Jumat, 17 April 2009
di
19.09
|
Berawal dari Sakit Hati Karena Pupuk Buatan Pabrik Menghilang
Pengembangan pupuk organik tidak muncul begitu saja. Namun siapa sangka latar belakangnya berawal dari sakit hati ketika jadwal pemupukan pupuk buatan pabrik selalu menghilang.
HALIMATU HILDA, Kudus
MELINTAS di bawah rerimbunan pohon di kawasan lingkungan sekretariatan daerah (Setda Kudus), lelaki berusia sekitar 40 tahun itu melengggang. Dengan tas menggantung di pundaknya, langkahnya terlihat sangat ringan. Tidak ada beban yang tersirat dari wajahnya, malah senyumnya menyungging saat bertemu.
"Ini mau ke Bappeda melihat program-program desa," ucapnya saat ditanya perihal kedatangannya yang juga menjabat sebagai seorang kepala desa di wilayah Jekulo.
Ya, pria bernama lengkap Sumani tersebut memang beberapa kali memantau usulan program terkait pembangunan desa. Kali ini, yang ingin dilihatnya adalah usulan pembangunan jalan desa. Supaya tidak selalu berkena banjir, pihak desa meminta jalan ditinggikan.
"Lha bagaimana, kalau tidak ditinggikan pasti akan kena banjir terus. Karena letak jalan dengan sungai malah tinggi sungainya," jelasnya.
Pembicaraan terus berlanjut tentang program peninggian jalan tersebut. Namun, ketika disinggung permasalahan pupuk, lelaki ini tidak seperti kebanyakan petani yang mengeluhkan keberadaan pupuk.
"Pupuk wah sekarang pupuk baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah semuanya lancar," ujarnya sambil tersenyum.
Kemudian ia melanjutkan pembicaraan yang dimaksudkan tadi. "Kan kami sudah mengembangkan pupuk organik. Jadi tidak tahu dong dengan permasalahan pupuk seperti urea atau pupuk buatan pabrik lainnya," tambahnya.
Sikap acuh tak acuhnya terhadap pupuk pabrikan berbeda saat ditanya setahun lalu. Tatkala ia masih menggunakan pupuk pabrikan. Setidaknya yang terekam dalam Radar Kudus, pihaknya bersama perkumpulan kelompok tani nelayan andalan (KTNA) sangat tersiksa saat masih menggunakan pupuk pabrikan.
Di mana saat pupuk ini dibutuhkan, ternyata hanya sedikit sekali yang datang. Bahkan sampai didapati, petani di daerahnya harus mengulur waktu pemupukan, karena pasokan sering terlambat.
Mereka pun tidak dapat berbuat banyak, lantaran persoalan pupuk itu sudah didengungkan pemkab yang diusulkan penambahan kuota. Hanya, permasalahan tersebut tidak pernah membuatnya lega. "Awalnya dari kepepet tidak ada pupuk. Akhirnya kami beralih ke pupuk organik saja," ujarnya.
Keinginan tersebut dibahas di tengah-tengah para anggota KTNA Kecamatan Jekulo. Karena minim pengetahuan, pihaknya dibimbing Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kudus.
"Kami bersama-sama dengan Pak Agus seorang petugas penyuluh lapangan (PPL). Saya sangat berterimakasih, karena Pak Agus siang malam terus membantu kami," ujarnya.
Ia pun mengakui tidak mudah merealisasikan keinginan tersebut. Apalagi jika mental petani pada umumnya enggan bersusah payah. Pasalnya, untuk memroses pupuk organik harus menunggu selama 20 hari, baru dapat digunakan.
Selain itu, proses pembuatannya dari sampah rumah tangga yang sudah membusuk. Sampah itu diayak kemudian dijadikan satu dengan kotoran hewan kemudian ditambah dan bahan lainnya.
Itu pun belum selesai, karena masih harus diuji coba di lahan persawahan. Proses yang terkesan rumit tersebut diakuinya membuatnya ia puas. Walaupun hasil panennya hanya sekitar 6 ton per hektar (sama seperti hasil menggunakan pupuk organik) tapi dari biayanya cukup murah yakni Rp 35 ribu per kuintal.
"Kalau pakai pupuk anorganik (pabrikan) harga per kuintalnya Rp 120 ribu. Meski begitu, kami yakin suatu saat nanti keuntungan lebih akan kami dapat," harapnya.
Sumani yakin, penggunaan pupuk organik ini semakin lama kondisi tanahnya semakin membaik dan subur. Hal ini tentunya menghemat penggunaan pupuk organik. Dari dua ton untuk per hektarnya, dalam jangka tertentu akan kebutuhan pupuknya akan berkurang.
"Kami sama sekali sudah tidak menggunakan pupuk pabrikan. Kami berharap petani yang lain juga sama. Apalagi pupuk ini sangat ramah lingkungan," tambahnya.
Apakah pupuk itu akan dijual bebas? Pihaknya mengakui kebutuhan pupuk baru untuk anggota kelompok tani. Pasalnya, dana yang terkumpul hanya cukup untuk memproduksi sekitar 70 ton. Dalam artian, produksinya baru dirasakan anggotanya saja. Ada yang mau bergabung? (*/joe)
Sumber : Jawa Pos Radar Kudus
Pengembangan pupuk organik tidak muncul begitu saja. Namun siapa sangka latar belakangnya berawal dari sakit hati ketika jadwal pemupukan pupuk buatan pabrik selalu menghilang.
HALIMATU HILDA, Kudus
MELINTAS di bawah rerimbunan pohon di kawasan lingkungan sekretariatan daerah (Setda Kudus), lelaki berusia sekitar 40 tahun itu melengggang. Dengan tas menggantung di pundaknya, langkahnya terlihat sangat ringan. Tidak ada beban yang tersirat dari wajahnya, malah senyumnya menyungging saat bertemu.
"Ini mau ke Bappeda melihat program-program desa," ucapnya saat ditanya perihal kedatangannya yang juga menjabat sebagai seorang kepala desa di wilayah Jekulo.
Ya, pria bernama lengkap Sumani tersebut memang beberapa kali memantau usulan program terkait pembangunan desa. Kali ini, yang ingin dilihatnya adalah usulan pembangunan jalan desa. Supaya tidak selalu berkena banjir, pihak desa meminta jalan ditinggikan.
"Lha bagaimana, kalau tidak ditinggikan pasti akan kena banjir terus. Karena letak jalan dengan sungai malah tinggi sungainya," jelasnya.
Pembicaraan terus berlanjut tentang program peninggian jalan tersebut. Namun, ketika disinggung permasalahan pupuk, lelaki ini tidak seperti kebanyakan petani yang mengeluhkan keberadaan pupuk.
"Pupuk wah sekarang pupuk baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah semuanya lancar," ujarnya sambil tersenyum.
Kemudian ia melanjutkan pembicaraan yang dimaksudkan tadi. "Kan kami sudah mengembangkan pupuk organik. Jadi tidak tahu dong dengan permasalahan pupuk seperti urea atau pupuk buatan pabrik lainnya," tambahnya.
Sikap acuh tak acuhnya terhadap pupuk pabrikan berbeda saat ditanya setahun lalu. Tatkala ia masih menggunakan pupuk pabrikan. Setidaknya yang terekam dalam Radar Kudus, pihaknya bersama perkumpulan kelompok tani nelayan andalan (KTNA) sangat tersiksa saat masih menggunakan pupuk pabrikan.
Di mana saat pupuk ini dibutuhkan, ternyata hanya sedikit sekali yang datang. Bahkan sampai didapati, petani di daerahnya harus mengulur waktu pemupukan, karena pasokan sering terlambat.
Mereka pun tidak dapat berbuat banyak, lantaran persoalan pupuk itu sudah didengungkan pemkab yang diusulkan penambahan kuota. Hanya, permasalahan tersebut tidak pernah membuatnya lega. "Awalnya dari kepepet tidak ada pupuk. Akhirnya kami beralih ke pupuk organik saja," ujarnya.
Keinginan tersebut dibahas di tengah-tengah para anggota KTNA Kecamatan Jekulo. Karena minim pengetahuan, pihaknya dibimbing Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kudus.
"Kami bersama-sama dengan Pak Agus seorang petugas penyuluh lapangan (PPL). Saya sangat berterimakasih, karena Pak Agus siang malam terus membantu kami," ujarnya.
Ia pun mengakui tidak mudah merealisasikan keinginan tersebut. Apalagi jika mental petani pada umumnya enggan bersusah payah. Pasalnya, untuk memroses pupuk organik harus menunggu selama 20 hari, baru dapat digunakan.
Selain itu, proses pembuatannya dari sampah rumah tangga yang sudah membusuk. Sampah itu diayak kemudian dijadikan satu dengan kotoran hewan kemudian ditambah dan bahan lainnya.
Itu pun belum selesai, karena masih harus diuji coba di lahan persawahan. Proses yang terkesan rumit tersebut diakuinya membuatnya ia puas. Walaupun hasil panennya hanya sekitar 6 ton per hektar (sama seperti hasil menggunakan pupuk organik) tapi dari biayanya cukup murah yakni Rp 35 ribu per kuintal.
"Kalau pakai pupuk anorganik (pabrikan) harga per kuintalnya Rp 120 ribu. Meski begitu, kami yakin suatu saat nanti keuntungan lebih akan kami dapat," harapnya.
Sumani yakin, penggunaan pupuk organik ini semakin lama kondisi tanahnya semakin membaik dan subur. Hal ini tentunya menghemat penggunaan pupuk organik. Dari dua ton untuk per hektarnya, dalam jangka tertentu akan kebutuhan pupuknya akan berkurang.
"Kami sama sekali sudah tidak menggunakan pupuk pabrikan. Kami berharap petani yang lain juga sama. Apalagi pupuk ini sangat ramah lingkungan," tambahnya.
Apakah pupuk itu akan dijual bebas? Pihaknya mengakui kebutuhan pupuk baru untuk anggota kelompok tani. Pasalnya, dana yang terkumpul hanya cukup untuk memproduksi sekitar 70 ton. Dalam artian, produksinya baru dirasakan anggotanya saja. Ada yang mau bergabung? (*/joe)
Sumber : Jawa Pos Radar Kudus
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar