Jumat, 15 Mei 2009
di
18.45
|
Siang, ketika jam kunjungan sudah habis, seorang kerabat napi terpaksa ditolak masuk.. Petugas portir pun menwarkan agar roti yang dibawa dititipkan pada mereka untuk disampaikan kepada tahanan yang dimaksud.
“Namanya siapa? Tinggal di kamar berapa?” tanya petugas dengan sopan.
“Sebentar, namanya Harya, tapi saya lupa tinggal di kamar berapa,” kata si pengunjung sambil mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Ternyata dia tinggal di kamar F 30,” lanjutnya.
Bungkusan yang diserahkan lalu diperiksa di depan si pengunjung untuk memastikan tidak ada barang terlarang yang disebunyikan di dalamnya. Beres, si pengunjung tadi mengucapkan terima kasih dan segera pergi. Tidak berapa lama kemudian, Harya si penghuni F 30 muncul di depan petugas untuk mengambil kirimannya.
Sebelum bungkusan diberikan, salah seorang staf Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR) langsung bertanya, ”Ponselnya mana?”
Mendapat pertanyaan mendadak soal HP, Harya agak kaget. “Kok tahu kalau saya punya ponsel?” mungkin begitu tanyanya.
“O ada Pak, saya simpan di kamar. Sebentar saya ambil,” Harya kembali ke kamar mengambil HP untuk ditukar dengan bungkusan makanan tadi. Sial, deh.
Nasib lebih sial dialami Ali Mashuda, mantan pemain Persebaya tahun 2004. Pria yang sempat menjadi kapten kesebelasan kebanggaan arek-arek Suroboyo itu masuk Medaeng karena sabu-sabu. Bukan hanya kehilangan ponsel, dia juga terpaksa menginap dua malam di kamar sel yang sempit dan kotor.
Sore, menjelang penutupan blok, tiba-tiba Kepala KPR, Affandi, muncul di Blok F dan masuk ke mamar yang dihuni Ali. Tertangkap basah sedang memegangponsel, Ali tak bisa mengelak kecuali memberikan ponsel itu.
Belum sempat diserahkan, Affandi bergegas ke kamar lain. Entah apa yang ada di dalam pikiran Ali, tiba-tiba dia menghilang dari kamar. Affandi kembali dan menanyakan tentang ponsel tadi. Teman-temannya sibuk mencari Ali, ada yang berteriak-teriak memanggil, ada yang bergegas mencari ke masjid, karena Ali memang sering salat berjamaah di masjid rutan.
Ternyata Ali ngumpet di blok anak-anak. Masih bercelana pendek tanpa baju, dia diminta ke kantor KPR untuk menyerahkan ponsel. Tidak lama kemudian, dia kembali ke kamarnya dan minta HP yang warna putih.Ternyata, ponsel yang dilihat oleh Affandi tadi berwarna putih, sementara Ali datang menyerahkan HP berwarna hitam. Jadi, ada dua HP yang harus diserahkan. Selesai menyerahkan HP yang kedua, Ali tidak kembali ke kamar tapi langsung menginap di dalam sel isolasi.
Kalau saja Ali menyerahkan ponsel tanpa harus ngumpet segala, dia tidak perlu menginap di sel isolasi berukuran 2 x 2 meter yang saat Ali masuk sudah ada tiga orang di dalamnya.
“Ampun-ampun, selama dua hari saya tidur sambil duduk dan tidak mandi,” kenang Ali.
Lewat wartel (di Rutan Medaeng tersedia wartel dan telepon koin) saya menelepon seorang teman yang baru sehari bebas. Saya belum sempat bicara satu kata, teman saya tadi langsung tertawa lepas setengah berteriak. Ada apa?
Begini ceritanya: selama di Medaeng, dia terbiasa menyimpan HP di balik celana, pas di bawah pusar. Tujuannya apalagi kalau bukan supaya aman dari kemungkinan digeledah petugas. Nah, saat sudah di luar rutan pun kebiasaan itu ternyata masih terbawa juga.
“Masih mendingan di balik resleting celana, bagaimana jadinya kalau saya simpan di pantat?” katanya sambil terus tertawa.
Memang itulah kebiasaan para penghuni Medaeng. Kalau keluar dari kamar, ingin jalan-jalan, maka HP selalu disimpan di balik celana. Ada juga yang disimpan di tempat paling rahasia, yaitu di pantat. Tapi saat ada operasi, dua tempat yang saya sebut tadi tidak aman. Karena petugas akan memeriksanya pula.
Lalu di mana tempat yang aman?
Masing-masing orang dan di setiap kamar punya tempat rahasia. Ada yang bikin bunker di lantai, ada yang bikin lubang rahasia di langit-langit kamar, di lubang WC, atau di saluran air kamar mandi. Botol shampo, asbak rokok, kaki meja, di dalam bantal, di sarung, di sandal atau sepatu dan banyak lagi tempat rahasia.
Sudah aman? Belum tentu. Sebab petugas punya banyak jurus dalam menjalani operasi. Yang paling ditakuti oleh penghuni adalah “serangan fajar”. Dini hari, petugas masuk ke kamar saat penghuni sedang lelap. Banyak HP yang dibiarkan tergeletak tidak sempat disimpan di tempat rahasia.
Jumlah HP yang disita dalam setahun (Oktober 2007-Oktober 2008) ada 896 buah. Jika diuangkan dengan harga rata-rata Rp 200 ribu saja per-HP-nya, maka total uang mencapai Rp 179.200.000.
Lantas, bagaimana nasib ponsel salah tuan itu? Dipakai petugas? Rternyata tidak. Sebanyak 405 ponsel hasil operasi tiga bulan (Januari-Maret 2009) ini sudah dibakar bertepatan dengan upacara Hari Pemasyarakatan 27 April lalu di Lapas Porong. (*)
Sumber : Surabaya Post
“Namanya siapa? Tinggal di kamar berapa?” tanya petugas dengan sopan.
“Sebentar, namanya Harya, tapi saya lupa tinggal di kamar berapa,” kata si pengunjung sambil mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Ternyata dia tinggal di kamar F 30,” lanjutnya.
Bungkusan yang diserahkan lalu diperiksa di depan si pengunjung untuk memastikan tidak ada barang terlarang yang disebunyikan di dalamnya. Beres, si pengunjung tadi mengucapkan terima kasih dan segera pergi. Tidak berapa lama kemudian, Harya si penghuni F 30 muncul di depan petugas untuk mengambil kirimannya.
Sebelum bungkusan diberikan, salah seorang staf Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR) langsung bertanya, ”Ponselnya mana?”
Mendapat pertanyaan mendadak soal HP, Harya agak kaget. “Kok tahu kalau saya punya ponsel?” mungkin begitu tanyanya.
“O ada Pak, saya simpan di kamar. Sebentar saya ambil,” Harya kembali ke kamar mengambil HP untuk ditukar dengan bungkusan makanan tadi. Sial, deh.
Nasib lebih sial dialami Ali Mashuda, mantan pemain Persebaya tahun 2004. Pria yang sempat menjadi kapten kesebelasan kebanggaan arek-arek Suroboyo itu masuk Medaeng karena sabu-sabu. Bukan hanya kehilangan ponsel, dia juga terpaksa menginap dua malam di kamar sel yang sempit dan kotor.
Sore, menjelang penutupan blok, tiba-tiba Kepala KPR, Affandi, muncul di Blok F dan masuk ke mamar yang dihuni Ali. Tertangkap basah sedang memegangponsel, Ali tak bisa mengelak kecuali memberikan ponsel itu.
Belum sempat diserahkan, Affandi bergegas ke kamar lain. Entah apa yang ada di dalam pikiran Ali, tiba-tiba dia menghilang dari kamar. Affandi kembali dan menanyakan tentang ponsel tadi. Teman-temannya sibuk mencari Ali, ada yang berteriak-teriak memanggil, ada yang bergegas mencari ke masjid, karena Ali memang sering salat berjamaah di masjid rutan.
Ternyata Ali ngumpet di blok anak-anak. Masih bercelana pendek tanpa baju, dia diminta ke kantor KPR untuk menyerahkan ponsel. Tidak lama kemudian, dia kembali ke kamarnya dan minta HP yang warna putih.Ternyata, ponsel yang dilihat oleh Affandi tadi berwarna putih, sementara Ali datang menyerahkan HP berwarna hitam. Jadi, ada dua HP yang harus diserahkan. Selesai menyerahkan HP yang kedua, Ali tidak kembali ke kamar tapi langsung menginap di dalam sel isolasi.
Kalau saja Ali menyerahkan ponsel tanpa harus ngumpet segala, dia tidak perlu menginap di sel isolasi berukuran 2 x 2 meter yang saat Ali masuk sudah ada tiga orang di dalamnya.
“Ampun-ampun, selama dua hari saya tidur sambil duduk dan tidak mandi,” kenang Ali.
Lewat wartel (di Rutan Medaeng tersedia wartel dan telepon koin) saya menelepon seorang teman yang baru sehari bebas. Saya belum sempat bicara satu kata, teman saya tadi langsung tertawa lepas setengah berteriak. Ada apa?
Begini ceritanya: selama di Medaeng, dia terbiasa menyimpan HP di balik celana, pas di bawah pusar. Tujuannya apalagi kalau bukan supaya aman dari kemungkinan digeledah petugas. Nah, saat sudah di luar rutan pun kebiasaan itu ternyata masih terbawa juga.
“Masih mendingan di balik resleting celana, bagaimana jadinya kalau saya simpan di pantat?” katanya sambil terus tertawa.
Memang itulah kebiasaan para penghuni Medaeng. Kalau keluar dari kamar, ingin jalan-jalan, maka HP selalu disimpan di balik celana. Ada juga yang disimpan di tempat paling rahasia, yaitu di pantat. Tapi saat ada operasi, dua tempat yang saya sebut tadi tidak aman. Karena petugas akan memeriksanya pula.
Lalu di mana tempat yang aman?
Masing-masing orang dan di setiap kamar punya tempat rahasia. Ada yang bikin bunker di lantai, ada yang bikin lubang rahasia di langit-langit kamar, di lubang WC, atau di saluran air kamar mandi. Botol shampo, asbak rokok, kaki meja, di dalam bantal, di sarung, di sandal atau sepatu dan banyak lagi tempat rahasia.
Sudah aman? Belum tentu. Sebab petugas punya banyak jurus dalam menjalani operasi. Yang paling ditakuti oleh penghuni adalah “serangan fajar”. Dini hari, petugas masuk ke kamar saat penghuni sedang lelap. Banyak HP yang dibiarkan tergeletak tidak sempat disimpan di tempat rahasia.
Jumlah HP yang disita dalam setahun (Oktober 2007-Oktober 2008) ada 896 buah. Jika diuangkan dengan harga rata-rata Rp 200 ribu saja per-HP-nya, maka total uang mencapai Rp 179.200.000.
Lantas, bagaimana nasib ponsel salah tuan itu? Dipakai petugas? Rternyata tidak. Sebanyak 405 ponsel hasil operasi tiga bulan (Januari-Maret 2009) ini sudah dibakar bertepatan dengan upacara Hari Pemasyarakatan 27 April lalu di Lapas Porong. (*)
Sumber : Surabaya Post
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar