Sabtu, 17 Januari 2009 di 04.59 |  
Uwan = Kakak/Abang
Waktu itu Jumat sore 11 Desember 1981. Medan sedang berangin dan berdebu. Dalam perjalanan Uwan ke Medan kali itu, Tuhan mempertemukannya dengan Abang Saragih, seorang pegawai honorer rendahan di Dinas Perkebunan Kabupaten Deli Serdang. Si Abang yang enerjik kelihatan sedang termenung, menerawang jauh tentang keputusan yang terlanjur diambilnya.
Ia terlanjur menjual sepeda motor kesayangannya untuk membeli polybag. Abang membibitkan mahoni, karena logikanya pasti akan banyak permintaan bibit menyusul penebangan ribuan batang pohon mahoni sepanjang jalan poros Medan – Pematang Siantar. ...Nampaknya ini proyek empuk, karena tak terdengar pihak lain berinisiatif mengantisipasi fenomena itu.Ada 20 ribu bibit lebih di sekeliling rumahnya, kawasan Tanjung Morawa sejarak 2 kilometer dari jalan raya Medan - Siantar. Bibitnya sudah berumur 9 bulan, saat yang baik untuk ditanam. Rata-rata sudah 8 daun.
Namun sampai detik itu, tak ada permintaan. Kelihatan Pemda belum punya pikiran menanam pengganti yang ditebang. Pihak Propinsi nampaknya tidak tertarik melakukan peremajaan. Mulai tahun itu, kalau bepergian ke Siantar kita akan kehilangan suasana sejuk di tengah lorong mahoni balik bertimba. Panas garang gantinya.
Uwan mengusulkan, lebih baik ditanam saja di kawasan kampung, karena lahan sekitar adalah ulayat marga Saragih. Dengan mediator Uwan, diperoleh kesepakatan marga, mahoni boleh ditanam di lahan menggurun yang selama ini memang tak bermanfaat sama sekali. Hasilnya, 50 % untuk Abang Saragih pribadi, sisanya untuk kesejahteraan marga Saragih sekampung-kampung. Kongkritnya bersinergi.
Penanaman tak beraturan, lahan bergelombang dan umumnya gersang itu diisi oleh 2000 – 2500 batang perhektarnya. Dalam suasana putus harapan, pokoknya target 20 ribu bibit harus tertanam semua, kalau perlu jarak tanam hanya 2 x 2 meter yang tentu tidak tepat menurut teori perkebunan.
Demikianlah, 16 tahun kemudian, minggu 27 Juli 1997 Uwan kembali dipertemukan dengan Abang Saragih. Kali ini di kampus penelitian kehutanan Aek Nauli, dekat Parapat. Uwan pangling karena ia memakai kopiah haji sedang mengimami shalat magrib berjamaah. Ia rupanya sedang ikut melatih petani tentang pengembangan tanaman hutan rakyat, dalam rangka mendukung program hutan kemasyarakatan Dephutbun.
Diskusi Uwan dengannya lama sekali, asyik sambung menyambung sampai larut malam. Maklum, lama tak bersua. Dengan bangga si Abang bercerita bahwa marga Saragih islam dewasa dikampungnya hampir semuanya berpredikat haji dan hajjah. Alhamdulillah.
Pembiayaannya, itu tadi, dari penjualan mahoni yang dulu ditanam sambil tak ada harapan. Rupanya, karena ditanam rapat – rapat sekali, diperoleh fisik pohon mahoni meninggi sehingga bisa diperoleh balok panjang 15 meter. Hutannya pasti eksotis dan gelap, karena kanopinya bersambungan satu dengan lainnya. Jumlah yang berhasil hidup 13.973 batang.
Agustus 1994 sebelumnya, hutan itu diborong oleh satu perusahaan furniture orientasi ekspor senilai 1,5 juta rupiah perbatang (termasuk ranting dan akarnya, tentu digaruk habis tak bersisa). Silahkan hitung, nilainya lebih 20 milyar ! Masya Allah, itu jelas uang semua, tak bercampur dengan jenis kertas lainnya.
Dengan rejeki mahoni senilai itu, marga Saragih membangun kehidupan sosial dan martabat komunal. Hasil deposito bahkan memberi kesempatan beasiswa kepada marga Saragih muda menuntut ilmu, salah satunya sampai ke Aberdeen – Inggris, mengambil S2 di bidang sustainable agriculture. Tentu akan menjadi tumpuan harapan kelak dalam membela marga menyongsong arus globalisasi.
Pertemuan kami akhir-akhir ini lumayan intensif. Tiap pertemuan Uwan selalu diberi sangu, nilainya mencapai jutaan rupiah karena dianggap berjasa memberikan ide tahun 1981 silam. Abang selalu mengundang ke Medan, sedikitnya dua kali setahun. Sekedar bersilaturrahmi, katanya.
Mengingat era ekolabeling pada 2010 mendatang, dimana kayu yang beredar tak boleh lagi hasil konversi dari hutan alam, pola yang dikembangkan Abang Saragih nampaknya perlu ditiru. Untuk lahan menggurun yang jelas-jelas kurang subur dan biasanya dibiarkan terlantar, atau di lahan suku, lahan kaum atau malah lahan ulayat nagari, hutan buatan jenis mahoni atau jenis kayu lainnya ada baiknya mulai ditanam. Setahu Uwan, ada berbagai jenis kayu tropis eksotik bernilai tinggi yang dapat dikembangkan dengan pola tersebut.
Pola ini tentu lebih lanjut bisa pula menjadi semacam tabungan nagari, bila kelak hidup bernagari diberlakukan kembali di Sumatera Barat. Lahan tersedia dan masih terbengkalai lebih dari cukup. (12.06.00)
Sumber : uwanzukri.com

Diposting oleh petani berdasi

0 komentar:

Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved