Rabu, 27 Mei 2009 di 18.43 | 0 komentar  


...


Diposting oleh petani berdasi
Kelengkeng Pingpong berasal dari dataran Sungai Mekong, Vietnam. Kelengkeng jenis ini memang belum sepopuler kelengkeng lokal. Namun, mulai banyak yang membudidayakannya. Maklum, keuntungannya lumayan.

Kelengkeng pingpong memang agak beda dari kelengkeng biasa. Besar buahnya empat kali lipat kelengkeng lokal. Bijinya juga tentu lebih besar, tapi dagmg buahnya tebal dan beraroma wangi. Buah ini juga masih jarang mejeng di pasar kita. Sebab, memang belum banyak petani kita yang membudidayakan Kelengkeng Pingpong ini.

Kelengkeng Pingpong merupakan tanaman tropic yang tumbuh subur di tanah berketinggian 500 meter di atas permukaan laut (dpl).
...
Umumnya, di Indonesia, Kelengkeng Pingpong menjadi buruan para hobiis. Salah seorang pembudidaya Kelengkeng Pingpong adalah Isto Suwarno. Awalnya, pada 1998, Isto mendapat sejumlah biji Kelengkeng Pingpong dari adiknya. la lantas menyebar biji-biji itu. Ternyata, tak susah membudidayakan kelengkeng jenis ini. Dari sini, budidaya kelengkeng milik Isto berkembang.

Isto lantas mencoba menawarkannya ke sejumlah kolega dan para pehobi tanaman. Tak dinyana, sambutannya antusias. Pada 2005, ia resmi menjual bibit kelengkeng di bawah bendera Telaga Nursery Prambanan. Isto mengaku,langsung kebanjiran order. Padahal, ia hanya menjadikan buah kelengkeng sebagai sampel bagi yang ingin membeli bibit.

Setiap bulan, Isto bisa menjual 7.500 bibit kelengkeng, baik dari biji ataupun okulasi. la menjual bibit biji ukuran 15 centimeter (cm) sampai 20 cm dengan harga Rp 20.000 per batang. Adapun bibit okulasi ukuran 60 cm dia lepas dengan harga Rp 40.000. "Saya juga melayani pembelian tanaman dalam pot mulai harga Rp 1,5 juta per pot sampai Rp 2,5 juta," ujarnya.

Dalam sebulan, Isto bisa meraup penghasilan Rp 30 juta. Bisa lebih, jika ada pesanan bibit jumlah besar.

Permintaan bibit kelengkeng cukup tinggi lantaran tanaman ini mudah dibudidayakan, baik di lahan sempit atau di pot sekalipun, asal terkena sinar matahari. "Perawatannya mudah dan hamanya sedikit," kata Isto. Tanaman ini bisa dibudidayakan dari biji, bibit, dan bibit okulasi.

Untuk menanam kelengkeng Pingpong, pertama-tama masukkan bibit ke pot atau lubang di tanah. Ukurannya harus sesuai besaran tanaman. Sebagai media tanam, campurkan tanah, sekam, dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1. Dalam setahun, sebaiknya beri tiga kali pupuk. Saat kemarau, setidaknya disiram air dua hari sekali. Dalam 1,5 tahun, pohon ini sudah berbuah. (Kontan/Aprillia Ika)
Sumber : Kompas
Diposting oleh petani berdasi Label:
Siang, ketika jam kunjungan sudah habis, seorang kerabat napi terpaksa ditolak masuk.. Petugas portir pun menwarkan agar roti yang dibawa dititipkan pada mereka untuk disampaikan kepada tahanan yang dimaksud.

“Namanya siapa? Tinggal di kamar berapa?” tanya petugas dengan sopan.

“Sebentar, namanya Harya, tapi saya lupa tinggal di kamar berapa,” kata si pengunjung sambil mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Ternyata dia tinggal di kamar F 30,” lanjutnya.

Bungkusan yang diserahkan lalu diperiksa di depan si pengunjung untuk memastikan tidak ada barang terlarang yang disebunyikan di dalamnya. Beres, si pengunjung tadi mengucapkan terima kasih dan segera pergi. Tidak berapa lama kemudian, Harya si penghuni F 30 muncul di depan petugas untuk mengambil kirimannya.
...
Sebelum bungkusan diberikan, salah seorang staf Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR) langsung bertanya, ”Ponselnya mana?”

Mendapat pertanyaan mendadak soal HP, Harya agak kaget. “Kok tahu kalau saya punya ponsel?” mungkin begitu tanyanya.

“O ada Pak, saya simpan di kamar. Sebentar saya ambil,” Harya kembali ke kamar mengambil HP untuk ditukar dengan bungkusan makanan tadi. Sial, deh.

Nasib lebih sial dialami Ali Mashuda, mantan pemain Persebaya tahun 2004. Pria yang sempat menjadi kapten kesebelasan kebanggaan arek-arek Suroboyo itu masuk Medaeng karena sabu-sabu. Bukan hanya kehilangan ponsel, dia juga terpaksa menginap dua malam di kamar sel yang sempit dan kotor.

Sore, menjelang penutupan blok, tiba-tiba Kepala KPR, Affandi, muncul di Blok F dan masuk ke mamar yang dihuni Ali. Tertangkap basah sedang memegangponsel, Ali tak bisa mengelak kecuali memberikan ponsel itu.

Belum sempat diserahkan, Affandi bergegas ke kamar lain. Entah apa yang ada di dalam pikiran Ali, tiba-tiba dia menghilang dari kamar. Affandi kembali dan menanyakan tentang ponsel tadi. Teman-temannya sibuk mencari Ali, ada yang berteriak-teriak memanggil, ada yang bergegas mencari ke masjid, karena Ali memang sering salat berjamaah di masjid rutan.

Ternyata Ali ngumpet di blok anak-anak. Masih bercelana pendek tanpa baju, dia diminta ke kantor KPR untuk menyerahkan ponsel. Tidak lama kemudian, dia kembali ke kamarnya dan minta HP yang warna putih.Ternyata, ponsel yang dilihat oleh Affandi tadi berwarna putih, sementara Ali datang menyerahkan HP berwarna hitam. Jadi, ada dua HP yang harus diserahkan. Selesai menyerahkan HP yang kedua, Ali tidak kembali ke kamar tapi langsung menginap di dalam sel isolasi.

Kalau saja Ali menyerahkan ponsel tanpa harus ngumpet segala, dia tidak perlu menginap di sel isolasi berukuran 2 x 2 meter yang saat Ali masuk sudah ada tiga orang di dalamnya.

“Ampun-ampun, selama dua hari saya tidur sambil duduk dan tidak mandi,” kenang Ali.

Lewat wartel (di Rutan Medaeng tersedia wartel dan telepon koin) saya menelepon seorang teman yang baru sehari bebas. Saya belum sempat bicara satu kata, teman saya tadi langsung tertawa lepas setengah berteriak. Ada apa?

Begini ceritanya: selama di Medaeng, dia terbiasa menyimpan HP di balik celana, pas di bawah pusar. Tujuannya apalagi kalau bukan supaya aman dari kemungkinan digeledah petugas. Nah, saat sudah di luar rutan pun kebiasaan itu ternyata masih terbawa juga.

“Masih mendingan di balik resleting celana, bagaimana jadinya kalau saya simpan di pantat?” katanya sambil terus tertawa.

Memang itulah kebiasaan para penghuni Medaeng. Kalau keluar dari kamar, ingin jalan-jalan, maka HP selalu disimpan di balik celana. Ada juga yang disimpan di tempat paling rahasia, yaitu di pantat. Tapi saat ada operasi, dua tempat yang saya sebut tadi tidak aman. Karena petugas akan memeriksanya pula.

Lalu di mana tempat yang aman?

Masing-masing orang dan di setiap kamar punya tempat rahasia. Ada yang bikin bunker di lantai, ada yang bikin lubang rahasia di langit-langit kamar, di lubang WC, atau di saluran air kamar mandi. Botol shampo, asbak rokok, kaki meja, di dalam bantal, di sarung, di sandal atau sepatu dan banyak lagi tempat rahasia.

Sudah aman? Belum tentu. Sebab petugas punya banyak jurus dalam menjalani operasi. Yang paling ditakuti oleh penghuni adalah “serangan fajar”. Dini hari, petugas masuk ke kamar saat penghuni sedang lelap. Banyak HP yang dibiarkan tergeletak tidak sempat disimpan di tempat rahasia.

Jumlah HP yang disita dalam setahun (Oktober 2007-Oktober 2008) ada 896 buah. Jika diuangkan dengan harga rata-rata Rp 200 ribu saja per-HP-nya, maka total uang mencapai Rp 179.200.000.

Lantas, bagaimana nasib ponsel salah tuan itu? Dipakai petugas? Rternyata tidak. Sebanyak 405 ponsel hasil operasi tiga bulan (Januari-Maret 2009) ini sudah dibakar bertepatan dengan upacara Hari Pemasyarakatan 27 April lalu di Lapas Porong. (*)
Sumber : Surabaya Post
Diposting oleh petani berdasi
Rembang – Pemerintah Kabupaten Rembang semakin menggencarkan penggunaan pupuk organik, karena keterbatasan jatah pupuk kimia. Tahun ini petani di Kabupaten Rembang hanya memperoleh 21 ribu ton pupuk urea, padahal kebutuhannya mencapai angka 28 ribu ton. Apalagi selama ini pupuk kimia dianggap kurang ramah lingkungan. Untuk itu, pengembangan pupuk organik yang berbahan baku kotoran ternak mendesak untuk segera diterapkan. Jumat pagi, Dinas Pertanian Dan Kehutanan mengundang 40 ketua kelompok tani dari Kecamatan Rembang, Gunem, Sulang dan Kecamatan Bulu untuk membicarakan metode pengolahan pupuk organik ini.
...
Kepala Dinas Pertanian Dan Kehutanan Kabupaten Rembang, Sutomo berharap penggunaan pupuk kimia bisa terus dikurangi dan petani lebih mengandalkan pupuk kandang. Petani bisa memanfaatkan kotoran ternak yang diolah dengan bahan EM 3, jenis bahan untuk mempercepat pelapukan kotoran ternak dan dilapisi dengan batu gamping. Setelah melalui waktu sekitar 10 hari, cara ini bisa menghasilkan pupuk organik siap pakai.

Lalu bagaimana tanggapan kelompok tani ? Suntono, Ketua Kelompok Tani dari Desa Jukung Kecamatan Bulu yang hadir dalam kegiatan tersebut mengakui selama ini petani lebih suka menggunakan pupuk kimia, karena ingin mempercepat pertumbuhan tanaman. Anggapan itu yang harus dikikis mulai sekarang. Meski penggunaan pupuk organik dari kotoran ternak, khasiatnya agak lama dirasakan, tetapi jangka panjangnya sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah. Intinya, petani memang harus lebih sabar.

Sebelumnya, Pemkab Rembang sudah memberikan bantuan mesin pengolah pupk organik pada kelompok tani di Kecamatan Sale. Diharapkan program ini akan berkelanjutan dan mendapatkan dukungan dari petani. Kalau selamanya hanya mengandalkan pupuk kimia, sejenis urea, TS, KCL dan yang lain, tentunya akan merugikan petani sendiri.
Sumber : Radio R2B Rembang
Diposting oleh petani berdasi
Siapa bilang tahanan itu menyebalkan? Di Rumah Tahanan (Rutan) Medaeng, hiburan justru cukup berlimpah. Seminggu sekali, tiap Sabtu siang, ada pentas dangdut. Ini biasa disebut “orkesan” atau “goyang cadong”. Nama terakhir ini diadopsi dari nama jatah makanan untuk para tahanan dan napi, yaitu “nasi cadong” .

Orkesan atau goyang cadong itu dimeriahkan oleh bintang tamu dan penyanyi home grown alias para penghuni rutan sendiri. Acara selalu dimulai sekitar pukul 13.10 dan berakhir menjelang maghrib. Begitu selama bertahun-tahun. Layaknya bintang papan atas, para artis lokal ini tidak segan-segan turun dari panggung dan mendatangi penonton yang asyik berjoged di lapangan.
...
Tentu orkesan bukan satu-satunya hiburan yang ada. Rutan Medaeng juga menyelenggarakan pemutaran film, pentas band, juga elekton seminggu sekali. Bagi yang hobi olahraga, pilihannya juga banyak. Ada senam aerobik, voli, tenis meja, bulutangkis, juga futsal. Mereka yang lebih suka keterampilan, bisa gabung di kursus salon kecantikan, pertukangan kayu, bengkel las, sablon, dan sejumlah bentuk lainnya.

Meski banyak aktivitas yang bisa diikuti, tetap saja orkesan yang paling ditunggu. Bukan cuma untuk mendapat hiburan, tetapi juga sebagai patokan kapan si warga binaan akan menghirup udara bebas, lepas dari belenggu dan kembali ke keluarganya.

“Jika ada temannya bertanya kapan seorang napi atau tahanan bebas, dia bisa menjawab, ‘kurang tiga orkesan tok’. Itu artinya tinggal tiga minggu ke depan,” kata Kepala Rutan Medaeng, Slamet Prihantara.

Nah, soal orkesan ini, saya punya cerita konyol. Ini dialami seorang teman dari Blok B. Saya tidak tahu nama aslinya, tetapi dia populer dengan sebutan “kojek”. Pria yang terjerat kasus perampokan itu paling demen orkesan. Dia tidak pernah absen naik ke pentas. Bukan untuk menyanyi, tetapi berjoged ria mendampingi sang artis.

Sudah menjadi tradisi, siapa pun yang naik ke pentas untuk menyanyi atau berjoget, maka harus merogoh kantong, mengeluarakan beberapa lembar uang untuk disawerkan kepada si artis. Kojek juga royal untuk urusan sawer menyawer tadi. Setiap orkesan, bisa 100 atau 200 ribu rupiah dia keluarkan.

Pada acara orkesan yang kesekian, Kojek cengar-cengir didampingi dua artis berpakaian seksi. Suasana bertambah meriah ketika tiba-tiba Jhon Kei (preman asal Ambon yang paling disegani itu) ikut naik ke pentas bersama Azis Boros (juga preman beken asal Surabaya).

Apa yang terjadi kemudian?

Seorang wartawan surat kabar harian yang kebetulan ada di Medaeng mengambil gambar acara orkesan itu. Keesokan harinya, muncul berita disertai foto. Di sana, sosok Kojek terlihat jelas berjoget ria.

“Mampus aku, anakku marah-marah melihat foto di koran. Kenapa tidak kasih tahu kalau ada wartawan?” Kojek gusar dengan nada protes pada saya.

“Anakku bilang, kelakuan papa kok pancet ae (tetap saja). Di luar dan di dalam penjara tidak ada bedanya. Saya kira papa di dalam penjara menderita, hidupnya susah, ternyata di sana bersenang-senang. Masak tidak kasihan pada mama yang setiap hari susah mengurus kami, tiap hari mencari uang untuk papa, eh ternyata uangnya untuk hura-hura,” Kojek meniru protes anaknya.

Karena peristiwa itu, Kojek sempat tidak dikunjungi dua minggu.

“Memang di penjara harus selalu menderita? Tidak boleh senang walau sedikit?” protes Kojek entah kepada siapa.

Hal berbeda dialami kawan saya yang wanita. Dia justru ngebet banget minta difoto. Saat menyanyi di atas pentas, saat main voli, juga saat menjalani pelayanan di gereja. Untuk apa?

“Saya akan kirim ke keluarga saya,” tegasnya. “Dulu mereka sedih dan khawatir akan kondisi saya di dalam penjara. Setelah saya kasih foto, mereka menjadi tenang, tidak terlalu sedih dan khawatir karena ternyata di dalam penjara masih ada hiburan dan banyak kegiatan seperti di luar tembok penjara,“ urainya.

Apa yang ingin saya sampaikan dari cerita di atas?

Bahwa citra buram penjara sebagai tempat penyiksaan, sangkar bagi pesakitan masih saja melekat dalam pemahaman masyarakat umum. Padahal, sejak 27 April 1964, penjara sudah tidak ada dan diganti lembaga pemasyarakatan. Narapidana bukan lagi pesakitan melainkan warga binaan.

Dulu sangkar, kini menjadi sanggar dimana para terpidana selama menjalani kukuman tetap diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. Mendapat pembinaan, menjalani pendidikan dan bimbingan untuk bekal kembali ke masyarakat. Semoga.
Sumber : Surabaya Post
Diposting oleh petani berdasi
Semua orang pasti tahu binatang yang bernama kucing. Banyak orang yang suka memeliharanya karena ia lincah dan lucu. Saya jadi ingat pada seorang teman wanita yang dulu pernah satu kantor dengan saya. Dia gemar sekali memelihara kucing. Tak kurang 9 ekor kucing tinggal bersamanya di rumahnya. Ya, yang ini bukan kumpuil kebo, tapi kumpul kucing.

Jika salah satu kucingnya sakit, teman saya ini mengudar kesedihan dan kecemasannya seolah yang sakit itu adalah saudara kandungnya. Bila salah satu kucingnya –yang memiliki nama-nama cantik itu—hilang, dia juga berbagi cerita dengan saya.
...
“Tahu nggak, wanita yang tidak memberi makan pada kucing, suka memukul atau menendang kucing, dia tidak akan bisa masuk surga,” ungkapnya suatu hari. Entah dari mana dia mengutip kalimat itu. Dan, saya juga yakin bukan karena iming-iming surga sehingga dia begitu menyayangi kucing.

Kucing-kucing yang hidup di lingkungan kantor pun mendapat jatah kasih sayang dari dia. Setiap hari, ketika mobilnya memasuki pintu gerbang kantor, beberapa ekor kucing langsung berlari mengejar. Teman saya itu pun memperlambat mobilnya. Begitu berhenti, kucing-kucing tadi naik ke atas kap mobil. Ketika wanita berusia kepala empat itu turun dari mobil, kucing-kucing itu berlari mendekati. Seolah sudah menjadi ritual, steman saya itu segera membuka bungkusan dan diletakkannya di lantai. Ya, itulah jatah makan pagi untuk kucing-kucing di kantor kami.

Tapi, bercerita tentang kucing di rutan Medaeng, tentu lain lagi. Di sana, populasinya cukup banyak. Kucing-kucing itu terdiri dari 12 kelompok. Ada kelompok kucing pasar yang berkeliaran di “pasar” tempat orang berjualan nasi bungkus. Kemudian ada 11 kelompok lagi yang hidup di dalam blok. Asal tahu saja, di Rutan Medaeng ada 11 blok hunian.

Dari sekian banyak kucing di Blok F, satu di antaranya tergolong sangat istimewa. Keistimewaan kucing jantan yang diberi nama “Gendut” itu, bukan karena memiliki bulu indah dan berbadan gemuk. Tapi, karena perannya yang sangat istimewa bagi beberapa bandar dan pecandu narkoba di Blok F. Si Gendut inilah kurir narkoba yang setia memasok barang haram itu pada para pecandunya.

Tolong, jangan anggap ini mustahil.

Sungguh, Gendut bisa mengantar narkoba dari satu kamar ke kamar lain. Tugas itu dijalaninya pada malam hari ketika semua penghuni sudah terkunci dalam kamar. Saat itu, hanya Gendut yang bisa mengantar narkoba dari kamar si bandar ke kamar pasien (pecandu). Namanya juga kucing, masa dikerangkeng pula?

Tidak ada petugas Rutan Medaeng yang curiga. Saya pun baru tahu ketika sudah dua bulan menjadi penghuni. Saya sering melihat si Gendut dilepas lewat sela jeruji lalu berlari menuju kamar yang memesan narkoba. Dengan hanya memanggil satu dua kali: “Gendut…Gendut,” kucing itu segera mendekat. Barang pesanan yang dikalungkan di leher Gendut pun sampai kepada pemesan. Sederhana sekali tetapi sangat cerdas untuk mengelabui petugas.

Selain Gendut, ada seekor kucing lagi yang juga istimewa di Blok F. Dia ini piaraan seorang Bandar, sebut saja Rudi atau Rudi Jepang. Predikat Jepang di belakang namanya itu didapat lantaran raut wajahnya mirip dengan pria Jepang. Dia sudah divonis oleh Pengadilan Negeri Surabaya dengan pidana 10 tahun penjara atas kepemilikan 100 butir pil ekstasi.

Saya tidak bisa menyebut dia ini penyayang kucing walau dia suka membawa anak kucing ke mana pun dia pergi (tentu saja di seputar penjara). Anak kucing itu dia beri pakaian yang dibuat dari kaos kaki. Bukannya merasa modis, si anak kucing itu terlihat sangat tersiksa.

“Bagaimana bisa sehat kalau kucingnya tidak suka makan? Minum susu pun tidak,” kata teman sekamar Rudi. Ternyata, si kucing itu kalau malam dimasukkan ke dalam toples plastik. Kemudian diberi lubang-lubang kecil. Nah, lewat lubang itu, Rudi memasukkan asap sabu-sabu.

“Kalau saya lagi narik (memakai SS) asapnya disebulkan ke dalam toples. Anak kucing itu ikut nyabu,” ujarnya. Anak kucing tadi hanya bertahan tiga minggu bersama Rudi. Dia meninggal lantaran terkontaminasi asap SS tadi.

Entah kebetulan atau tidak, sehari setelah anak kucing itu meninggal, Rudi mendapat masalah. Dia ditangkap petugas Rutan Medaeng dengan barang bukti dua gram sabu-sabu. Kasusnya diproses di Polsek Waru Sidoarjo.

Selang dua minggu setelah anak kucingnya mati, Rudi kembali memungut anak kucing yang lain. Juga diperlakukan sama. Di pakaikan baju dari kaos kaki dan dimasukkan ke dalam toples plastik sekaligus ditiupi asap sabu. Apa yang terjadi? Nasib si anak kucing kedua itu sama saja. Mati hanya dalam dua minggu setelah “diadopsi” Rudi.

Lalu, selang dua hari, Rudi Jepang kembali kepek dengan barang bukti sabu-sabu lima poket siap edar. Dia diproses lagi di Polsek Waru Sidoarjo. Kini Rudi sudah dilayar (dipindah) ke LP Sidoarjo untuk menunggu proses sidang di Pengadilan Negeri Sidoarjo.

Kebiasaan aneh memungut anak kucing menyisakan satu pertanyaan, “untuk apa sih?”

Pertanyaan ini akhirnya terjawab setelah Rudi dilayar ke LP Sidoarjo. Ternyata, baju si anak kucing yang terbuat dari kaos kaki itu menjadi tempat rahasia untuk menyimpan SS. Yang belum terjawab adalah, mengapa kucingnya harus ikut nyabu juga? (bersambung)

Sumber : Surabaya Post
Diposting oleh petani berdasi
“Sudah lengkap? Satu, dua, tiga,… sembilan, sepuluh.” Saya tidak perlu melihat ke arah pintu untuk mengetahui bahwa itu suara Sinyo. Dia tamping (tahanan pendamping) Blok F yang setiap hari, tepat pukul 18.30, menutup pintu semua kamar di dalam blok. Tugas yang harus dilakukan tepat waktu, tidak boleh kurang atau lebih.

Lengan Sinyo yang penuh tato dengan cekatan menarik daun pintu besi, disusul suara gemerincing kunci dan gesekan gembok yang dikaitkan dengan engsel besi. Saya menghela nafas panjang dan duduk di tepi busa alas tidur. Kembali, perasaan teriris itu menyanyat hati saya.
...
Saya yakin, perasaan setiap penghuni penjara pasti sama. Termasuk sekitar 1.800 penghuni Rutan Medaeng ini. Tiap malam datang, selalu ada perih yang menyelinap. Ingat keluarga, orangtua, istri, anak, dan orang-orang yang dicintai.

Bagi saya, 788 kali sudah perih itu menelusup. Artinya, lebih dari dua tahun sudah saya menjadi penghuni Medaeng. Masuk kerangkeng pukul 18.30, baru dibuka lagi keesokan harinya pukul 06.30.

Saya yang menjadi penghuni lama, hafal betul tingkah para penghuni yang julukan resminya adalah warga binaan pemasyarakatan alias WBP. Ada yang langsung merebahkan badan, ada yang duduk ngobrol dengan teman, sementara bagi yang punya HP langsung online, menelepon entah siapa. Bagi WBP baru, biasanya lebih suka merenung sedih.

Walau harus menjalani hidup susah, ada saja yang menghibur diri dengan mengatakan bahwa “hidup di dalam penjara itu enak”. Paling tidak, makan dan minum dijatah, tidur juga dijaga. Orang yang ingin bertemu juga harus minta izin dan ada jam khusus untuk bisa bertemu. Mirip para pejabat sangat tinggi.

Di antara 9 orang teman sekamar, ada 3 orang yang sudah berulang kali masuk Medaeng. Selebihnya baru sekali, termasuk saya. Ketiga teman saya tadi, yang berulang kali masuk ke Medaeng, terjerat kasus yang sama: narkoba. Dulu, mereka juga mantan penghuni kamar yang sekarang saya huni (kamar F-30).

Keluar masuk penjara bagi mereka sudah biasa. Ketika keluar dulu, mereka bilang jera, kapok, ogah bersentuhan dengan narkoba. Tapi nyatanya? Masuk lagi.

Selain orang-orang yang “ulang alik“ ke Medaeng, ada lagi cerita menarik. Judulnya “Toni“.

Karena di Medaeng banyak yang bernama Toni, maka di belakang namanya ditambah dengan “Pabrik.” Ya, Toni Pabrik. Inilah nama yang kemudian menjadi beken di kumunitas narkoba Surabaya. Dia dipidana kali keempat pada Maret 2007 lalu, dijerat pasal percobaan produksi alias pabrik. Dia ditangkap bersama teman wanitanya. Tapi karena faktor X, Toni dan wanita cantik kekasihnya itu hanya divonis masing-masing 10 bulan.

Ketika bebas, saya bilang padanya, “Ton, kasur dan bantalmu akan saya simpan. Tidak akan saya berikan pada orang lain karena kamu pasti akan kembali lagi dan kamar F-30 terbuka buat kamu.”

Tidak sampai dua bulan menghirup udara bebas, Toni kepek (tertangkap) lagi. Maka pada bulan Mei tahun lalu kembali lagi. “Gara-gara sampean sih, dulu bilang saya pasti kembali, ya beginilah jadinya,” kata Toni.

Untuk kali kelima, Toni hanya divonis kurang dari setahun dengan barang bukti 2 gram sabu-sabu. Dia kemudian bebas Desember tahun 2008 lalu. Ketika pamit, saya bilang, “Ton, selamat ya? Jangan ketemu saya di dalam, kelak kita ketemu di alam bebas saja.” Toni memeluk saya dan melangkah pergi.

Dua bulan berlalu tanpa kabar tentang Toni. Apakah dia masih menjalankan bisnis narkoba atau benar-benar berhenti seperti janjinya pada saya? Suatu saat ia pernah bilang akan kembali ke profesi lamanya di bidang periklanan. Kliennya tergolong kakap, termasuk bank.

Masuk bulan keempat (akhir Januari 2009) beredar kabar Toni masuk daftar pencarian orang (DPO) Polresta Surabaya Timur. Dia berhasil meloloskan diri ketika disergap saat akan bertransaksi dengan Keong yang juga mantan penghuni Medaeng. Keong sendiri baru bebas dua minggu melalui program cuti bersyarat (CB).

Ton, kalau kamu membaca tulisan ini, jangan salah persepsi. Bukannya saya bermaksud membeberkan aib seorang teman. Saya juga bukannya mau sok suci dengan berkata “narkoba itu jahat, berhenti adalah jalan terbaik”.

Kita, para terpidana adalah cerminan dari adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan dengan masyarakat. Tiga aspek tersebut menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum. Aspek hidup, yaitu hubungan antara kita (manusia) dengan pencipta-Nya, aspek kehidupan hubungan antar manusia, sementara aspek penghidupan hubungan manusia dengan alam yang dimanifestasikan sebagai hubungan manusia dengan pekerjaan.

Karena itu, saya yang kini masih menjalani proses re-integrasi hidup, kehidupan dan penghidupan, ingin mengutip ungkapan manis dari buku “Negara Tanpa Penjara” (Adi Sujitno, halaman 16) bahwa “Sesungguhnya kita bukanlah penjahat, hanya tersesat, belum terlambat untuk bertobat” (bersambung)
Sumber : Suarabaya Post
Diposting oleh petani berdasi
Senin, 11 Mei 2009 di 00.39 | 0 komentar  

Terimakasih tak terkira untuk Teman2 semua,
Atas terpilihnya blog saya/caffedesa.blogspot.com sebagai blog dengan nilai tertinggi,
Terimakasih untuk teman2 yg ikut menyumbang ide,saran dan semangat,juga Mas Hisbul yg turut serta dalam penularan ilmu IT nya kepada Saya.
Kuncinya dalam blog ini adalah,selain belajar dari tiap pelatihan IT ,bisa juga dari search di mesin pencari : google
Silahkan teman2 yg mau belajar,dengan senang hati saya bantu,tentunya dengan tanpa melebihkan keterbatasan kemampuan saya, Sekali lagi saya ucapkan banyak2 Terimakasih
Salam

Toni Kn...




Diposting oleh petani berdasi
40 Hari Nonsetop, Sehari 3 Panggung
HARI-HARI seperti ini cobalah datang ke perbatasan Kabupaten Pati dan Rembang. Bertanyalah pada tukang ojek atau sopir angkutan, pasti tak sulit untuk mendapatkan informasi tentang tempat pertunjukan ketoprak. Pada musim orang punya hajat dan kabumi (sedekah bumi) seperti sekarang, seni pertunjukan itu hampir setiap hari bisa ditonton lewat tanggapan di kawasan tersebut.
Minggu (5/6) lalu, misalnya, paling tidak ada lima grup ketoprak pentas siang-malam. Ketoprak Cahyo Mudho manggung di Desa Gunungngsari, Batangan Pati; Langen Marsudi Rini di Desa Nggrawan, Sumber, Rembang; Siswo Budoyo di Dungbacin, Nggrawal, Sumber, Rembang; Ronggo Budoyo di Mantingan, Jaken, Pati; dan Wahyu Budoyo di Samben, Kaliori Rembang. Cahyo Mudho dan Langen Marsudi Rini ditanggap untuk bersih desa, sedangkan tiga grup yang lain untuk sunatan dan pesta pernikahan.

...
"Tapi karena sekarang panen tidak begitu berhasil, tanggapan juga sepi. Untuk Madilakir (Jumadilakir-Red) nanti, baru ada 17 tanggapan, sebagian besar sehari-semalam. Tahun-tahun lalu, jika panen bagus, sebulan bisa manggung 25 hari 25 malam dalam sebulan," kata Kabul Sutrisno (65), Ketua Ketoprak Cahyo Mudha, yang beralamat di Desa Bakaran Kulon, Kecamatan Juwana, Pati.

Soal jumlah tanggapan yang berkurang, Pemimpin Langen Marsudi Rini, Rinny Riana (40), pun mengakui. "Sekarang apa-apa kan lagi sepi, tanggapan pun tak seramai tahun-tahun lalu. Tahun 1996 grup kami bisa tanggapan 40 hari nonsetop, tapi sekarang jauh berkurang, apalagi harus bersaing ketat dengan campursari dan dangdut," kata rol perempuan yang juga pemilik grup ketoprak itu.

A Yudi Siswoyo (56), Manajer Siswo Budoyo, malahan mengungkapkan "prestasi" tanggapan terkini yang tak kalah dari Cahyo Mudho. "Juni ini tanggapan kami hanya 21 kali, umumnya siang-malam. Tapi kalau disambung bulan berikutnya, 40 hari kami nonsetop. Biasanya malah full sebulan tidak ada lowongnya, tapi sekarang memang lagi berkurang," kata lelaki yang tinggal di Sukoharjo, Margorejo, Pati, itu. Diketuai oleh suami-istri Anom Sudarsono dan Kristin, Sekretariat Siswo Budoyo berada di Desa Growonglor, Juwana, Pati.

Memang di antara ketoprak "papan atas" di Pati, Siswo Budoyo boleh dibilang yang paling laris. Malahan beberapa kali kelompok ini tampil di layar kaca, termasuk di Indosiar beberapa pekan lalu.

Namun dalam soal stabilitas dan konsistensi, Cahyo Mudho-lah yang patut mendapat catatan khusus. Ketoprak yang awalnya bernama Budi Sampurno itu telah berdiri sejak 1955, dan sampai sekarang tetap eksis. Padahal, selama rentang waktu itu, berpuluh-puluh grup ketoprak telah tumbuh, sekarat, dan akhirnya mati karena aneka hal. Namun Cahyo Mudha, yang lebih dikenal dengan sebutan Ketoprak Bakaran itu tetap identik dengan legenda kejayaan ketoprak Pati. Jika ada orang haul, kata Kabul, ketopraknyalah yang selalu dipilih. Malahan sejumlah desa hampir bisa dipastikan, setiap tahun ketika digelar sedekah bumi, selalu nanggap Cahyo Mudho. "Di Desa Majolampir dan Nduni, Kecamatan Jaken, juga Klumpit, Karangbale, Dukuhmulyo, dan Glonggong di Kecamatan Jakenan, di samping Bakaran, setiap tahun kami selalu manggung untuk kabumi. Warga di desa itu percaya, kalau tidak nanggap Ketoprak Bakaran, panennya bisa gagal," ungkap Kabul, yang di desanya menjadi kaur umum itu.

Dari orang punya hajat, baik mantu, sunatan, maupun haul, grup kesenian itu memperoleh tanggapan. Di luar itu, acara sedekah bumi (bagi desa yang sebagian besar penduduknya menjadi petani) dan sedekah laut (bagi desa yang penduduknya sebagai petambak atau nelayan) merupakan pasaran tetap setiap tahun. Yang hingga kini terus berjalan, di kawasan Rembang-Pati, setiap dukuh -sebuah desa bisa terdiri atas beberapa dukuh- menyelenggarakan sedekah bumi atau sedekah laut dengan nanggap seni pertunjukan. Dan, di antara sekian banyak ragam kesenian, ketoprak dari grup papan ataslah yang dianggap paling bergengsi.

Lantas, berapa tarif untuk nanggap ketoprak-ketoprak itu? "Jika tak jauh-jauh tempatnya, sehari semalam tanggapan Wahyu Budoyo Rp 4 juta, sudah termasuk lampu, panggung, kostum, kelir, gamelan, dan sound system, " ungkap Yudi Siswoyo.
Kabul pun menyebutkan, dengan fasilitas yang sama, tarif pentas ketopraknya sehari-semalam Rp 4 juta. "Jika hanya semalam, terpautnya hanya Rp 200.000 dari pentas sehari semalam," katanya.

Rinny mengungkapkan, besaran tarif grupnya yang kurang lebih sama dengan grup "papan atas" lain. "Jaraklah yang sangat kami perhitungkan. Untuk pentas di Demak, misalnya, tarif kami bisa mencapai Rp 8 juta atau bahkan lebih," kata dia.
Jangan buru-buru mengira tanggapan sebesar itu akan habis untuk sewa kostum, gamelan, panggung, lampu, kelir, sound system, dan transportasi. Hal-hal yang bagi grup pemula sering menjadi beban terbesar karena harus diatasi dengan cara menyewa itu, justru tak menjadi soal bagi grup semacam Siswo Budoyo, Cahyo Mudho, dan Langen Marsudi Rini.
Semua fasilitas itu mulai dari gamelan, panggung, perangkat tata suara dan tata lampu, kelir, kostum, sampai angkutan telah mereka miliki. Siswo Budoyo, misalnya, untuk mengangkut semua alat dan properti pentas, telah memiliki tiga truk dan sebuah bus, di samping segala peralatan pendukung pentas yang lain.

Cahyo Mudho dan Langen Marsudi Rini pun memiliki fasilitas yang tak jauh berbeda. "Kalau semua harus nyewa, pemain dapat apa," kata Kabul Sutrisno.
Kejayaan dan larisnya tanggapan itu tentu saja turut memercikkan kemakmuran bagi para pemainnya. Dengan 65 personel, di tubuh Cahyo Mudha penghonoran didasarkan atas kelas pemain, yang terdiri atas A, B, dan C. Mulai yang terendah Rp 50.000 sampai Rp 200.000 untuk pemain wos (inti). "Pemain jumputan honornya bisa lebih tinggi lagi. Pemain yang sudah tua, yang terpaksa kita pensiunkan juga dapat honor, paling sedikit Rp 5.000 setiap kali ada tanggapan," ungkap Kabul.

Kabul pun menyebutkan, grupnya yang tergolong paguyuban itu juga selalu menyisihkan dana setiap mendapat tanggapan. "Selain untuk manganan (syukuran) di makam sesepuh, dana yang terkumpul untuk membantu anggota kami yang sedang sakit, meninggal, membangun rumah, ataupun punya hajat."

Meski diberlakukan tiga kelas, standar penghonoran personel Siswo Budoyo agak berbeda. "Ketoprak kami bukan ketoprak organisasi, melainkan ketoprak bos, ketoprak majikan. Mungkin honornya lebih rendah dari ketoprak organisasi, karena semua sisanya masuk bos, tapi segala hal yang berkaitan dengan operasional pentas ditanggung oleh pemilik. Pemilik juga yang memberikan semacam asuransi bila terjadi kecelakaan saat pentas dan santunan kepada personel yang sakit," kata Yudi Siswoyo. Dia juga menyebutkan, di grupnya honor tertinggi Rp 80.000 sekali pentas, sedangkan terendah Rp 35.000.

Meski mengaku menerapkan kelas personel dalam penghonoran, Rinny mengelak untuk menyebutkan besar honor yang dia berikan kepada para pemainnya. "Grup kami memang ketoprak majikan, kami sebagai pemiliklah yang menentukan besar honor pemain dan niyaga. Itu berbeda dari ketoprak organisasi atau paguyuban, yang segala sesuatunya harus dimusyawarahkan, termasuk untuk mengambil pemain lain. Yang pasti, kami menghonori teman-teman secara profesional. Pelawak, misalnya, bisa kami honori Rp 200.000. Jarak tempat pentas dari rumah tentu saja sangat kami perhitungkan," kata putri seniman ketoprak Sri Kencono yang pernah melambung lewat peran Ondho Rante, almarhum Suparjo, itu.
Memang para pemain wos akhirnya memiliki tarif sendiri-sendiri. Pelawak, emban, dan pemeran utama bertarif tinggi. Seorang pelawak bisa dibayar Rp 200.000 hingga lebih dari Rp 1 juta. Tak mengherankan jika Kancil, sekalipun sudah ikut bergabung dengan Ketoprak Humor di Jakarta, tetap aktif manggung di kawasan ini.

Sebagai pemain yang berkarakter, terutama dengan peran Sunan Kalijaga, pemain senior semacam Budiyono setiap kali dibon bayarannya tak kurang dari Rp 300.000. Padahal, sehari-semalam dia bisa hadir di tiga pementasan di tempat yang berbeda dan dalam waktu yang hampir bersamaan. "Bahkan, kalau saya tak bisa manggung, bayaran untuk grup kami bisa disunat Rp 250.000 oleh yang punya kerja," kata sesepuh dan pemain Bangun Budoyo, grup ketoprak dari Desa Karang, Kecamatan Juwana, Pati ini.
Sebagai pemain bon-bonan, honor yang pernah diterima Rinny Riana pun boleh dibilang "luar biasa". Ketika pentas di Desa Bakaran, Juwana, dengan grup lain, sekali manggung dia mendapat bayaran Rp 1,5 juta.(Sucipto Hadi Purnomo-bersambung-7t)
Sumber : Suara Merdeka Muria

Diposting oleh petani berdasi
Siasat "Rame Tur Akeh Lucune"
UNTUK bisa bersaing dengan sinetron, ya harus meniru televisi. Itu yang barangkali sangat disadari oleh para pekerja ketoprak di Pati, sehingga mampu membuat seni pertunjukan itu tetap berjaya sampai sekarang. Ketika sinetron, terutama yang berjenis laga dan horor menjadi tontonan primadona, tak ada pilihan kecuali meniru atau bahkan melampauinya agar ketoprak tak berkesan ''udik'', hambar, dan formal.
Jika sinetron mampu menghadirkan trik-trik laga, ketoprak pun tak mau ketinggalan. Lewat perpaduan antara senam dan seni bela diri, adegan perang tersuguh begitu atraktif. Jauh berbeda dari perang Irak versus Amerika yang penuh dendam dan darah, dalam perang rebutan (keroyokan, mirip ampyak awur-awur dalam pergelaran wayang kulit), kekerasan serasa cair oleh gaya gecul (lucu) para ''jago gebuk''.
...
Tak ada perang nggegirisi di sini. Justru lewat aksi 6-7 pemain, atraksi ala Jet Lee nan lincah tersuguhkan. Pada kesempatan berikutnya, mereka tak henti-henti melakukan salto ke belakang serta berbagai gerak akrobatik lain bak pesenam.
Para pemain untuk peran itu memang tergolong khas. Untuk memperoleh pemain macam itu, beberapa kelompok ketoprak tak jarang mengambilnya dari daerah lain. Ketoprak Siswo Budoyo, misalnya, mengusung tujuh ''jago gebuk'' itu dari Desa Sulur, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan.

"Tetapi mereka sudah menjadi anggota, sehingga kami perlakukan sama dengan anggota lain," kata A Yudi Siswoyo, manajer ketoprak yang mengaku mengelola grup keseniannya sebagaimana sebuah perusahaan.
Memang pada umumnya, demi "mengamankan" keajekan berpentas, kelompok ''jago gebuk'' itu cenderung memilih bergabung sebagai anggota tetap, bukan sebagai pemain bon-bonan sekalipun honornya lebih sedikit. Namun, sebagian yang lain seperti kelompok dari Desa Tegalarum, Kecamatan Jaken, Pati memilih menjadi pemain jumputan. Untuk pentas siang-malam, kelompok seperti ini biasanya mendapatkan bayaran kurang lebih Rp 350.000 yang dibagi rata 6-7 orang.

Atraksi mereka di atas panggung, yang pada umumnya berukuran 7 x 7 meter, itu juga tak sebatas pada gerak akrobatik. Jika di layar kaca belakangan ini sinetron horor kerap kali hadir meneror, di panggung ketoprak para pemain pun menghadirkan efek horor lewat aneka macam sosok aneh yang bisa diidentifikasi sebagai memedi.
Di panggung ketoprak, Gerandong Misteri Gunung Merapi pun bisa hadir bersama sosok menyeramkan lain, dengan dukungan tata lampu dan sound effect, yang tak jarang bisa membuat bulu kuduk berdiri.

Boleh jadi, itulah yang dalam pandangan Kabul Sutrisno, pemimpin Cahyo Mudho, sebagai perwujudan dari konsepsi ketoprak yang "rame tur akeh lucune". "Biar tidak ditinggalkan penonton, kami memang harus menyuguhkan pentas yang akeh perange, akeh gandrunge, tur akeh guyonane. Kalau perlu, pada awal cerita kita keluarkan pemain-pemain yang ganteng dan cantik, biar penonton bertahan sampai lakon selesai," jelas seniman tiga zaman yang lekat dengan peran antagonis itu.

Demi memenuhi konsep itulah, tak mengherankan jika perang, gandrung, dan lawak mendapat porsi lebih dari adegan lain. Sebaliknya, adegan patur-paturan atau pasewakan (audiensi) yang dalam pergelaran wayang kerap disajikan bertele-tele pada awal cerita, nyaris tak terjumpai dalam pentas itu. Ketika mementaskan Menakjingga sang Pahlawan atau Kebo Marcuet Lena di Desa Trikoyo, Jaken, Pati, beberapa waktu lalu, bukan audiensi di Istana Majapahit yang dihadirkan oleh grup Bangun Budoyo sebagai pembuka, melainkan semadi Jaka Umbaran yang penuh godaan para lelembut.

"Ketoprak (gaya) Pati memang beda dari ketoprak (gaya) Semarang, apalagi Jogja. Ketoprak kita untuk ditonton, bukan untuk didengarkan. Karena itu, harus thas-thes, tidak usah bertele-tele seperti di dalam kaset," papar Kabul Sutrisno.
Meski demikian, tak perlu heran jika para penonton bisa serta merta berdiri dan bertepuk tangan penuh semangat ketika di atas panggung Sunan Kalijaga berdebat sengit dengan Sunan Kudus. Maklum saja, dari mulut para pemain wos macam itu, bukan hanya kalimat-kalimat stereotipe khas ketoprak yang keluar, tetapi juga adu kepintaran untuk berdalil yang bersumber dari hadis dan Alquran.

Memang, ketoprak telah menjelma sebagai salah satu sarana bagi masyarakat Pati dan sekitarnya untuk mengekspresikan dunianya. Penonton dan panggung ketoprak, pemain dan peran yang dibawakan, serasa lebur dan bersenyawa ke dalam fantasi penonton. Karena itulah, lakon-lakon yang digelar lebih sering bersumber dari cerita yang secara psikografik lebih dekat dengan mereka, semacam Maling Kapa-Maling Gentiri, Dhalang Sapanyana, Demang Yuyurumpung, Saridin, dan kisah heroik lain dari bumi Pati.
Kecuali dalam "adegan resmi", secara keseluruhan dialog antartokoh lebih kental dalam dialek Pati daripada dengan bahasa Jawa "baku". ''Bahasa ketoprak sini tak perlu mriyayeni, nanti malah jauh dari rasa pesisiran,'' kata Rini Riana, pemimpin Langen Marsudi Rini.

Andalkan Dagelan
Adapun untuk menghadirkan tontonan yang akeh lucune, peran dagelan terlihat sangat mewarnai sepanjang permainan. Malahan pemeran "serius" pun bisa muncul secara glenyengan, meski tak harus "separah" Ketoprak Humor di layar RCTI.
Karena itu, tak perlu heran jika para pelawak ketoprak sering lebih populer daripada pemain wos lain, malah tak kalah tenar dari nama grupnya. Penjol dan Kunthing, sebagai pelawak, selama puluhan tahun telah menjadi ikon Ketoprak Bakaran (Cahyo Mudho), di samping nama legendaris Kabul Sutrisno dan Karsono. Ronggo Budoyo pun merasa perlu memasang besar gambar sang pelawak yang juga pemimpin ketroprak itu, Markonyek, pada layar yang selalu tampak ketika panggung ditutup. Siswo Budoyo juga mengunggulkan Thukul, Uthik, dan Joko Konyil serta emban Tembel dan Denok untuk menangguk tawa penontonnya.
Demikian pula bagi Langen Marsudi Rini, kehadiran Singkek dan Kancil yang belakangan ini sering bermain dalam Ketoprak Humor RCTI, adalah sebuah magnet. Begitu penting kehadiran seorang pelawak, sampai-sampai ketika pentas siang Langen Marsudi Rini di Desa Nggrawan, Sumber, Rembang, Singkek merasa perlu untuk meminta maaf dan memberi tahu kepada penonton bahwa Kancil belum datang.

"Tetapi nanti malam dia pasti ada. Tadi baru saja telepon, katanya sudah sampai Kudus, setelah naik pesawat dari Medan," kata Singkek dalam dialek Pati-Rembang yang begitu kental.
Pentingnya para dagelan dalam pementasan tentu saja berbanding lurus dengan tetesan rezeki ke pundi-pundi mereka. Boleh jadi di semua grup ketoprak, bersama para pemain wos yang tak seberapa jumlahnya itu, para pelawak adalah pemain yang berada pada perolehan honor kelas I, tertinggi di antara personel lain. "Keistimewaan" lain, cenderung ada toleransi yang lebih longgar buat para pendagel untuk menjadi pemain jumputan, sekalipun ia telah menjadi anggota sebuah kelompok.

Karena itu, tak jarang seorang dagelan ketoprak dalam sehari semalam bisa manggung di empat tempat yang berbeda. Padahal, adegan lawak biasanya menyita waktu hampir satu jam durasi pementasan.
Selain dagelan, adegan gandrung (percintaan) pun menjadi warna tersendiri. Umumnya pemerannya adalah pemain laki-laki yang gagah dan pemeran perempuan yang cantik. Namun, tanpa kemampuan nembang dan kekuatan berimprovisasi, jangan berharap bisa terlibat dalam adegan ini. Dibandingkan dengan pemain laki-laki, mencari pemain wos perempuan yang kuat untuk adegan ini, relatif lebih sulit. Karena itu, tarif untuk pemain kategori ini terbilang tinggi, apalagi bagi pemain bon-bonan (sewaan). Sebagai pemain bon-bonan, Rinny Riana bisa dibayar Rp 1,5 juta sekali pentas.

"Tetapi kalau menuruti bon-bonan, rasanya tidak enak pada anggota sendiri. Bisa sih mencari uang gede, tapi kalau keterusan bisa membunuh kelompok sendiri,'' ungkap Rini yang tinggal di Growongkidul, Juwana, Pati ini.
Di luar itu, panggung, kelir, gamelan, dan tata suara tetap saja menjadi hal-hal yang tak boleh disepelekan. Tak hanya kelir yang harus selalu diperbarui, tetapi juga mesti ada dukungan dekorasi lain yang bisa menjadikan setting terasa lebih hidup. Demikian pula gamelan dan tata suara, selalu mengalami inovasi, jika tak ingin ketinggalan dari kelompok lain. (Sucipto Hadi Purnomo-60k)
Sumber : Suara Merdeka
Diposting oleh petani berdasi
"Kosik, Sang Prabu Lagi Main Kartu"
PUKUL 12 siang di sebuah desa di Pati. Seperempat jam sudah gending patalon menggema. Penonton berdatangan. Sebagian besar anak-anak, kecuali para tamu undangan di dalam rumah penanggap yang bisa duduk nyaman, bebas dari sengatan matahari.

Di belakang panggung, pada ruangan lebar yang tersekat oleh gedek, lebih dari tiga puluh pemain laki-laki dan perempuan berbaur di antara tas-tas besar. Sebagian dari mereka sudah menyelesaikan riasan wajah. Merias dan berdandan sendiri.
...
Mereka merias wajah, tanpa tahu persis peran apa yang akan dibawakan. Sebab, sang dalang (sutradara) belum juga datang. Dia masih dalam perjalanan, karena sebagai guru sekolah dasar, harus mengajar lebih dulu. Toh pemain lain juga masih ada yang menikmati tidurnya.

Tak lama kemudian, setelah suwuk dan sirep beberapa saat, gamelan berbunyi kembali. Kelir depan dikerek, panggung terbuka. Delapan perempuan membawakan tari gambyong sebagai pembuka.

Tak sampai tarian usai, sang dalang sudah datang. Seorang wakil penanggap menghampiri. Singkat mereka berembuk soal lakon yang akan disajikan. Tersepakati: Adeging Mesjid Demak (Babad Alas Glagahwangi).


Sang sutradara meraih buku tulis, mendaftar nama pemain dan peran yang akan dibawakan. Asistennya membangunkan para pemain yang masih terlelap. Sesaat berikutnya, lewat pengeras suara, dia menyebutkan lakon, tokoh-tokoh cerita, dan pemerannya, lengkap dengan urutan adegan yang bakal ditampilkan.

Pukul satu siang. Lakon Babad Alas Glagahwangi benar-benar tergelar, hampir empat jam. Di atas penggung, para pemain berakting, tanpa naskah yang perlu dihafal. Di depan panggung, penonton kian banyak, keriuhan pun bertambah. Di belakang panggung, di sela-sela waktu menunggu naik pentas, para pemain membunuh kejenuhan dengan cara masing-masing, sebab hampir semua sudah selesai berdandan, sesuai dengan karakter yang mesti mereka bawakan.

Sebagian kembali melanjutkan tidurnya. Maklumlah, belasan hari sudah tanpa henti, siang-malam, mereka berpentas. "Bangun!" seru salah seorang yang bertugas sebagai juru gagah sambil menepuk kaki seorang pemain. ''Gandrung, ora gelem, terus dioyak (Gandrung, tidak mau, kemudian diburu),'' begitu instruksi ringkas sang dalang kepada ''wayang''-nya. Yang disuruh pun bergegas naik pentas.

Yang lain, masih ngobrol tentang berbagai hal. Dan, demi menahan lelah, kantuk, dan jemu, lima pemain asyik bermain kartu domino. Ada memang uang sebagai taruhan, tapi jumlahnya tak seberapa.

''Main kartu dengan taruhan kecil-kecilan itu biasa untuk cegah lek. Biasa. Tapi kalau sudah urusan perselingkuhan antarwayang, kami tak bisa menolerir lagi. Terpaksa kami mengeluarkan keduanya, biar tak jadi bubrah,'' kata Kabul Sutrisno, Ketua Ketoprak Cahyo Mudho. Beberapa sesepuh dan pemimpin kelompok ketoprak pun mengamini pernyataan Kabul.

''Prabu Brawijaya siap keluar!'' seru sutradara.

''Kosik, Sang Prabu lagi main kertu, gandrunge didawakke sithik (Sebentar, Sang Prabu sedang bermain kartu, adegan gandrungnya diulur-ulur sedikit),'' pinta sang pemeran Prabu Brawijaya menawar, karena satu babak permainan kartu hampir selesai. Tawa pun pecah di antara mereka.

Ya, di dalam pentas ketoprak yang tanpa disertai naskah seperti itu, cerita bergerak hanya berdasarkan gambaran kasar sang sutradara. Apalagi jika lakon itu sudah kerap kali dimainkan, improvisasi pun seakan sudah ''di luar kepala''. Karena itu, suatu adegan bisa dipersingkat atau sebaliknya, diulur-ulur, karena pemain berikutnya belum datang atau belum siap. Dengan begitu, beberapa pemain wos dan dagelan bisa nimbal dari satu panggung ke panggung lain dalam sehari.

Padatnya jadwal pentas juga memaksa mereka untuk pintar-pintar bersiasat, baik soal waktu maupun kesehatan. ''Dengan makan yang teratur, meski tidur relatif kurang, tubuh bisa terjaga. Kalau ada waktu untuk istirahat, untuk tidur, kami gunakan sebaik-baiknya,'' kata Budiyono (60), pemain senior Bangun Budoyo yang selalu kelihatan bugar itu.

Namun Warsito (40), yang selalu menjadi sutradara bagi grupnya, nyaris tak punya waktu untuk ''santai'', apalagi memejamkan mata selama pentas berlangsung. ''Bayangkan, kalau dua puluh hari dua puluh malam harus pentas nonstop dan selalu menjadi sutradara. Padahal, paginya harus ke sekolah. Jadi, maklum saja kalau di depan anak-anak, saya sering theklak-thekluk,'' kata Warsito, guru di sebuah SD negeri di perbatasan Pati-Blora.

Kabul pun, sebagai kepala urusan (kaur) umum di desanya, pagi selalu menyempatkan diri ngantor sebelum berangkat ke tempat pementasan. ''Warga dan perangkat desa lain maklum kalau saya cepat-cepat pulang, apalagi perangkat desa yang main ketoprak tak saya sendiri.''

Memang, meski hasil dari panggung boleh dibilang ''lumayan'', para pekerja ketoprak pada umumnya memiliki pekerjaan lain, baik sebagai pegawai negeri, petani, petambak, maupun pedagang. Khusus para pemimpinnya, terutama yang tergolong ketoprak majikan, adalah para pedagang atau pengusaha.

Pasangan Anom Suparno dan Kristin, majikan Siswo Budoyo, merupakan pengusaha terpandang di Desa Growonglor, Juwana, Pati. Tawi, yang menjadi bos Bangun Budoyo, adalah pengusaha mebel, sedangkan Rinny Riana yang memimpin Langen Marsudi Rini merupakan pedagang penyuplai kuningan. Maklumlah jika grup-grup yang mereka pimpin bisa memiliki fasilitas komplet untuk pementasan, termasuk alat transportasi.

Rezeki Bakul

Tak hanya pada diri pemain, wajah-wajah lelah juga jelas tergambar pada para bakul yang turut mrema, mulai dari penjual sate kambing, mainan anak-anak, kacang goreng, sampai ereng-ereng (lanting).

Meski demikian, pentas-pentas ketoprak "besar" bagi para bakul itu merupakan lahan subur untuk menangguk untung. Ny Sumi (60) penjual sate kambing, misalnya, dengan mengikuti pentas Siswo Budoyo mengaku bisa menjual 1.500 tusuk sate hanya dalam tempo beberapa jam.

Karena itu, bakul-bakul itu pada umumnya memiliki jadwal pentas ketoprak-ketoprak papan atas. Sunar (35), misalnya, menunjukkan lima lembar fotokopi jadwal pentas beberapa ketoprak "besar" itu. Berdasar jadwal itu, baginya tiada hari tanpa menggelar dasaran untuk menjual dolanan anak saat pentas ketoprak.

Sesungguhnya sekarang, tak hanya di atas panggung, kejayaan ketoprak Pati ditegakkan. Beberapa pementasan ketoprak papan atas telah disyut dan terabadikan lewat keping VCD. Belakangan ini, di antara VCD Inul Daratista, dangdut, campursari, tayuban, dan kasidah, di kawasan Pati dan Rembang, VCD ketoprak lokal tergolong laku keras.

Suharto (30), yang memiliki kios penjualan VCD di depan Pasar Ngulakan, Jaken, Pati mengaku selama dua bulan terakhir ini berhasil menjual lebih dari seratus keping VCD ketoprak. "Yang satu lakon penuh terdiri atas 5-6 keping. Tapi ada juga yang khusus untuk adegan dagelan, cukup satu keping," kata laki-laki yang setiap hari nglajo sekitar 30 km dari rumahnya, Trangkil, Pati. Untuk satu lakon penuh, dia menjual dengan harga Rp 25.000 - Rp 30.000, sedangkan jika hanya satu keping Rp 5.000.

Memang, hingga sekitar satu dasawarsa lalu, di samping populer lewat panggung, ketoprak Pati sangat diakrabi oleh warga masyarakat lewat pita kaset. Kala itu, di sana hampir tidak ada yang tak hafal cerita Saridin atau Syeh Jangkung karena hampir setiap hari, baik lewat radio lokal maupun pengeras suara orang punya kerja, lakon itu diputar. Apalagi Tumijantoro (almarhum) sebagai pemerannya kelewat impresif dan fasih untuk membawakan peran "santri-abangan" itu. Boleh jadi karena ketoprak itulah jika petilasan dan makam Syeh Jangkung di Kayen, Pati sejak belasan tahun lalu ramai dikunjungi penziarah lokal.

Lebih dari itu, ketoprak juga telah menjadi sarana bagi anak-anak untuk belajar sejarah, setidaknya menapaki tangga terdekat menuju pelajaran sejarah, lewat cerita babad dan kisah-kisah heroik khas Pati. Ya, lewat ketoprak, anak-anak tak hanya diajak berapresiasi seni, tetapi sekaligus belajar sejarah dan cita-cita komunal. (Sucipto Hadi Purnomo-29c)
Sumber : Suara Merdeka
Diposting oleh petani berdasi
Oleh : JA NOERTJAHYO
Karsiman membeli seekor kambing lokal di pasar hewan seharga Rp 300.000. Uang itu dia kumpulkan dari penjualan singkong, jagung, dan kelapa selama dua tahun. Setelah dirawat dengan baik hampir setahun, si kambing dikawinkan dan melahirkan dua anak yang kini berumur enam bulan.
...
Kangge ingon-ingon, celengan sakwanci-wanci betah yatra (Untuk peliharaan, simpanan sewaktu-waktu butuh uang)," kata lelaki yang mengaku berumur 45 tahun dan ayah dari tiga anak itu.

Di Desa Tepas, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, itu bukan hanya Karsiman yang memelihara kambing. Banyak penduduk yang memelihara 1-4 ekor ternak kecil yang akrab disebut kambing kacang atau kambing jawa.

Hal serupa mewarnai beberapa desa di sekitar Tepas, seperti Tapakrejo, Nyawangan, Gogoniti, Kalimanis, Doko, dan lain-lain. Kawasan ini menghampar di lereng Gunung Kawi bagian selatan dan memiliki banyak tanaman perkebunan. Penduduk beternak sebagai "selingan" kegiatan tani, dengan pakan hijauan dari limbah pertanian yang digelutinya.

Umumnya penduduk menganggap ternak sebagai raja-kaya (harta benda), sekaligus sebagai tabungan. Tidak sedikit yang memulai dengan memelihara ayam, setelah berkembang biak lalu dijual untuk dibelikan kambing. Eskalasi ini bisa berlanjut. Mereka yang kambingnya sudah beranak pinak kemudian menjualnya untuk dibelikan pedet (anak sapi) atau gudel (anak kerbau). Selain sebagai tabungan, hewan besar ini juga digunakan sebagai tenaga kerja dalam pengolahan tanah pertanian.

Usaha ternak domba-kambing di negeri kita memang didominasi oleh peternakan rakyat karena modalnya tidak besar dan perawatannya gampang. Menurut Oon Furkon, Ketua Himpunan Peternak Domba-Kambing Indonesia (HPDKI) Jawa Timur, sekitar 90 persen populasi domba-kambing adalah milik rakyat yang dikelola secara tradisional. "Peternak komersial yang memiliki piaraan 100 ekor atau lebih bisa dihitung dengan jari tangan," katanya.

Potensi ekonomi domba-kambing memang sangat cocok sebagai peternakan rakyat. Modal yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan beternak sapi misalnya, atau ternak besar lainnya. Cara memelihara pun mudah, sebagai pekerjaan sampingan dan bisa dilakukan oleh anggota keluarga, termasuk anak-anak. Usaha dalam skala kecil tidak memerlukan tempat yang luas.

Selain itu, domba-kambing berkembang biak lebih cepat dibandingkan ternak besar karena sekali beranak bisa melahirkan 2-3 ekor. Bisa dijual setiap saat, baik ke pasar hewan maupun melalui perantara (belantik). Setiap desa memiliki dua atau lebih warga yang berprofesi sebagai belantik.

Akan tetapi, peternakan rakyat secara tradisional seperti itu justru sulit dikembangkan ke tingkat skala-usaha karena pemilikan modal yang terbatas, pengelolaan tidak efisien akibat keterbatasan produksi dan pemasaran, teknologi yang digunakan sederhana, serta kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah.

Kenyataan di lapangan menunjukkan, peternakan tradisional seperti di atas hanya bisa akrab dengan pasaran tradisional pula. Di pasaran, para pembelinya adalah para calon peternak yang mencari "bibit" untuk dipiara sebagai tabungan. Atau tukang sate/gulai, ditambah kebutuhan untuk kambing guling dan sop kambing. Penyerapan untuk konsumsi tradisional ini sangat terbatas sehingga beberapa pengusaha yang mencoba meningkatkan peternakan domba-kambing ke skala usaha sulit berkembang.

Selama ini pemasaran domba-kambing memang menjadi masalah besar bagi para pengusaha peternak. "Peningkatan produksi sangat baik, tapi pemasarannya sulit. Mesin pengolah pakan pun jadi mangkrak dan karatan," kata Nuril Huda, peternak dari Tuban, dalam seminar "Mewujudkan Kesejahteraan Peternak Melalui Agribisnis Domba dan Kambing" di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jatim, 9 Mei 2006.

Di atas kertas, sebenarnya pasar domba-kambing masih sangat besar. Menurut Ir Fauzi Luthan, Direktur Budidaya Ternak Ruminansia Ditjen Peternakan Deptan, kebutuhan domba-kambing secara nasional lebih dari 5,6 juta ekor per tahun. Peluang untuk ekspor pun terbuka luas. Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah dalam tahun 2004 mengimpor 9.303.598 ekor dari Australia, Jerman, Thailand, Selandia Baru, dan lain-lain. Indonesia bisa turut mengisi pasar luar negeri tersebut.

"Angka-angka peluang ekspor seperti itu sering kami dengar. Tetapi, peternak tak pernah bisa memanfaatkan karena informasinya tidak jelas," kata Sartono, peternak asal Banyuwangi.

Oon Furqon membenarkan ucapan Sartono di atas. "Saya pernah didatangi orang yang mengaku importir Malaysia. Namun, setelah saya ajukan penawaran, ternyata ia tidak muncul lagi," ujar pemelihara sekitar 300 domba-kambing dan 25.000 ayam potong itu.

Ditambahkan, pasaran terbesar domba-kambing hanya terjadi setahun sekali, yaitu pada hari raya Idul Adha. "Semua stok yang memenuhi syarat untuk hewan kurban pasti habis," katanya. Selain Idul Adha, pasar lain hanya untuk memenuhi kebutuhan pedagang sate/gulai dan kambing guling, serta orang yang melaksanakan hajatan. Untuk itu pun terkendala dengan kepercayaan masyarakat bahwa daging kambing bisa menyebabkan beberapa penyakit, misalnya memicu tekanan darah tinggi sampai stroke.

"Belum ada diversifikasi pengolahan produk, misalnya berupa abon atau dendeng kambing," kata Oon Furkon.

Pengusaha ternak domba-kambing dalam pemasaran juga sering "bertubrukan" dengan peternak tradisional (rakyat). Misalnya, saat harga pasaran berkisar Rp 17.500 per kilogram domba-kambing hidup, peternak tradisional tidak mau melepaskan karena tidak butuh uang. Tetapi, jika butuh uang untuk membayar sekolah anaknya, ditawar Rp 15.000 per kg pun bisa dilepaskan.

Itulah problem lain yang dihadapi para peternak komersial. Karena jumlah peternak tradisional jauh lebih banyak dibandingkan peternak komersial, kelompok terakhir inilah yang sering berada pada posisi sulit. Akibat lebih jauh, perkembangan usaha komersial pun jadi lamban.

Peternakan tradisional yang tak terkoordinasi dan tersebar lokasinya itu juga sulit untuk memenuhi permintaan luar negeri. Sebab, untuk menghimpunnya dalam jumlah besar memerlukan waktu lama dan biaya yang tak kecil. Masih ditambah lagi tidak adanya standar mutu, baik dari segi umur, ukuran tubuh (bobot), jenis, dan lain-lain.

Menurut data terakhir Ditjen Peternakan Deptan, konsumsi daging domba-kambing memang masih rendah, baru 5 persen dari keseluruhan daging yang dikonsumsi masyarakat. Tempat tertinggi diduduki daging ayam/unggas (56 persen), disusul sapi (23 persen), babi (13 persen), domba-kambing (5 persen), dan lain-lain 3 persen. Dengan komposisi seperti itu, upaya meningkatkan konsumsi daging domba-kambing sepertinya masih terbuka lebar, namun kendala terberat yang dihadapi adalah faktor psikologis, yaitu dikaitkannya daging ini sebagai penyebab beberapa penyakit.

Peningkatan volume penjualan domba-kambing rasanya memang perlu dipikirkan banyak pihak karena populasi ternak ruminansia kecil ini paling besar dibandingkan ternak ruminansia lainnya. Apalagi Jatim sudah menetapkan ternak domba-kambing sebagai komoditas strategis yang harus dikembangkan.

JA Noertjahyo Wartawan, Tinggal di Malang
Sumber : Kompas Jumat, 23 Juni 2006
Diposting oleh petani berdasi
TELUR asin rasa udang? Pertanyaan bernada keheranan ditambah kernyitan di dahi itu pasti muncul setiap kali orang membayangkan telur asin rasa udang tersebut. Selanjutnya, pasti muncul serentetan pertanyaan lain yang timbul karena rasa penasaran yang menjadi-jadi.
Kalau begitu, bisa bikin telur asin rasa stroberi, atau cokelat," celetuk orang yang lain lagi. Ya, celetukan-celetukan lain pasti juga bermunculan mendengar ada telur asin rasa udang dan kupang yang diproduksi oleh "hanya" 50-an peternak unggas di Desa Kejapanan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.

...
Selama ini, orang hanya mengenal telur asin dari Brebes, sementara telur asin van Pasuruan ini hanya dipandang sebelah mata, dan nyaris tak terdengar.

Padahal, menurut Hasan Bisri (35) yang menemukan resepnya, telur asin tersebut sangat digemari wisatawan mancanegara yang sering berlibur di kawasan Tretes, atau Batu. Tidak tanggung-tanggung, di obyek wisata itu sebutir telur asin dijual dengan harga satu dollar AS (sekitar Rp 10.000) oleh pemilik toko suvenir di sana. Bandingkan dengan harga yang dipatok oleh Hasan, yang hanya Rp 700-Rp 1.000 per butir.

Promosi dan pemasaran yang terbatas membuat sejumlah orang masih keheranan dan merasa asing setiap kali telur asin rasa udang dan kupang itu disebut. Padahal, telur asin itu sudah mulai dirintis oleh sang pemilik ide sejak tahun 1991.

Namun, karena penjualan telur tersebut masih sebatas di Pasuruan, Pandaan, Malang, Sidoarjo, Surabaya, dan Banjarmasin, maka belum banyak masyarakat yang mengenalnya. Kendati dalam sehari peternak unggas di Desa Kejapanan mampu menghasilkan 35.000 butir telur asin, prospek bisnis produk langka ini belum cemerlang. Seperti jamaknya pengusaha kelas kecil dan menengah lainnya, persoalan modal menjadi kendala utama produsen telur asin ini.


***
HASAN Bisri yang dinobatkan sebagai Pemuda Pelopor Nasional Tahun 2000 itu memulai usahanya karena "kecelakaan". Ayah tiga anak ini semula beternak ayam hingga tahun 1990-an. Namun, karena persaingan yang ketat, bahkan terkesan tidak sehat, peternakannya yang saat itu telah mencapai 25.000 ekor ayam bangkrut.

Menurut Hasan, penyebab kebangkrutan adalah sikapnya yang keras kepala, tidak mau masuk peternakan inti rakyat (PIR). Akibatnya, harga pakan ternak dipermainkan, sehingga ia tidak mampu lagi membelinya.

Dengan sisa modal Rp 700.000, tahun 1991, Hasan membuat bangunan berukuran 3 meter x 7 meter berdinding bambu. Sisanya, ia gunakan untuk membeli 200 ekor bebek. Dalam kurun waktu satu tahun, peternakan bebek Hasan berkembang pesat, dan ia dapat menabung sebesar Rp 7,5 juta.

Pasalnya, kebutuhan untuk pakan relatif kecil, hanya Rp 4.000 per hari, sementara telur yang dihasilkan unggasnya rata-rata 160 butir per hari, dengan harga jual Rp 180 per butir. Jadi, dalam sehari Hasan dapat mengantungi keuntungan bersih Rp 25.000 atau Rp 750.000 sebulan.

Menurut Hasan, kandang lebih penting dibanding aspek apa pun dalam beternak. Oleh sebab itu, ia menyisihkan Rp 5 juta dari tabungannya untuk membangun kandang bebek kering. Ini membuat bebek semakin produktif, dan bau kotorannya tidak mengganggu tetangga kanan-kiri. Sisanya digunakan lagi untuk membeli 300 bebek. Pada tahun 1993, jumlah unggasnya sudah 3.500, dan 1.500 di antaranya merupakan bebek petelur.


***
PADA suatu hari, Hasan sempat terheran-heran melihat telur asin berwarna ungu di Brebes. Rupanya, bebek penghasil telur itu diberi makan eceng gondok. Sejak saat itu, Hasan yang lulusan SMA Yayasan Gempol Jurusan IPA ini menyimpulkan bahwa jenis makanan bebek dapat menentukan warna, kualitas, dan rasa telurnya.

Bersamaan dengan itu, Hasan melihat bahwa limbah pabrik pengalengan udang dan kupang yang banyak terdapat di sekitar rumahnya selalu terbuang. Terbetik dalam benaknya, jika bebeknya diberi makan kepala udang dan kupang sisa pabrik itu, maka telurnya bisa berwarna merah, dan rasanya pun jadi mirip udang atau kupang.

Dia segera mendatangi manajer pabrik pengalengan udang dan kupang, meminta agar limbah pabrik bisa dia manfaatkan. Ternyata pihak pabrik yang saat itu tengah kebingungan membuang limbahnya, bersedia memberikan limbah itu dengan cuma-cuma kepada Hasan.

Hasan Bisri tidak merasa canggung atau kesulitan untuk memodifikasi pakan itiknya. Dia meramu pakan dengan komposisi sentrat dan bekatul 1:4 untuk telur bebek dengan rasa alami (tiap ekor membutuhkan dua ons pakan).

Untuk 100 bebek yang diharapkan menghasilkan telur rasa udang, komposisi sentrat 1:10, masih ditambah satu zak (15 kg) kepala udang, sedangkan telur rasa kupang dihasilkan oleh bebek yang diberi pakan dengan perbandingan sentrat dan katul 1:8, plus satu zak kupang. Hasilnya, kuning telur bebeknya berwarna kuning kemerahan, seperti matahari yang hampir terbenam, sesuai warna kepala udang yang dimakan bebeknya.

DALAM rangka meningkatkan nilai ekonomis telur, Hasan juga meramu resep tertentu untuk mengasinkan telur tersebut, agar lebih awet. Telur asin yang melalui proses pelarutan laku dijual Rp 1.000 per butir, sementara yang tanpa melalui proses pelarutan hanya Rp 700-Rp 800 per butir. "Selain itu, rasa udang atau rasa kupangnya juga lebih menggigit, sehingga sekali makan orang langsung terkejut dan teringat terus," ujarnya.

Untuk mengasinkan dan membuat rasa udang atau kupang lebih tajam, setiap 100 butir telur, Hasan meramu satu liter air, garam dua kg, batu bata dua kg, tanah liat satu kg, abu 0,5 kg, cendana satu ons, dan cuka lima botol kecil.

Setiap butir telur harus dicelupkan satu per satu ke dalam larutan, sampai terbungkus larutan secara merata. Setelah itu, telur didiamkan minimal selama 14 hari. "Saya sarankan antara 14-15 hari. Kurang dari itu tidak bagus, lebih dari itu juga nanti terlalu asin," cetus Hasan. Namun diakui, saat ini hanya dia yang menjalankan proses semacam itu, sementara puluhan peternak lain tidak menerapkannya.

KEBERHASILAN Hasan memproduksi telur asin dengan beragam rasa itu ternyata menarik perhatian Karang Taruna Desa Kejapanan. Kerja sama saling menguntungkan antara Hasan dan pemilik pabrik pengalengan diambil alih oleh remaja, dengan alasan untuk membantu program Karang Taruna. Sejak tahun 1995, kepala udang yang semula ia dapatkan secara gratis dari pabrik, harus ia beli dari Karang Taruna dengan harga Rp 200 per kg. "Padahal, oleh pemilik pabrik hanya dijual Rp 60 per kilogram lho," kata Hasan.

Meskipun demikian, Hasan tidak keberatan, bahkan dengan tangan terbuka ia mengajak warga di sekitarnya untuk turut mengembangkan usaha ternak bebek dan telur asin seperti dirinya. Bahkan, ia membina para pemuda se-kecamatan untuk mau membuat kandang kering yang sehat, yang mampu meningkatkan produktivitas bebek hingga 75 persen. Hasilnya, saat ini tercatat lebih dari peternak binaannya yang mampu menghasilkan 35.000 butir telur per hari, dengan omzet mencapai Rp 750.000 per orang per hari.

MESKIPUN demikian, Hasan dan para peternak lain belum merasa puas. Paling tidak, keinginan untuk mematenkan trademark telur asin rasa udang itu belum lagi terwujud. Masih ada pula obsesi Hasan dan peternak binaannya yang hingga kini masih sekadar angan-angan. Lagi-lagi masalah modal, tentunya.

Melihat telur hasil produksi mereka dapat dijual dengan harga sepuluh kali lipat di obyek wisata, membuat mereka ingin juga meningkatkan harga jual telur asinnya. Saat ini para peternak yang tergabung dalam wadah Kelompok Pembelajaran Swadaya Masyarakat (KPSM) Unggas Harapan Kita, tengah merintis kemasan telur yang dapat lebih menarik minat pembeli. Tas pengemas itu dirancang berwarna keperakan, dengan gambar tiga butir telur berwarna biru.

Sayang, hingga saat ini telur asin rasa udang itu belum mudah dijumpai masyarakat. Peternakan yang terpencil dan jauh dari pusat keramaian, membuat hanya orang tertentu saja yang mengetahui keberadaan mereka. Tidak salah rasanya jika cita-cita Hasan dan peternak binaannya hanya ingin "tampil" lebih. Tidak perlu gerai atau kios mewah, mereka hanya butuh tempat untuk memajang hasil kerjanya selama ini.

"Kami sih inginnya bisa menggelar dan memamerkan telur-telur ini di pinggir jalan, seperti pedagang tape Bondowoso itu lho. Tetapi, itu kan enggak resmi. Takut kalau nanti kena gusur petugas ketertiban. Lebih baik mengumpulkan modal, agar bisa menyewa kios di pinggir jalan," kata Hasan. Betul, tetapi jangan lupa mematenkan karya telur asin itu, jangan seperti tempe yang sudah dipatenkan orang Jepang. (RACHMA TRI WIDURI)
Sumber : Kompas
Diposting oleh petani berdasi
Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved