SETIAP hari sejak bangun tidur, lelaki tua berkacamata tebal itu membaca buku, merapikan dan memperbaiki sampul sebagian buku-bukunya yang mulai rusak. Sore hari dia berkeliling Yogyakarta dengan bersepeda atau naik bus kota untuk mengedarkan aneka macam buku.

DIA mendatangi kelompok-kelompok bermain anak, siswa-siswa di sekolah, remaja masjid, pemuda karang taruna, kelompok pengajian, tukang becak yang tengah mangkal, bahkan para ibu pedagang di pasar-pasar untuk dipinjaminya buku secara gratis.

...
Lelaki itu adalah Mbah Dauzan Farook (79), warga Kampung Kauman, Yogyakarta-"Mbah" artinya kakek. Dialah pemilik Perpustakaan Mabulir, singkatan dari majalah dan buku bergilir, yaitu perpustakaan yang didirikannya, dikelolanya, dan didanainya sendiri.

Di rumahnya yang sederhana di sebuah gang sempit di Kampung Kauman, Kota Yogyakarta, buku-buku dan majalah bertebaran. Di ruang tamunya hanya ada dua buah sofa butut. Selebihnya adalah rak berisi buku-buku dan majalah. Kamarnya juga penuh dengan buku, bertumpuk sampai hampir menyentuh langit-langit.

"Buku adalah kekayaan yang bisa mencerahkan manusia. Para pendiri bangsa kita dulu adalah orang-orang yang sangat kuat dalam membaca sehingga semangat dan wawasan kebangsaan mereka sangat tinggi," kata lelaki yang tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Sastra Timur Universitas Gadjah Mada ini.

Mbah Dauzan selalu membaca semua buku sebelum dipinjamkan kepada para pelanggan, walaupun untuk membacanya dia harus menggunakan kaca pembesar. Ia ingin memberikan bacaan yang terbaik. Semua orang dari berbagai latar belakang dilayaninya, tanpa membedakan agama, pendidikan, atau kedudukannya.

Beberapa kali ia keluar masuk Kantor Wali Kota Yogya Herry Zudianto untuk meminjamkan buku-buku. Mantan calon presiden Amien Rais dan sejumlah tokoh lain di Yogyakarta juga pernah meminjam buku kepadanya.

MBAH Dauzan lahir tahun 1925 di Kampung Kauman, Kota Yogya, tempat kelahiran organisasi massa Muhammadiyah. Kecintaannya terhadap buku bermula sejak kecil ketika dia sering membantu bapaknya, H Muhammad Bajuri, yang menjadi pengelola Taman Pustaka Muhammadiyah atau Perpustakaan Muhammadiyah.

Saat perang kemerdekaan, Dauzan remaja bergabung dengan para gerilyawan dalam pasukan Sub Wehrkreise (SWK) 101. Ia terlibat kontak fisik di dalam penyerbuan gudang senjata Jepang di Kota Baru 6 Juli 1945 dan Serangan Oemoem 1 Maret 1949.

Pada tahun 1950 dia keluar dari ketentaraan dengan pangkat terakhir letnan dua. Dia melanjutkan usaha batik orangtuanya, tetapi berhenti pada tahun 1975 saat bisnis batik di Yogyakarta hancur. Ia lalu berdagang emas dan jadi distributor buku.

Tahun 1989 Mbah Dauzan mendapat uang pensiun veteran sebesar Rp 500.000 per bulan, yang justru membebaninya. "Saya seperti mendapat amanah besar untuk memakai uang itu dengan sebaik-baiknya untuk kemajuan negara ini," katanya.

Dia menghabiskan uang itu untuk membeli buku-buku di Shopping Centre, pusat penjualan buku bekas Yogyakarta. Sejak itulah Mbah Dauzan mulai berkeliling mengedarkan buku-bukunya secara gratis.

Ia meminjamkannya dengan sistem bergilir, yang dinamakannya multylevel reading. "Mengelola perpustakaan keliling adalah bisnis dengan keuntungan abstrak. Landasannya kepercayaan sehingga aturannya tidak perlu birokratis. Dagangan Tuhan. Tidak perlu ada KTP atau apa. Sesama manusia saudara, harus bisa dipercaya," ujarnya.

Memang ada bukunya yang hilang, tetapi ia tidak kapok. "Risiko mati saja berani, kok cuma kehilangan buku," katanya.

Mbah Dauzan menyiasatinya dengan membentuk kelompok dan tidak lagi melayani pinjaman secara perseorangan, kecuali kepada orang-orang yang sangat dikenalnya. Koordinator kelompok bacaan itulah yang menjadi rekanan Mbah Dauzan untuk mengontrol peredaran buku-buku tersebut.

Untuk menyegarkan koleksinya, buku-buku yang sudah jenuh diberikan kepada anak-anak desa melalui kuliah kerja nyata (KKN) mahasiswa dan kegiatan sosial yang lain.

"Kalau kita memelihara ikan di dalam akuarium, bukankah airnya harus rutin diganti? Pembaca harus diberi buku-buku baru agar tidak bosan," ujarnya.

Dengan prinsip itu, koleksi buku di Perpustakaan Mabulir bisa mengikuti perkembangan zaman. Buku-buku baru tentang komputer, ekonomi modern, kumpulan cerpen, dan novel-novel baru yang populer berbaur dengan buku-buku kuno era Pujangga Baru serta buku-buku sejarah dengan bahasa daerah, bahasa Indonesia, maupun Belanda.

Kini jumlah koleksi Perpustakaan Mabulir sekitar 5.000 buku dan 4.000 majalah. Jumlah kelompok membaca yang dibinanya mencapai 100 kelompok, dengan masing-masing anggota kelompok 4-20 orang.

Mabulir sudah punya perwakilan di lima kota, yaitu Jakarta, Solo, Brebes, Purworejo, dan Magelang. Semua pengelola perwakilan itu sebelumnya adalah para pelanggannya. Sebulan atau dua bulan sekali mereka menukarkan buku kepada Mbah Dauzan. "Saya berharap, suatu saat perwakilan itu mandiri," katanya.

Perpustakaan Mabulir terus berkembang. Bahkan, pengelola Perpustakaan Daerah DIY menitipkan sekitar 500 buku kepada Dauzan untuk dikelola. Sejumlah sukarelawan yang sebagian besar remaja silih berganti datang ke rumah Mbah Dauzan dan membantunya mengelola perpustakaan. Di samping itu, dia juga menggaji empat karyawan tetap.

Namun, uang pensiunnya tidak lagi mencukupi sehingga ia mulai menggerogoti sisa tabungan hasil berdagang. "Suatu saat tabungan itu mungkin akan habis. Tetapi, tak apalah, toh saya juga sudah tua. Nyawa saya juga sudah mau habis," ungkapnya.

Lima anaknya tinggal di Jakarta dan Solo. Tiga lainnya di Yogya, tetapi memilih tinggal bersama keluarga mereka. Empat tahun lalu istri Mbah Dauzan meninggal sehingga dia tinggal sendirian.

Mbah Dauzan tercenung ketika ditanya siapa yang bakal meneruskan perpustakaan itu, sedang tak satu pun dari delapan anaknya tertarik.

"Saya hanya bisa menyebarkan virus untuk mengangkat minat baca masyarakat dengan sistem perpustakaan keliling. Entah siapa yang meneruskan, bisa siapa saja...," katanya. (AHMAD ARIF)
Sumber : Kompas
Diposting oleh petani berdasi

0 komentar:

Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved