Rabu, 29 April 2009
di
19.55
|
Oleh Rimba Alangalang
Aku dilahirkan di sebuah kampung, Kadusirung, desa Sukalangu, kecamatan Saketi, Pandeglang, yang jauh dari keramaian. Perkebunan, bukit, sawah, sungai, kerbau, kambing, layang-layang, alat pancing, adalah tempat, alat dan teman bermainku. Tak ada toko-toko besar di sana. atau pusat perbelanjaan yang modern, dengan banyak fasilitas yang lengkap. Apalagi sebuah toko buku. Itu adalah hal yang mustahil untuk ditemukan. Yang ada hanya warung-warung kecil yang menjual jajanan anak-anak dan kebutuhan rumah tangga biasa saja.
Kampungku dikelilingi PTPN VIII, sebuah perkebunan karet milik pemerintah. Sekitar 5 km jaraknya menuju jalan utama, dan 10 km ke kota kecamatan. Jalan saru-satunya yang menghubungkan kampungku dengan jalan utama hanyalah sebuah jalan desa. Jalan yang tidak terlalu lebar dan belum diaspal. Hamparannya berupa tanah dan batu-batu besar. Kalau musim kemarau, debu berterbangan ke mana-mana. Kalau musim hujan, jalan seperti kubangan kerbau.
BUDAK JERO
Kalau orang yang rumahnya terletak di jalan utama -- jalan raya Labuan – Pandeglang -- menjuluki kami ”BJ” alias Budak Jero (baca: orang pedalaman). Kalau kami ingin melihat mobil gede dan mobil bagus (baca: bus dan sedan), dari rumah kami harus berjalan 5 kilometer menuju prapatan Pasar Sabut, desa Sodong, Saketi. Atau kalau mau gratis, kami harus mengejar truk pengangkut pasir. Kemudian naik secara diak-diam di belakang. Jatuh dari truk dan dimarahi sopir sudah biasa bagi kami.
Di sebuah pertigaan, di pinggir jalan utama. Kami anak-anak BJ memandang takjub ke arah mobil yang berlalu-lalang. Mobil gede dan mobil bagus kami pandangi sampai hilang di tikungan, bahkan kami pandangi lekat-lekat jika datang mobil yang bentuknya belum pernah kami lihat dalam buku pelajaran di sekolah. Saat itu aku berpikir betapa tertinggalnya kampung kami dari dunia luar yang terus bergerak mengikuti arus perubahan jaman. Setelah puas, kamipun mencari tumpangan untuk pulang. Jika tidak ada, terpaksa berjalan kaki melintasi perkebunan karet yang tak berujung untuk sampai ke rumah. Tapi kami bahagia, setidaknya ada sebuah cerita yang akan kami jadikan bahan pembicaraan hangat di sekolah besok.
Dulu aku selalu berfikir kenapa bapaku bukan seorang supir mobil gede, pedagang atau pejabat? Kenapa memilih hanya menjadi guru SD saja? Tinggal di kampung yang jauh dari keramaian, gaji yang tidak seberapa dan tinggal di rumah panggung warisan buyutku pula. Tidak seperti paman dan bibiku yang tinggal di kota. Pulang membawa mobil dan memakai pakaian yang bagus-bagus. Ah, bapak!
Yah, Bapakku hanya seorang guru Sekolah dasar (SD). Setiap hari sebelum aku masuk sekolah, aku selalu diajaknya ikut ke sekolah tempatnya mengajar. Aku si kecil memperhatikannya mengajar, menghadapi murid kampungnya dengan sabar karena kemampuan murid-murid di kampung jarang di atas rata-rata.
Masuk SD
Aku masuk SD Sukalangu tahun 1991. Saat itu aku berusia tujuh tahun. Tapi pada usia enam tahun aku sudah hapal abjad dari A hingga Z. Hal tersebut sudah hebat untuk ukuran anak kampung. Disamping karena tidak ada Tk, buku-buku yang jarang, listrikpun belum masuk. Untuk belajar malam saja, harus menggunakan lampu totok. Hiburan yang ada hanya sebuah radio transistor. Satu-satunya orang yang punya televisi di kampungku hanya kepala desa.
Semua orang tumpah ke sana. Dari mulai anak-anak hingga orang tua. Itupun televisi hitam putih. Televisi hitam putih tersebut menggunakan aki (accumulator) untuk menyalakannya. Ketika muatan listrik yang tersimpan dalam aki tersebut melemah, maka gambar dalam layar TV hitam putih tersebut semakin mengecil,mengecil, dan akhirnya hanya sebuah garis horizontal saja yang terlihat.
Dibanding teman-temanku yang mayoritas bapaknya petani, buruh, dan penambang pasir, sebenarnya aku lebih beruntung. Karena bapakku seorang guru SD. Walaupun ibuku hanya lulusan MTS (Madrasah Tsanawiyah) dan seorang ibu rumah tangga biasa. Gaji bapakku hanya cukup buat makan saja waktu itu. Tapi aku masih lebih beruntung dari kawan-kawanku. Pada 1990-an di kampungku, untuk membeli satu buah buku tulis saja harganya Rp. 500,-. Kalau mereka mau membeli buku, harus mengumpulkan uang selama seminggu. Tapi waktu itu aku masih belum puas karena bapakku bukan seorang pejabat atau supir mobil gede. Hanya seorang guru SD.
Semenjak bisa membaca, tanganku tidak pernah lepas dari buku. Ibuku sering jengkel ketika aku memegang buku, karena pasti pekerjaan rutinku memberi makan ayam peliharaan kami terabaikan. Atau kadang beliau marah karena terasi yang baru dibelinya sudah tak terbungkus lagi, karena bungkusnya sudah berpindah tempat. Akulah yang mengambilnya untuk dibaca.
Naik ke kelas lima, buku-buku cerita di SD-ku sudah aku lahap semua. Beberapa masih ada di kamarku, sampai saat ini belum aku kembalikan. Karena mengambilnya pun secara diam-diam. Yaitu dengan cara meloncat dari jendela paling atas ruang guru. Rupanya bapak tahu kegilaanku terhadap buku. Tanpa sepengetahuanku, sepulang mengajar, bapak selalu membawakan buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah tempatnya mengajar. Ketika aku pulang sekolah, buku-buku cerita tersebut sudah tertumpuk di meja belajarku. Biasanya buku-buku tersebut habis kubaca hari itu juga. sebelum sekolah agama dan sebelum tidur di remang lampu totok. Dan setelah sekian lama, aku tahu bahwa bapaklah yang selalu menyimpannya di meja belajarku.
Setelah habis kubaca, mulai lagi aku grasak-grusuk mencari buku-buku yang bisa aku baca. Kadang aku menukarkan panci yang sudah tidak terpakai dengan sebuah komik petruk karya Tatang S kepada Mang Usup, tukang rongsokan. Mang usup sesekali suka melintas di kampungku. Di gerobaknya banyak barang rongsokan. Dia menukar barang-barangnya berupa komik, makanan brondong (semacam popcorn), gulali (permen), dan mainan anak-anak dari plastik, dengan perkakas rumahtangga yang sudah jelek. Bahkan panci yang masih agak baguspun aku penyok-penyokin supaya bisa ditukar. Jika komik Tatang S habis aku baca, kadang meminjam novel remaja dari sepupuku yang sudah SMA di Menes, kota kecamatan. Padahal waktu itu aku masih kelas lima SD
Sumber : http://www.rumahdunia.net
Aku dilahirkan di sebuah kampung, Kadusirung, desa Sukalangu, kecamatan Saketi, Pandeglang, yang jauh dari keramaian. Perkebunan, bukit, sawah, sungai, kerbau, kambing, layang-layang, alat pancing, adalah tempat, alat dan teman bermainku. Tak ada toko-toko besar di sana. atau pusat perbelanjaan yang modern, dengan banyak fasilitas yang lengkap. Apalagi sebuah toko buku. Itu adalah hal yang mustahil untuk ditemukan. Yang ada hanya warung-warung kecil yang menjual jajanan anak-anak dan kebutuhan rumah tangga biasa saja.
Kampungku dikelilingi PTPN VIII, sebuah perkebunan karet milik pemerintah. Sekitar 5 km jaraknya menuju jalan utama, dan 10 km ke kota kecamatan. Jalan saru-satunya yang menghubungkan kampungku dengan jalan utama hanyalah sebuah jalan desa. Jalan yang tidak terlalu lebar dan belum diaspal. Hamparannya berupa tanah dan batu-batu besar. Kalau musim kemarau, debu berterbangan ke mana-mana. Kalau musim hujan, jalan seperti kubangan kerbau.
BUDAK JERO
Kalau orang yang rumahnya terletak di jalan utama -- jalan raya Labuan – Pandeglang -- menjuluki kami ”BJ” alias Budak Jero (baca: orang pedalaman). Kalau kami ingin melihat mobil gede dan mobil bagus (baca: bus dan sedan), dari rumah kami harus berjalan 5 kilometer menuju prapatan Pasar Sabut, desa Sodong, Saketi. Atau kalau mau gratis, kami harus mengejar truk pengangkut pasir. Kemudian naik secara diak-diam di belakang. Jatuh dari truk dan dimarahi sopir sudah biasa bagi kami.
Di sebuah pertigaan, di pinggir jalan utama. Kami anak-anak BJ memandang takjub ke arah mobil yang berlalu-lalang. Mobil gede dan mobil bagus kami pandangi sampai hilang di tikungan, bahkan kami pandangi lekat-lekat jika datang mobil yang bentuknya belum pernah kami lihat dalam buku pelajaran di sekolah. Saat itu aku berpikir betapa tertinggalnya kampung kami dari dunia luar yang terus bergerak mengikuti arus perubahan jaman. Setelah puas, kamipun mencari tumpangan untuk pulang. Jika tidak ada, terpaksa berjalan kaki melintasi perkebunan karet yang tak berujung untuk sampai ke rumah. Tapi kami bahagia, setidaknya ada sebuah cerita yang akan kami jadikan bahan pembicaraan hangat di sekolah besok.
Dulu aku selalu berfikir kenapa bapaku bukan seorang supir mobil gede, pedagang atau pejabat? Kenapa memilih hanya menjadi guru SD saja? Tinggal di kampung yang jauh dari keramaian, gaji yang tidak seberapa dan tinggal di rumah panggung warisan buyutku pula. Tidak seperti paman dan bibiku yang tinggal di kota. Pulang membawa mobil dan memakai pakaian yang bagus-bagus. Ah, bapak!
Yah, Bapakku hanya seorang guru Sekolah dasar (SD). Setiap hari sebelum aku masuk sekolah, aku selalu diajaknya ikut ke sekolah tempatnya mengajar. Aku si kecil memperhatikannya mengajar, menghadapi murid kampungnya dengan sabar karena kemampuan murid-murid di kampung jarang di atas rata-rata.
Masuk SD
Aku masuk SD Sukalangu tahun 1991. Saat itu aku berusia tujuh tahun. Tapi pada usia enam tahun aku sudah hapal abjad dari A hingga Z. Hal tersebut sudah hebat untuk ukuran anak kampung. Disamping karena tidak ada Tk, buku-buku yang jarang, listrikpun belum masuk. Untuk belajar malam saja, harus menggunakan lampu totok. Hiburan yang ada hanya sebuah radio transistor. Satu-satunya orang yang punya televisi di kampungku hanya kepala desa.
Semua orang tumpah ke sana. Dari mulai anak-anak hingga orang tua. Itupun televisi hitam putih. Televisi hitam putih tersebut menggunakan aki (accumulator) untuk menyalakannya. Ketika muatan listrik yang tersimpan dalam aki tersebut melemah, maka gambar dalam layar TV hitam putih tersebut semakin mengecil,mengecil, dan akhirnya hanya sebuah garis horizontal saja yang terlihat.
Dibanding teman-temanku yang mayoritas bapaknya petani, buruh, dan penambang pasir, sebenarnya aku lebih beruntung. Karena bapakku seorang guru SD. Walaupun ibuku hanya lulusan MTS (Madrasah Tsanawiyah) dan seorang ibu rumah tangga biasa. Gaji bapakku hanya cukup buat makan saja waktu itu. Tapi aku masih lebih beruntung dari kawan-kawanku. Pada 1990-an di kampungku, untuk membeli satu buah buku tulis saja harganya Rp. 500,-. Kalau mereka mau membeli buku, harus mengumpulkan uang selama seminggu. Tapi waktu itu aku masih belum puas karena bapakku bukan seorang pejabat atau supir mobil gede. Hanya seorang guru SD.
Semenjak bisa membaca, tanganku tidak pernah lepas dari buku. Ibuku sering jengkel ketika aku memegang buku, karena pasti pekerjaan rutinku memberi makan ayam peliharaan kami terabaikan. Atau kadang beliau marah karena terasi yang baru dibelinya sudah tak terbungkus lagi, karena bungkusnya sudah berpindah tempat. Akulah yang mengambilnya untuk dibaca.
Naik ke kelas lima, buku-buku cerita di SD-ku sudah aku lahap semua. Beberapa masih ada di kamarku, sampai saat ini belum aku kembalikan. Karena mengambilnya pun secara diam-diam. Yaitu dengan cara meloncat dari jendela paling atas ruang guru. Rupanya bapak tahu kegilaanku terhadap buku. Tanpa sepengetahuanku, sepulang mengajar, bapak selalu membawakan buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah tempatnya mengajar. Ketika aku pulang sekolah, buku-buku cerita tersebut sudah tertumpuk di meja belajarku. Biasanya buku-buku tersebut habis kubaca hari itu juga. sebelum sekolah agama dan sebelum tidur di remang lampu totok. Dan setelah sekian lama, aku tahu bahwa bapaklah yang selalu menyimpannya di meja belajarku.
Setelah habis kubaca, mulai lagi aku grasak-grusuk mencari buku-buku yang bisa aku baca. Kadang aku menukarkan panci yang sudah tidak terpakai dengan sebuah komik petruk karya Tatang S kepada Mang Usup, tukang rongsokan. Mang usup sesekali suka melintas di kampungku. Di gerobaknya banyak barang rongsokan. Dia menukar barang-barangnya berupa komik, makanan brondong (semacam popcorn), gulali (permen), dan mainan anak-anak dari plastik, dengan perkakas rumahtangga yang sudah jelek. Bahkan panci yang masih agak baguspun aku penyok-penyokin supaya bisa ditukar. Jika komik Tatang S habis aku baca, kadang meminjam novel remaja dari sepupuku yang sudah SMA di Menes, kota kecamatan. Padahal waktu itu aku masih kelas lima SD
Sumber : http://www.rumahdunia.net
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar