Rabu, 04 Maret 2009
di
05.40
|
ADA banyak cara seseorang mengabdikan diri dalam hidupnya. Abdullah Yatim (73) memilih jalan yang sangat jarang dilakukan orang lain. Selama hampir tiga perempat perjalanan hidupnya, ia mengajar mereka yang kurang beruntung karena mengalami cacat netra.
PADAHAL, mengajar membaca bagi anak-anak yang matanya normal saja tidak begitu mudah. Apalagi yang diajarkan bukan hanya membaca huruf Latin, tetapi juga membaca huruf Arab. Dengan kesabaran dan ketelatenan yang mengagumkan, Abdullah melahirkan tidak sedikit anak-anak cacat netra yang kini mahir membaca Al Quran.
Huruf-huruf dalam Al Quran tersebut bukan huruf Arab sebagaimana lazimnya kitab suci tersebut, tetapi huruf braille Arab. Huruf braille Latin dan huruf braille Arab bentuknya berbeda.
Huruf-huruf braille berbentuk titik-titik yang dibuat menyerupai lubang dengan permukaan agak menonjol. Huruf-huruf yang menjadi lambang bunyi itu dibuat di atas kertas manila atau sejenisnya. Para cacat netra membacanya dengan ketajaman saraf telapak ibu jari tangannya.
ABDULLAH Yatim tidak mengetahui pasti siapa yang menciptakan huruf braille Arab. Ia sendiri menolak disebut sebagai penciptanya. "Saya hanya melakukan pembaruan dan menambah lengkap beberapa huruf yang dianggap kurang," katanya merendah.
Namun berkat huruf-huruf Arab yang digunakannya untuk menulis Al Quran tersebut, ribuan penyandang cacat netra di seluruh pelosok Nusantara bisa melek huruf Al Quran.
Sebagai satu-satunya Al Quran huruf braille Arab yang disahkan Departemen Agama, kitab suci tersebut sudah lebih dari dua puluh kali naik cetak. Belum yang dicetak di luar negeri. Tetapi secara materi, Abdullah tidak memperoleh imbalan apa-apa atas hasil kreativitasnya.
"Saya anggap sebagai amal saya," kata bungsu dari tujuh bersaudara keluarga Mohammad Yatim (ayah) dan Supiatun (ibu) ini.
Nama kedua orangtuanya itu pernah dijadikan nama keluarga sehingga menjadi Abdullah Yatim Piatu, walau saat itu kedua orangtuanya masih hidup. Namun karena dalam ijazahnya hanya mencantumkan nama ayahnya, ia dianjurkan Departemen Sosial agar tidak menambahnya dengan nama ibunya. Selama 33 tahun sejak 1957, Abdullah menjadi pegawai negeri sipil yang ditempatkan di Yayasan Penyantun Wiyata Guna (YPWG) Bandung. Ia pensiun tahun 1990 dengan golongan III A.
Putra Negeri Rencong yang lahir di Blang Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 6 Oktober 1931 itu, dalam dalam dirinya menetes darah pengembara. Ayahnya, Mohammad Yatim, yang berasal dari Sumatera Barat, mengembara ke Aceh setelah sebelumnya menjadi mukimin di Mekkah selama enam tahun.
Mencontoh ayahnya, bungsu Abdullah meninggalkan kampung halamannya dalam usia remaja. Selain bekerja serabutan dan kemudian menjadi karyawan di Wiyata Guna, ia pernah melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik Menengah (STM) Pengairan Trimurti di Jalan Pajagalan, Bandung. "Sekarang sekolahnya sudah lama bubar," kenangnya.
PERKENALANNYA dengan huruf braille Arab sebenarnya bisa dibilang terjadi secara kebetulan. "Ketika itu saya iseng-iseng membuka-buka buku yang terdapat di Perpustakaan Wiyata Guna," katanya.
Matanya kemudian tertarik dengan sebuah buku berjudul Al Misbach yang berasal dari Timur Tengah. Sampulnya ditulis dengan huruf Latin, tetapi isinya menggunakan huruf braille Arab. Isi buku tersebut rupanya telah menarik minatnya untuk belajar huruf braille Arab, walaupun Abdullah bukanlah seorang cacat netra.
Tanpa kenal lelah dan tanpa bimbingan guru, pada setiap kesempatan ia gunakan waktunya untuk belajar membaca huruf braille Arab secara autodidak. Kemudian ia belajar menulis braille Arab.
Karyanya yang pertama Surat Al Baqarah yang dibuatnya tahun 1959 dan kemudian dijilid lalu disimpan di gudang.
"Sekarang saya cari-cari ternyata sudah tidak ada lagi," kata ayah lima anak dari perkawinannya dengan Ny Ratini (72 tahun) yang berasal dari Semarang.
Dari pengalamannya mempelajari huruf braille Arab, Abdullah menemukan beberapa kekurangan huruf dalam Al Quran braille Arab yang berasal dari Arab Saudi. Hasil temuannya itu ia sampaikan ke Departemen Agama, sehingga pada tahun 1962 ia diminta menyusun Al Quran braille Arab. Hingga kini, karya tersebut merupakan satu-satunya Al Quran braille Arab yang beredar luas di seluruh pelosok Nusantara dan di negeri jiran.
KETIKA pertama kali menyusun Al Quran braille Arab, Abdullah menghabiskan waktunya selama dua setengah tahun untuk menyelesaikan 30 juz. Tetapi kini, ia sudah tergolong piawai. "Sekarang sudah lancar, bisa dengan tiga bulan sudah selesai 30 juz," katanya.
Satu juz Al Quran braille Arab paling tidak membutuhkan 30 hingga 35 halaman kertas manila. Tiap halaman berukuran 32 x 42 sentimeter. Karena ia juga menuliskan terjemahannya, maka satu juz bisa menghabiskan 70 halaman. Karena itu, Al Quran braille Arab berbeda dengan Al Quran huruf Arab. Karena ketebalannya, Al Quran braille Arab dijilid tiap juz.
Selain mengerjakan Al Quran braille Arab, Abdullah juga mengerjakan pengalihan huruf untuk kitab hadis, antara lain Bulughul Bukhari Maram dan Riyadus Shalihin.
Di rumahnya yang sederhana di bilangan Perumnas Sadangserang, Bandung, ia masih setia mengisi kegiatannya dengan menyumbangkan keahliannya. Sesekali ia masih harus berdiri di depan ruang kelas Kejuruan Ilmu Al Quran Braille (KIAB) yang diselenggarakan Wiyata Guna Bandung menghadapi anak didiknya yang belajar membaca Al Quran braille Arab. "Kalau sudah bisa membaca huruf braille Latin, sebenarnya membaca braille Arab tidak begitu sulit,"katanya.
Jumlah peserta KIAB tiap angkatan tidak begitu banyak. Rata-rata tiap tahun 7 hingga 10 orang. "Tahun ini hanya sepuluh orang," katanya.
Berkat bimbingannya, Abdullah telah membukakan pintu mata hati anak didiknya dalam memahami kandungan ayat-ayat suci Al Quran, di samping ribuan penyandang cacat netra lainnya yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Walaupun secara lahiriah, mereka itu tidak bisa melihat. (Her Suganda)
Sumber : Kompas
PADAHAL, mengajar membaca bagi anak-anak yang matanya normal saja tidak begitu mudah. Apalagi yang diajarkan bukan hanya membaca huruf Latin, tetapi juga membaca huruf Arab. Dengan kesabaran dan ketelatenan yang mengagumkan, Abdullah melahirkan tidak sedikit anak-anak cacat netra yang kini mahir membaca Al Quran.
Huruf-huruf dalam Al Quran tersebut bukan huruf Arab sebagaimana lazimnya kitab suci tersebut, tetapi huruf braille Arab. Huruf braille Latin dan huruf braille Arab bentuknya berbeda.
Huruf-huruf braille berbentuk titik-titik yang dibuat menyerupai lubang dengan permukaan agak menonjol. Huruf-huruf yang menjadi lambang bunyi itu dibuat di atas kertas manila atau sejenisnya. Para cacat netra membacanya dengan ketajaman saraf telapak ibu jari tangannya.
ABDULLAH Yatim tidak mengetahui pasti siapa yang menciptakan huruf braille Arab. Ia sendiri menolak disebut sebagai penciptanya. "Saya hanya melakukan pembaruan dan menambah lengkap beberapa huruf yang dianggap kurang," katanya merendah.
Namun berkat huruf-huruf Arab yang digunakannya untuk menulis Al Quran tersebut, ribuan penyandang cacat netra di seluruh pelosok Nusantara bisa melek huruf Al Quran.
Sebagai satu-satunya Al Quran huruf braille Arab yang disahkan Departemen Agama, kitab suci tersebut sudah lebih dari dua puluh kali naik cetak. Belum yang dicetak di luar negeri. Tetapi secara materi, Abdullah tidak memperoleh imbalan apa-apa atas hasil kreativitasnya.
"Saya anggap sebagai amal saya," kata bungsu dari tujuh bersaudara keluarga Mohammad Yatim (ayah) dan Supiatun (ibu) ini.
Nama kedua orangtuanya itu pernah dijadikan nama keluarga sehingga menjadi Abdullah Yatim Piatu, walau saat itu kedua orangtuanya masih hidup. Namun karena dalam ijazahnya hanya mencantumkan nama ayahnya, ia dianjurkan Departemen Sosial agar tidak menambahnya dengan nama ibunya. Selama 33 tahun sejak 1957, Abdullah menjadi pegawai negeri sipil yang ditempatkan di Yayasan Penyantun Wiyata Guna (YPWG) Bandung. Ia pensiun tahun 1990 dengan golongan III A.
Putra Negeri Rencong yang lahir di Blang Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 6 Oktober 1931 itu, dalam dalam dirinya menetes darah pengembara. Ayahnya, Mohammad Yatim, yang berasal dari Sumatera Barat, mengembara ke Aceh setelah sebelumnya menjadi mukimin di Mekkah selama enam tahun.
Mencontoh ayahnya, bungsu Abdullah meninggalkan kampung halamannya dalam usia remaja. Selain bekerja serabutan dan kemudian menjadi karyawan di Wiyata Guna, ia pernah melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik Menengah (STM) Pengairan Trimurti di Jalan Pajagalan, Bandung. "Sekarang sekolahnya sudah lama bubar," kenangnya.
PERKENALANNYA dengan huruf braille Arab sebenarnya bisa dibilang terjadi secara kebetulan. "Ketika itu saya iseng-iseng membuka-buka buku yang terdapat di Perpustakaan Wiyata Guna," katanya.
Matanya kemudian tertarik dengan sebuah buku berjudul Al Misbach yang berasal dari Timur Tengah. Sampulnya ditulis dengan huruf Latin, tetapi isinya menggunakan huruf braille Arab. Isi buku tersebut rupanya telah menarik minatnya untuk belajar huruf braille Arab, walaupun Abdullah bukanlah seorang cacat netra.
Tanpa kenal lelah dan tanpa bimbingan guru, pada setiap kesempatan ia gunakan waktunya untuk belajar membaca huruf braille Arab secara autodidak. Kemudian ia belajar menulis braille Arab.
Karyanya yang pertama Surat Al Baqarah yang dibuatnya tahun 1959 dan kemudian dijilid lalu disimpan di gudang.
"Sekarang saya cari-cari ternyata sudah tidak ada lagi," kata ayah lima anak dari perkawinannya dengan Ny Ratini (72 tahun) yang berasal dari Semarang.
Dari pengalamannya mempelajari huruf braille Arab, Abdullah menemukan beberapa kekurangan huruf dalam Al Quran braille Arab yang berasal dari Arab Saudi. Hasil temuannya itu ia sampaikan ke Departemen Agama, sehingga pada tahun 1962 ia diminta menyusun Al Quran braille Arab. Hingga kini, karya tersebut merupakan satu-satunya Al Quran braille Arab yang beredar luas di seluruh pelosok Nusantara dan di negeri jiran.
KETIKA pertama kali menyusun Al Quran braille Arab, Abdullah menghabiskan waktunya selama dua setengah tahun untuk menyelesaikan 30 juz. Tetapi kini, ia sudah tergolong piawai. "Sekarang sudah lancar, bisa dengan tiga bulan sudah selesai 30 juz," katanya.
Satu juz Al Quran braille Arab paling tidak membutuhkan 30 hingga 35 halaman kertas manila. Tiap halaman berukuran 32 x 42 sentimeter. Karena ia juga menuliskan terjemahannya, maka satu juz bisa menghabiskan 70 halaman. Karena itu, Al Quran braille Arab berbeda dengan Al Quran huruf Arab. Karena ketebalannya, Al Quran braille Arab dijilid tiap juz.
Selain mengerjakan Al Quran braille Arab, Abdullah juga mengerjakan pengalihan huruf untuk kitab hadis, antara lain Bulughul Bukhari Maram dan Riyadus Shalihin.
Di rumahnya yang sederhana di bilangan Perumnas Sadangserang, Bandung, ia masih setia mengisi kegiatannya dengan menyumbangkan keahliannya. Sesekali ia masih harus berdiri di depan ruang kelas Kejuruan Ilmu Al Quran Braille (KIAB) yang diselenggarakan Wiyata Guna Bandung menghadapi anak didiknya yang belajar membaca Al Quran braille Arab. "Kalau sudah bisa membaca huruf braille Latin, sebenarnya membaca braille Arab tidak begitu sulit,"katanya.
Jumlah peserta KIAB tiap angkatan tidak begitu banyak. Rata-rata tiap tahun 7 hingga 10 orang. "Tahun ini hanya sepuluh orang," katanya.
Berkat bimbingannya, Abdullah telah membukakan pintu mata hati anak didiknya dalam memahami kandungan ayat-ayat suci Al Quran, di samping ribuan penyandang cacat netra lainnya yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Walaupun secara lahiriah, mereka itu tidak bisa melihat. (Her Suganda)
Sumber : Kompas
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar