.

Teknik Pembenihan
Setelah dikeluarkan dari mulut pejantan, larva diinkubasikan dalam akuarium berukuran 45×45x90 cm. Temperatur air 27-29 °C menggunakan pemanas thermostat. Oksigen terlarut 5 ppm (mg/ I) menggunakan aerator bukaan kecil.

Untuk mencegah infeksi akibat penanganan larva, dalam air dilarutkan Acriflavine 2 ppm. Menggunakan teknik pembenihan in vitro ini, Survival Rate (SR) yang didapat sampai tahap ikan dapat berenang adalah 90-100 %.

Selama periode inkubasi, larva tidak perlu diberikan pakan. Beberapa minggu pertama selama kuning telur belum habis, biasanya larva hampir selalu berada pada dasar akuarium. Larva mulai berenang ke atas bertahap ketika ukuran kuning telur mengecil. Pada minggu ke delapan, kuning telur hampir terserap habis sehingga larva mulai berenang ke arah horizontal. Pada tahap ini, pakan hidup pertama harus mulai diberikan untuk mencegah larva saling Ketika ukuran larva mencapai 8,5 cm atau berumur 7 minggu, kuning telur terserap secara penuh dan larva dapat berenang bebas.

Pemeliharaan Larva
Tambahan pakan hidup yang dapat diberikan seperti cacing darah atau anak ikan yang ukurannya sesuai bukaan mulut arwana.
Larva yang telah mencapai panjang 10-12 cm dapat diberikan pakan seperti udang air tawar kecil atau runcah untuk mengimbangi kecepatan tumbuhnya.
Sumber:Buu Budidaya Ikan Arwana
Diposting oleh petani berdasi
Masyarakat tentu tidak asing dengan belut. Salah satu sumber makanan berprotein ini banyak diolah dalam bentuk keripik atau rempeyek. Namun, di Warung Makan Penyet Bu Lintang, pasangan suami istri Muflih dan Tini (36) menawarkan cita rasa belut yang berbeda, yaitu dalam bentuk olahan tongseng dan pecak.
...
Warung makan ini terletak di Jalan Raya Slawi-Jatibarang, tepatnya di Desa Kabunan, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal. Meski warung ini jauh dari kesan mewah, cita rasa masakan yang disajikan akan membuat orang ketagihan.

Tongseng dihadirkan dengan rasa yang khas. Aroma rempah-rempah dan rasa yang legit menjadi salah satu ciri khas tongseng belut. Masakan ini disajikan dengan timun iris sehingga terasa segar. Bumbu yang kental melumuri potongan-potongan belut yang diletakkan di atas piring. Tubuh kita pun akan menjadi hangat setelah menyantap masakan ini.

Pecak disajikan dengan sambal mentah, disertai sedikit irisan jeruk nipis. Belut yang sudah digoreng diletakkan di atas sambal tersebut. Meski telah digoreng, belut tidak keras. Dagingnya masih utuh dan dapat dilepas dengan mudah dari durinya. Aroma sambal mentah yang harum ikut memberi kenikmatan pada masakan tersebut.

Masakan-masakan tersebut tersaji dengan harga yang terjangkau. Harga tongseng belut Rp 15.000 per porsi, sedangkan pecak belut Rp 10.000 per porsi. Warung ini buka pukul 10.00 hingga 21.00.

Tini mengatakan, ia ingin menghadirkan cita rasa yang berbeda dari masakan belut. Meskipun demikian, ia memberikan pilihan kepada pengunjung sesuai selera mereka. "Ada yang menyukai tongseng, ada juga yang pecak. Bahkan, ada yang hanya minta belut goreng," ujarnya.

Rempah-rempah

Ia menggunakan rempah-rempah dan bumbu tradisional untuk memberikan rasa dan aroma yang kuat pada masakannya. Selain belut, ia juga memberikan pilihan masakan lain berupa pecak ayam, bebek, dan lele. Ia juga menyuguhkan pecak terong seharga Rp 2.500 per porsi serta sayur asem seharga Rp 1.000 per porsi.

Tini menuturkan, ia menggeluti usaha tersebut sejak 1,5 tahun yang lalu. Nama Lintang diambil dari nama anak ketiganya. Peminat masakannya cukup banyak.

Selain menikmati makanan di warung, pengunjung yang menginginkan suasana lebih santai dapat menikmati masakan di luar warung. Tini menyediakan tempat makan di bawah pohon mangga di depan warungnya. Meskipun demikian, pembeli harus sabar menunggu karena masakan baru dapat terhidang dalam waktu 10-15 menit.
diambil dr artikel KOMPAS
Diposting oleh petani berdasi

Berawal dari Sakit Hati Karena Pupuk Buatan Pabrik Menghilang

Pengembangan pupuk organik tidak muncul begitu saja. Namun siapa sangka latar belakangnya berawal dari sakit hati ketika jadwal pemupukan pupuk buatan pabrik selalu menghilang.

HALIMATU HILDA, Kudus

...
MELINTAS di bawah rerimbunan pohon di kawasan lingkungan sekretariatan daerah (Setda Kudus), lelaki berusia sekitar 40 tahun itu melengggang. Dengan tas menggantung di pundaknya, langkahnya terlihat sangat ringan. Tidak ada beban yang tersirat dari wajahnya, malah senyumnya menyungging saat bertemu.

"Ini mau ke Bappeda melihat program-program desa," ucapnya saat ditanya perihal kedatangannya yang juga menjabat sebagai seorang kepala desa di wilayah Jekulo.

Ya, pria bernama lengkap Sumani tersebut memang beberapa kali memantau usulan program terkait pembangunan desa. Kali ini, yang ingin dilihatnya adalah usulan pembangunan jalan desa. Supaya tidak selalu berkena banjir, pihak desa meminta jalan ditinggikan.

"Lha bagaimana, kalau tidak ditinggikan pasti akan kena banjir terus. Karena letak jalan dengan sungai malah tinggi sungainya," jelasnya.

Pembicaraan terus berlanjut tentang program peninggian jalan tersebut. Namun, ketika disinggung permasalahan pupuk, lelaki ini tidak seperti kebanyakan petani yang mengeluhkan keberadaan pupuk.

"Pupuk wah sekarang pupuk baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah semuanya lancar," ujarnya sambil tersenyum.

Kemudian ia melanjutkan pembicaraan yang dimaksudkan tadi. "Kan kami sudah mengembangkan pupuk organik. Jadi tidak tahu dong dengan permasalahan pupuk seperti urea atau pupuk buatan pabrik lainnya," tambahnya.

Sikap acuh tak acuhnya terhadap pupuk pabrikan berbeda saat ditanya setahun lalu. Tatkala ia masih menggunakan pupuk pabrikan. Setidaknya yang terekam dalam Radar Kudus, pihaknya bersama perkumpulan kelompok tani nelayan andalan (KTNA) sangat tersiksa saat masih menggunakan pupuk pabrikan.

Di mana saat pupuk ini dibutuhkan, ternyata hanya sedikit sekali yang datang. Bahkan sampai didapati, petani di daerahnya harus mengulur waktu pemupukan, karena pasokan sering terlambat.

Mereka pun tidak dapat berbuat banyak, lantaran persoalan pupuk itu sudah didengungkan pemkab yang diusulkan penambahan kuota. Hanya, permasalahan tersebut tidak pernah membuatnya lega. "Awalnya dari kepepet tidak ada pupuk. Akhirnya kami beralih ke pupuk organik saja," ujarnya.

Keinginan tersebut dibahas di tengah-tengah para anggota KTNA Kecamatan Jekulo. Karena minim pengetahuan, pihaknya dibimbing Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kudus.

"Kami bersama-sama dengan Pak Agus seorang petugas penyuluh lapangan (PPL). Saya sangat berterimakasih, karena Pak Agus siang malam terus membantu kami," ujarnya.

Ia pun mengakui tidak mudah merealisasikan keinginan tersebut. Apalagi jika mental petani pada umumnya enggan bersusah payah. Pasalnya, untuk memroses pupuk organik harus menunggu selama 20 hari, baru dapat digunakan.

Selain itu, proses pembuatannya dari sampah rumah tangga yang sudah membusuk. Sampah itu diayak kemudian dijadikan satu dengan kotoran hewan kemudian ditambah dan bahan lainnya.

Itu pun belum selesai, karena masih harus diuji coba di lahan persawahan. Proses yang terkesan rumit tersebut diakuinya membuatnya ia puas. Walaupun hasil panennya hanya sekitar 6 ton per hektar (sama seperti hasil menggunakan pupuk organik) tapi dari biayanya cukup murah yakni Rp 35 ribu per kuintal.

"Kalau pakai pupuk anorganik (pabrikan) harga per kuintalnya Rp 120 ribu. Meski begitu, kami yakin suatu saat nanti keuntungan lebih akan kami dapat," harapnya.

Sumani yakin, penggunaan pupuk organik ini semakin lama kondisi tanahnya semakin membaik dan subur. Hal ini tentunya menghemat penggunaan pupuk organik. Dari dua ton untuk per hektarnya, dalam jangka tertentu akan kebutuhan pupuknya akan berkurang.

"Kami sama sekali sudah tidak menggunakan pupuk pabrikan. Kami berharap petani yang lain juga sama. Apalagi pupuk ini sangat ramah lingkungan," tambahnya.

Apakah pupuk itu akan dijual bebas? Pihaknya mengakui kebutuhan pupuk baru untuk anggota kelompok tani. Pasalnya, dana yang terkumpul hanya cukup untuk memproduksi sekitar 70 ton. Dalam artian, produksinya baru dirasakan anggotanya saja. Ada yang mau bergabung? (*/joe)
Sumber : Jawa Pos Radar Kudus
Diposting oleh petani berdasi

Tulisan ini muncul di Forum-Pembaca- Kompas@yahoogroups. com, Senin, March 2, 2009. Menarik juga buat disimak.

http://perempuan. kompas.com/ read/xml/ 2009/03/02/ 13092730% 20/facebook. mengancam. kesehatan. mental

Beberapa waktu lalu muncul laporan mengenai tanda-tanda orang kecanduan Facebook atau situs jejaring sosial lainnya, misalnya Anda mengubah status lebih dari dua kali sehari dan rajin mengomentari perubahan status teman. Anda juga rajin membaca profil teman lebih dari dua kali sehari meski ia tidak mengirimkan pesan atau men-tag Anda di fotonya.
...
Laporan terbaru dari The Daily Mail menyebutkan, kecanduan situs jejaring sosial seperti Facebook atau MySpace juga bisa membahayakan kesehatan karena memicu orang untuk mengisolasikan diri. Meningkatnya pengisolasian diri dapat mengubah cara kerja gen, membingungkan respons kekebalan, level hormon, fungsi urat nadi, dan merusak performa mental. Hal ini memang bertolak belakang dengan tujuan dibentuknya situs-situs jejaring sosial, di mana pengguna diiming-imingi untuk dapat menemukan teman-teman lama atau berkomentar mengenai apa yang sedang terjadi pada rekan Anda saat ini.

Suatu hubungan mulai menjadi kering ketika para individunya tak lagi menghadiri social gathering, menghindari pertemuan dengan teman-teman atau keluarga, dan lebih memilih berlama-lama menatap komputer (atau ponsel). Ketika akhirnya berinteraksi dengan rekan-rekan, mereka menjadi gelisah karena "berpisah" dari komputernya.

Si pengguna akhirnya tertarik ke dalam dunia artifisial. Seseorang yang teman-teman utamanya adalah orang asing yang baru ditemui di Facebook atau Friendster akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara face-to-face. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan), demikian menurut Dr Aric Sigman dalam The Biologist, jurnal yang dirilis oleh The Institute of Biology.

Pertemuan secara face-to-face memiliki pengaruh pada tubuh yang tidak terlihat ketika mengirim e-mail. Level hormon seperti oxytocin yang mendorong orang untuk berpelukan atau saling berinteraksi berubah, tergantung dekat atau tidaknya para pengguna. Beberapa gen, termasuk gen yang berhubungan dengan sistem kekebalan dan respons terhadap stres, beraksi secara berbeda, tergantung pada seberapa sering interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan yang lain.

Menurutnya, media elektronik juga menghancurkan secara perlahan-lahan kemampuan anak-anak dan kalangan dewasa muda untuk mempelajari kemampuan sosial dan membaca bahasa tubuh. "Salah satu perubahan yang paling sering dilontarkan dalam kebiasaan sehari-hari penduduk Inggris adalah pengurangan interaksi dengan sesama mereka dalam jumlah menit per hari. Kurang dari dua dekade, jumlah orang yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat diajak berdiskusi mengenai masalah penting menjadi berlipat."

Kerusakan fisik juga sangat mungkin terjadi. Bila menggunakan mouse atau memencet keypad ponsel selama berjam-jam setiap hari, Anda dapat mengalami cidera tekanan yang berulang-ulang. Penyakit punggung juga merupakan hal yang umum terjadi pada orang-orang yang menghabiskan banyak waktu duduk di depan meja komputer. Jika pada malam hari Anda masih sibuk mengomentari status teman Anda, Anda juga kekurangan waktu tidur. Kehilangan waktu tidur dalam waktu lama dapat menyebabkan kantuk berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, dan depresi dari sistem kekebalan. Seseorang yang menghabiskan waktunya di depan komputer juga akan jarang berolahraga sehingga kecanduan aktivitas ini dapat menimbulkan kondisi fisik yang lemah, bahkan obesitas.

Tidak heran jika Dr Sigman mengkhawatirkan arah dari masalah ini. "Situs jejaring sosial seharusnya dapat menjadi bumbu dari kehidupan sosial kita, namun yang kami temukan sangat berbeda. Kenyataannya situs-situs tersebut tidak menjadi alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup, melainkan alat yang membuat kita salah arah," tegasnya.

Namun, bila aktivitas Facebook Anda masih sekadar sign in, mengonfirmasi friend requests, lalu sign out, tampaknya Anda tak perlu khawatir bakal terkena risiko kanker, stroke, bahkan menderita pikun.

DIN
Sumber : The Daily Mail

salam,
gunawan
www.wisata-buku. com
Diposting oleh petani berdasi

Oleh FX Puniman
Beberapa bulan setelah menjadi Direktur Hutan Pendidikan Gunung Walat, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, di daerah Cibadak Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tahun 2003, Supriyanto melihat warga setempat sering menebangi pohon untuk kayu bakar. Hasil survei menyebutkan, dalam sehari sekitar 10 meter kubik kayu bakar keluar dari hutan pendidikan Gunung Walat.

...
Dalam benak Supriyanto muncul pertanyaan, mengapa penduduk tidak memilih menggunakan ranting pohon untuk kayu bakar? Mengapa mereka memilih menebang pohon? Dari para penebang pohon itu pula dia memperoleh jawabannya. Rupanya, warga sekitar Gunung Walat lebih suka menebang pohon karena energi api yang dihasilkan ranting tidak cukup besar.

Di sisi lain, alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini merasa khawatir penebangan pohon akan berdampak terhadap krisis energi, terutama bahan bakar fosil yang terus menipis.

Supriyanto lalu terpikir memanfaatkan energi yang berasal dari biomassa, seperti rumput, limbah kayu, semak belukar, ranting kayu, dan potongan bambu, yang sesungguhnya amat mudah diperoleh di pekarangan.

Berdasarkan temuan dan kekhawatiran itulah, Supriyanto kemudian mulai memfokuskan diri untuk membuat teknologi pedesaan yang sederhana dengan bahan bakar yang mudah diperoleh dari limbah lingkungan setempat.

”Konsep yang saya pergunakan adalah farmer energy atau energi petani. Teknologinya harus sederhana, mudah, murah, tidak berisiko, tetapi efisiensinya tinggi,” katanya.

Ia lalu menjadikan tungku sebagai pilihan untuk diteliti. Beberapa artikel tentang tungku di berbagai negara, termasuk dari Indonesia, dia pelajari.

Bertemu ahli arang

Di tengah upaya mempelajari tungku tersebut, Supriyanto yang juga peneliti di Seameo Biotrop (Pusat Studi Regional Penelitian Biologi Tropis) bertemu dengan Robert Flanagan, ahli bio-charcoal (arang) dari Finlandia yang menjadi tamu Biotrop.

Flanagan dikenal sebagai salah seorang peneliti yang mengembangkan tungku pyrolysis di China. Ia bekerja sama dengan Pusat Penelitian Bambu Cina (Inbar).

Bersama Flanagan, Supriyanto sering terlibat dalam berbagai diskusi tentang

penelitian tungku untuk model kebutuhan energi yang sedang dikerjakan. Penelitian mulai dilakukan sejak sekitar tahun 2005. Dia mencoba mulai dari membuat tungku tradisional berbahan dasar tanah liat, semen, besi, dan kaleng bekas drum oli.

”Barulah pada percobaan yang kesembilan bisa berhasil. Sebuah tungku yang ideal untuk warga setempat terwujud. Tungku ini

saya beri nama tungku ’Jimat’, kependekan dari enerji hemat agar mudah diingat dan diucapkan,” kata Supriyanto.

”Tungku Jimat relatif sederhana dan berbahan limbah. Bahan bakarnya juga merupakan limbah dan dibuat dengan konsep energi petani,” katanya seraya menyebutkan, pembuatan tungku dilakukan di bengkel perajin musik tradisional di daerah Sukabumi.

Hemat energi

Mantan Pembantu Dekan III Fakultas Kehutanan IPB ini mengemukakan, teknologi tungku dengan konsep energi petani yang dikembangkan itu relatif efisien. Secara teknis di sini juga menggambarkan proses pyrolysis, yakni konsep teknik pembakaran yang meminimalkan penggunaan oksigen. Ruang yang minim oksigen itu lalu dimampatkan untuk meningkatkan suhu sehingga timbul asap. Asap itu kemudian diubah menjadi gas melalui satu ruangan bersuhu antara 300 derajat dan 600 derajat celsius.

Pada saat terjadi proses pyrolysis, ada tiga sumber panas, yakni kayu atau bahan organik lain untuk menghasilkan api dan asap. Asap kemudian diubah menjadi gas. Melalui ruangan bersuhu tinggi, gas terbakar menjadi energi. Sisa dari proses itu menghasilkan arang. Arang inilah yang lalu menjadi bahan bakar ketiga.

Di dalam konsep itu, secara teknis harus ada alat lain, yakni generator yang terbuat dari tabung besi. Fungsinya untuk menyimpan dan menimbulkan panas yang berasal dari bahan bakar yang terbakar, juga bisa menjaga ruangan agar tetap bersuhu 300-600 derajat celsius. Pencapaian suhu ini penting untuk mendapatkan pembakaran yang sempurna. Sementara itu, akselerator berfungsi mempercepat penyemprotan udara panas.

Tungku Jimat, menurut Supriyanto, sangat tepat untuk masyarakat pedesaan, daerah transmigrasi, warga pinggiran kota, dan pedagang makanan kaki lima.

”Tungku Jimat ini hemat energi, bahan bakarnya juga gratis karena berasal dari limbah yang diperoleh dari pekarangan rumah, tak merusak lingkungan, dan berbasis pertanian,” tambahnya.

Di samping itu, bahan baku tungku juga berasal dari limbah yang relatif murah, seperti drum oli, dan tak berisiko meledak. Energi yang dihasilkan pun cukup besar.

”Oleh karena tak menggunakan bahan bakar minyak, penggunaan tungku Jimat bisa menghemat pengeluaran uang belanja keluarga,” katanya.

Kini, tungku Jimat dalam proses pengujian untuk memenuhi kriteria Standar Industri Indonesia (SII) guna memperoleh hak kekayaan intelektual.

Sangat efisien

”Uji kinerja dan teknis untuk memperoleh efisiensi termal yang memenuhi SII sedang dilakukan,” tutur Supriyanto yang juga berkonsultasi dengan Profesor Teiss, ahli energi petani dari Belanda.

Tentang efisiensi tungku ciptaannya itu, menurut Supriyanto, bisa dibuktikan karena dari 1 kilogram bahan bakar berupa ranting, limbah kayu, dan bambu, dapat digunakan untuk memasak selama sekitar dua jam. Limbahnya hanya berupa 10 gram abu.

”Jadi, dari 1.000 gram bahan bakar yang digunakan itu, tinggal 10 gram yang menjadi abu. Sebanyak 990 gram telah dikonversi menjadi energi atau bisa dikatakan tingkat efisiensinya sebesar 99 persen,” ujar Supriyanto tentang penelitiannya selama sekitar tiga tahun itu.
Sumber : KOMPAS
Diposting oleh petani berdasi

Pamotan – Budidaya lobster bagi Kabupaten Rembang tergolong asing, karena selama ini warga yang mencoba perikanan darat lebih senang memelihara ikan lele, mujahir atau beberapa jenis ikan lain. Tapi untuk lebih memasyarakatkan lobster, Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Rembang mulai mencoba pengembangan lobster yang dipusatkan di Balai Benih Ikan BBI Pamotan.
...
Di tempat ini terdapat 16 ekor lobster induk yang sebagian diantaranya sudah bertelur. Selain itu ada pula 500 an ekor lobster calon induk yang ukurannya masih kecil. Salah satu penjaga Balai Benih Ikan BBI Pamotan, Agus Purwantono menjelaskan pengembangan lobster membutuhkan lahan yang cukup luas, karena bak sepanjang satu meter hanya bisa untuk 10 ekor. Apalagi masa panenan mencapai 6 bulan, sehingga peminatnya masih rendah. Kalau soal makan dan perawatan sehari hari, sebenarnya terbilang cukup mudah.

Agus Purwantono menambahkan kalau soal prospek harga jual lobster, bisa menembus angka Rp 150 ribu per kilo gram. Pemasarannya juga terbilang mudah, karena lobster sudah merambah ke kota kota di Indonesia. Tidak hanya sebagai bahan menu masakan spesial, tetapi juga untuk proses budidaya.

Mengenai pengembangan perikanan darat termasuk lobster, Kepala Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Rembang, Abdul Nasir menjelaskan balai benih ikan saat ini sudah dilengkapi berbagai jenis ikan tawar. Masyarakat yang akan membudidayakan, bisa datang untuk memilih bibit lobster dan ikan. Pihaknya berharap supaya sektor perikanan darat di Rembang lebih meningkat, karena jika hanya mengandalkan perikanan laut saja tidak akan mencukupi.

Abdul Nasir mengutarakan wilayah Kabupaten Rembang cukup potensial untuk pengembangan ikan tawar, terutama jenis lele. Pasokan bahan makanan, seperti ikan dengan kualitas rendah cukup mudah didapat di Tempat Pelelangan Ikan TPI. Harganya yang murah Rp 2 ribu bisa mempercepat pertumbuhan ikan lele. Anda tertarik untuk mencoba ? Tinggal pilih, budidaya lobster atau lele ?
Sumber : Radio R2B Rembang
Diposting oleh petani berdasi
Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved