Membantu untuk lebih memandirikan anak cacat memacu Agus Anis Riyanto (38) untuk bertekun menjadi guru sekolah luar biasa selama 15 tahun ini. "Setidaknya murid-murid saya bisa menolong diri sendiri. Bahkan, ada yang berhasil membuka warung dan ada yang sukses menjadi penjual jamu," tuturnya bangga.
Terlahir sebagai anak kelima dari enam bersaudara, pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah, ini tinggal berdekatan dengan sebuah panti anak-anak penyandang cacat. Masyarakat yang terkadang memberi perlakuan berbeda terhadap mereka membuatnya tergugah. ...

Lepas SMA, Agus belajar di Sekolah Pendidikan Guru Pendidikan Luar Biasa selama dua tahun di Surakarta. Ia mengantongi gelar sarjana S1 pendidikan luar biasa di Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Adi Buana, Surabaya, dengan mengkhususkan diri dalam pendidikan untuk tunagrahita.
Agus melamar di beberapa sekolah luar biasa (SLB) dan tahun 1989 diterima di SLB Marsudi Utomo, Kecamatan Kesamben, Blitar. Sekolah ini sudah lama ia incar sebagai tempat mengajar karena selalu ia lewati setiap kali berlibur di rumah kakaknya di Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang.

Setelah dua tahun mengajar, Agus banyak berinteraksi dengan para orangtua murid. Orangtua Lukman, salah sorang muridnya yang menyandang tunagrahita, pernah bercerita bahwa keberadaan SLB sangat dibutuhkan. Anak-anak cacat yang banyak terdapat di sekitar tempat tinggal mereka di Desa Ngebruk, Kecamatan Sumberpucung, juga sangat memerlukan penanganan seperti Lukman.

"Namun, menurut cerita mereka, waktu itu belum ada SLB yang jarak tempuhnya dekat. Pilihan bagi warga cacat yang ingin bersekolah hanyalah di Kecamatan Kepanjen yang berjarak 20 kilometer atau ke Blitar yang jaraknya 40 kilometer," tuturnya.
Merasa menemukan tempat yang tepat, Agus mulai membuka sekolah bagi anak-anak tunarungu dan tunagrahita. Namun, untuk mewujudkan keinginannya itu bukan perkara mudah. Karena belum mempunyai tempat mengajar, dia mulai melakukan pendekatan terhadap kepala desa dan camat setempat. Niatnya ini disambut baik. Sebagai ruang kelas, dia diberi kesempatan menempati gudang di rumah seorang warga yang akrab disapanya Bu Minar.

Di ruangan seluas delapan kali tujuh meter persegi itulah Agus mengawali proses belajar-mengajar hanya dengan empat murid, yang dikumpulkannya dengan susah payah dari rumah ke rumah. Sebagai pemancing minat bagi warga lainnya, sekolah "percobaan" yang belum dinamainya ini sengaja tidak mengenakan biaya apa-apa.
KENDALA keuangan tidak menyurutkan niatnya. Sendirian, dia melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga sambil menyosialisasikan rencananya mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Waktu itu, ditemukan jumlah penyandang cacat di Kecamatan Sumberpucung dan Kromengan mencapai 56 anak. Namun, mereka yang kebanyakan penyandang cacat tunarungu itu sebagian besar sudah tidak berada di dalam usia sekolah.

Kendala lain juga muncul, para orangtua yang ditemui rata-rata cenderung menutup-nutupi kondisi putra-putrinya karena malu. Namun, Agus pantang menyerah.
Keseriusannya dia buktikan dengan bernegosiasi dengan Yayasan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Malang, untuk meminta dukungan bagi pendirian sekolah. Berhasil. Tanggal 10 Mei 1994, sekolah itu resmi mendapatkan izin dan terdaftar di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan nama SLB PGRI B/C Sumberpucung. Tanah seluas 200 meter persegi di belakang Balai Desa Ngebruk diperolehnya dari desa setempat.

Untuk pembangunannya, Yayasan PGRI menyumbang Rp 800.000. Warga sekitar turut menyumbang. Maka, dibangunlah dua ruang kelas serta satu ruang guru merangkap usaha kesehatan sekolah (UKS). Pembangunan yang selesai tahun 1997 ini menghabiskan dana sekitar Rp 7 juta.

Setelah pindah dari rumah Bu Minar, jumlah anak didiknya bertambah, dari 24 menjadi 39 anak, terdiri dari kelas TK dan SD. Sementara untuk tenaga guru, dia sudah merekrut dua orang lulusan SMA untuk membantunya. Untuk menambah murid, dia membangun hubungan baik dengan sejumlah sekolah di berbagai kecamatan.
Dengan berbekal hubungan baik dan publikasi sekolah secara gethok tular atau dari mulut ke mulut itulah murid-murid Agus kini tidak terbatas dari Kecamatan Sumberpucung, tetapi melebar di dua kecamatan terdekat, yaitu Kromengan dan Kalipare. Begitu dipercayanya SLB ini, sehingga salah satu orangtua murid memasukkan putranya, seorang tunagrahita berusia 21 tahun, bersekolah di sana.
Di balik keberhasilannya mengajar dan mendirikan sekolah, Agus mengaku hingga kini belum juga bisa mewujudkan keinginan pribadinya yang terpendam sejak lama, yakni menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

"Sejak saya mendaftarkan diri sebagai guru tidak tetap tahun 1989, sudah sembilan kali saya mengikuti ujian PNS, namun selalu gagal," ujarnya.
Keinginannya ini dipicu oleh harapannya untuk hidup lebih baik. Selama berstatus guru tidak tetap di SLB PGRI B/C Sumberpucung, dia mendapat gaji Rp 50.000 per bulan. Itu masih harus dikurangi biaya operasional kegiatan belajar-mengajar. Sementara untuk uang iuran sekolah para murid, dia tidak berani menetapkan terlalu tinggi karena sebagian besar orangtua murid adalah petani. Mereka dikenai Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per bulan.

Dengan penghasilannya itu, Agus berupaya mencari kerja sambilan, di antaranya menjadi pelatih bulu tangkis di klub-klub dan menjadi penyiar radio Citra Swara, sebuah radio swasta di Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang.
Dengan pemasukan seadanya, Agus berupaya sehemat mungkin agar tetap bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Menghindari pengeluaran uang untuk indekos atau mengontrak rumah misalnya, dia memanfaatkan ruang UKS di sekolah.
"Ya di ruang inilah saya tidur, makan, sekaligus bekerja untuk mengoreksi pekerjaan anak-anak," ungkapnya sambil menunjuk UKS yang merangkap sebagai kamar tidur sekaligus kamar kerjanya. (REGINA RUKMORINI)
Sumber :http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0408/19/naper/1208373.htm
Diposting oleh petani berdasi

0 komentar:

Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved