"Kosik, Sang Prabu Lagi Main Kartu"
PUKUL 12 siang di sebuah desa di Pati. Seperempat jam sudah gending patalon menggema. Penonton berdatangan. Sebagian besar anak-anak, kecuali para tamu undangan di dalam rumah penanggap yang bisa duduk nyaman, bebas dari sengatan matahari.

Di belakang panggung, pada ruangan lebar yang tersekat oleh gedek, lebih dari tiga puluh pemain laki-laki dan perempuan berbaur di antara tas-tas besar. Sebagian dari mereka sudah menyelesaikan riasan wajah. Merias dan berdandan sendiri.
...
Mereka merias wajah, tanpa tahu persis peran apa yang akan dibawakan. Sebab, sang dalang (sutradara) belum juga datang. Dia masih dalam perjalanan, karena sebagai guru sekolah dasar, harus mengajar lebih dulu. Toh pemain lain juga masih ada yang menikmati tidurnya.

Tak lama kemudian, setelah suwuk dan sirep beberapa saat, gamelan berbunyi kembali. Kelir depan dikerek, panggung terbuka. Delapan perempuan membawakan tari gambyong sebagai pembuka.

Tak sampai tarian usai, sang dalang sudah datang. Seorang wakil penanggap menghampiri. Singkat mereka berembuk soal lakon yang akan disajikan. Tersepakati: Adeging Mesjid Demak (Babad Alas Glagahwangi).


Sang sutradara meraih buku tulis, mendaftar nama pemain dan peran yang akan dibawakan. Asistennya membangunkan para pemain yang masih terlelap. Sesaat berikutnya, lewat pengeras suara, dia menyebutkan lakon, tokoh-tokoh cerita, dan pemerannya, lengkap dengan urutan adegan yang bakal ditampilkan.

Pukul satu siang. Lakon Babad Alas Glagahwangi benar-benar tergelar, hampir empat jam. Di atas penggung, para pemain berakting, tanpa naskah yang perlu dihafal. Di depan panggung, penonton kian banyak, keriuhan pun bertambah. Di belakang panggung, di sela-sela waktu menunggu naik pentas, para pemain membunuh kejenuhan dengan cara masing-masing, sebab hampir semua sudah selesai berdandan, sesuai dengan karakter yang mesti mereka bawakan.

Sebagian kembali melanjutkan tidurnya. Maklumlah, belasan hari sudah tanpa henti, siang-malam, mereka berpentas. "Bangun!" seru salah seorang yang bertugas sebagai juru gagah sambil menepuk kaki seorang pemain. ''Gandrung, ora gelem, terus dioyak (Gandrung, tidak mau, kemudian diburu),'' begitu instruksi ringkas sang dalang kepada ''wayang''-nya. Yang disuruh pun bergegas naik pentas.

Yang lain, masih ngobrol tentang berbagai hal. Dan, demi menahan lelah, kantuk, dan jemu, lima pemain asyik bermain kartu domino. Ada memang uang sebagai taruhan, tapi jumlahnya tak seberapa.

''Main kartu dengan taruhan kecil-kecilan itu biasa untuk cegah lek. Biasa. Tapi kalau sudah urusan perselingkuhan antarwayang, kami tak bisa menolerir lagi. Terpaksa kami mengeluarkan keduanya, biar tak jadi bubrah,'' kata Kabul Sutrisno, Ketua Ketoprak Cahyo Mudho. Beberapa sesepuh dan pemimpin kelompok ketoprak pun mengamini pernyataan Kabul.

''Prabu Brawijaya siap keluar!'' seru sutradara.

''Kosik, Sang Prabu lagi main kertu, gandrunge didawakke sithik (Sebentar, Sang Prabu sedang bermain kartu, adegan gandrungnya diulur-ulur sedikit),'' pinta sang pemeran Prabu Brawijaya menawar, karena satu babak permainan kartu hampir selesai. Tawa pun pecah di antara mereka.

Ya, di dalam pentas ketoprak yang tanpa disertai naskah seperti itu, cerita bergerak hanya berdasarkan gambaran kasar sang sutradara. Apalagi jika lakon itu sudah kerap kali dimainkan, improvisasi pun seakan sudah ''di luar kepala''. Karena itu, suatu adegan bisa dipersingkat atau sebaliknya, diulur-ulur, karena pemain berikutnya belum datang atau belum siap. Dengan begitu, beberapa pemain wos dan dagelan bisa nimbal dari satu panggung ke panggung lain dalam sehari.

Padatnya jadwal pentas juga memaksa mereka untuk pintar-pintar bersiasat, baik soal waktu maupun kesehatan. ''Dengan makan yang teratur, meski tidur relatif kurang, tubuh bisa terjaga. Kalau ada waktu untuk istirahat, untuk tidur, kami gunakan sebaik-baiknya,'' kata Budiyono (60), pemain senior Bangun Budoyo yang selalu kelihatan bugar itu.

Namun Warsito (40), yang selalu menjadi sutradara bagi grupnya, nyaris tak punya waktu untuk ''santai'', apalagi memejamkan mata selama pentas berlangsung. ''Bayangkan, kalau dua puluh hari dua puluh malam harus pentas nonstop dan selalu menjadi sutradara. Padahal, paginya harus ke sekolah. Jadi, maklum saja kalau di depan anak-anak, saya sering theklak-thekluk,'' kata Warsito, guru di sebuah SD negeri di perbatasan Pati-Blora.

Kabul pun, sebagai kepala urusan (kaur) umum di desanya, pagi selalu menyempatkan diri ngantor sebelum berangkat ke tempat pementasan. ''Warga dan perangkat desa lain maklum kalau saya cepat-cepat pulang, apalagi perangkat desa yang main ketoprak tak saya sendiri.''

Memang, meski hasil dari panggung boleh dibilang ''lumayan'', para pekerja ketoprak pada umumnya memiliki pekerjaan lain, baik sebagai pegawai negeri, petani, petambak, maupun pedagang. Khusus para pemimpinnya, terutama yang tergolong ketoprak majikan, adalah para pedagang atau pengusaha.

Pasangan Anom Suparno dan Kristin, majikan Siswo Budoyo, merupakan pengusaha terpandang di Desa Growonglor, Juwana, Pati. Tawi, yang menjadi bos Bangun Budoyo, adalah pengusaha mebel, sedangkan Rinny Riana yang memimpin Langen Marsudi Rini merupakan pedagang penyuplai kuningan. Maklumlah jika grup-grup yang mereka pimpin bisa memiliki fasilitas komplet untuk pementasan, termasuk alat transportasi.

Rezeki Bakul

Tak hanya pada diri pemain, wajah-wajah lelah juga jelas tergambar pada para bakul yang turut mrema, mulai dari penjual sate kambing, mainan anak-anak, kacang goreng, sampai ereng-ereng (lanting).

Meski demikian, pentas-pentas ketoprak "besar" bagi para bakul itu merupakan lahan subur untuk menangguk untung. Ny Sumi (60) penjual sate kambing, misalnya, dengan mengikuti pentas Siswo Budoyo mengaku bisa menjual 1.500 tusuk sate hanya dalam tempo beberapa jam.

Karena itu, bakul-bakul itu pada umumnya memiliki jadwal pentas ketoprak-ketoprak papan atas. Sunar (35), misalnya, menunjukkan lima lembar fotokopi jadwal pentas beberapa ketoprak "besar" itu. Berdasar jadwal itu, baginya tiada hari tanpa menggelar dasaran untuk menjual dolanan anak saat pentas ketoprak.

Sesungguhnya sekarang, tak hanya di atas panggung, kejayaan ketoprak Pati ditegakkan. Beberapa pementasan ketoprak papan atas telah disyut dan terabadikan lewat keping VCD. Belakangan ini, di antara VCD Inul Daratista, dangdut, campursari, tayuban, dan kasidah, di kawasan Pati dan Rembang, VCD ketoprak lokal tergolong laku keras.

Suharto (30), yang memiliki kios penjualan VCD di depan Pasar Ngulakan, Jaken, Pati mengaku selama dua bulan terakhir ini berhasil menjual lebih dari seratus keping VCD ketoprak. "Yang satu lakon penuh terdiri atas 5-6 keping. Tapi ada juga yang khusus untuk adegan dagelan, cukup satu keping," kata laki-laki yang setiap hari nglajo sekitar 30 km dari rumahnya, Trangkil, Pati. Untuk satu lakon penuh, dia menjual dengan harga Rp 25.000 - Rp 30.000, sedangkan jika hanya satu keping Rp 5.000.

Memang, hingga sekitar satu dasawarsa lalu, di samping populer lewat panggung, ketoprak Pati sangat diakrabi oleh warga masyarakat lewat pita kaset. Kala itu, di sana hampir tidak ada yang tak hafal cerita Saridin atau Syeh Jangkung karena hampir setiap hari, baik lewat radio lokal maupun pengeras suara orang punya kerja, lakon itu diputar. Apalagi Tumijantoro (almarhum) sebagai pemerannya kelewat impresif dan fasih untuk membawakan peran "santri-abangan" itu. Boleh jadi karena ketoprak itulah jika petilasan dan makam Syeh Jangkung di Kayen, Pati sejak belasan tahun lalu ramai dikunjungi penziarah lokal.

Lebih dari itu, ketoprak juga telah menjadi sarana bagi anak-anak untuk belajar sejarah, setidaknya menapaki tangga terdekat menuju pelajaran sejarah, lewat cerita babad dan kisah-kisah heroik khas Pati. Ya, lewat ketoprak, anak-anak tak hanya diajak berapresiasi seni, tetapi sekaligus belajar sejarah dan cita-cita komunal. (Sucipto Hadi Purnomo-29c)
Sumber : Suara Merdeka
Diposting oleh petani berdasi

0 komentar:

Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved