Minggu, 10 Mei 2009
di
06.58
|
Siasat "Rame Tur Akeh Lucune"
UNTUK bisa bersaing dengan sinetron, ya harus meniru televisi. Itu yang barangkali sangat disadari oleh para pekerja ketoprak di Pati, sehingga mampu membuat seni pertunjukan itu tetap berjaya sampai sekarang. Ketika sinetron, terutama yang berjenis laga dan horor menjadi tontonan primadona, tak ada pilihan kecuali meniru atau bahkan melampauinya agar ketoprak tak berkesan ''udik'', hambar, dan formal.
Jika sinetron mampu menghadirkan trik-trik laga, ketoprak pun tak mau ketinggalan. Lewat perpaduan antara senam dan seni bela diri, adegan perang tersuguh begitu atraktif. Jauh berbeda dari perang Irak versus Amerika yang penuh dendam dan darah, dalam perang rebutan (keroyokan, mirip ampyak awur-awur dalam pergelaran wayang kulit), kekerasan serasa cair oleh gaya gecul (lucu) para ''jago gebuk''.
Tak ada perang nggegirisi di sini. Justru lewat aksi 6-7 pemain, atraksi ala Jet Lee nan lincah tersuguhkan. Pada kesempatan berikutnya, mereka tak henti-henti melakukan salto ke belakang serta berbagai gerak akrobatik lain bak pesenam.
Para pemain untuk peran itu memang tergolong khas. Untuk memperoleh pemain macam itu, beberapa kelompok ketoprak tak jarang mengambilnya dari daerah lain. Ketoprak Siswo Budoyo, misalnya, mengusung tujuh ''jago gebuk'' itu dari Desa Sulur, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan.
"Tetapi mereka sudah menjadi anggota, sehingga kami perlakukan sama dengan anggota lain," kata A Yudi Siswoyo, manajer ketoprak yang mengaku mengelola grup keseniannya sebagaimana sebuah perusahaan.
Memang pada umumnya, demi "mengamankan" keajekan berpentas, kelompok ''jago gebuk'' itu cenderung memilih bergabung sebagai anggota tetap, bukan sebagai pemain bon-bonan sekalipun honornya lebih sedikit. Namun, sebagian yang lain seperti kelompok dari Desa Tegalarum, Kecamatan Jaken, Pati memilih menjadi pemain jumputan. Untuk pentas siang-malam, kelompok seperti ini biasanya mendapatkan bayaran kurang lebih Rp 350.000 yang dibagi rata 6-7 orang.
Atraksi mereka di atas panggung, yang pada umumnya berukuran 7 x 7 meter, itu juga tak sebatas pada gerak akrobatik. Jika di layar kaca belakangan ini sinetron horor kerap kali hadir meneror, di panggung ketoprak para pemain pun menghadirkan efek horor lewat aneka macam sosok aneh yang bisa diidentifikasi sebagai memedi.
Di panggung ketoprak, Gerandong Misteri Gunung Merapi pun bisa hadir bersama sosok menyeramkan lain, dengan dukungan tata lampu dan sound effect, yang tak jarang bisa membuat bulu kuduk berdiri.
Boleh jadi, itulah yang dalam pandangan Kabul Sutrisno, pemimpin Cahyo Mudho, sebagai perwujudan dari konsepsi ketoprak yang "rame tur akeh lucune". "Biar tidak ditinggalkan penonton, kami memang harus menyuguhkan pentas yang akeh perange, akeh gandrunge, tur akeh guyonane. Kalau perlu, pada awal cerita kita keluarkan pemain-pemain yang ganteng dan cantik, biar penonton bertahan sampai lakon selesai," jelas seniman tiga zaman yang lekat dengan peran antagonis itu.
Demi memenuhi konsep itulah, tak mengherankan jika perang, gandrung, dan lawak mendapat porsi lebih dari adegan lain. Sebaliknya, adegan patur-paturan atau pasewakan (audiensi) yang dalam pergelaran wayang kerap disajikan bertele-tele pada awal cerita, nyaris tak terjumpai dalam pentas itu. Ketika mementaskan Menakjingga sang Pahlawan atau Kebo Marcuet Lena di Desa Trikoyo, Jaken, Pati, beberapa waktu lalu, bukan audiensi di Istana Majapahit yang dihadirkan oleh grup Bangun Budoyo sebagai pembuka, melainkan semadi Jaka Umbaran yang penuh godaan para lelembut.
"Ketoprak (gaya) Pati memang beda dari ketoprak (gaya) Semarang, apalagi Jogja. Ketoprak kita untuk ditonton, bukan untuk didengarkan. Karena itu, harus thas-thes, tidak usah bertele-tele seperti di dalam kaset," papar Kabul Sutrisno.
Meski demikian, tak perlu heran jika para penonton bisa serta merta berdiri dan bertepuk tangan penuh semangat ketika di atas panggung Sunan Kalijaga berdebat sengit dengan Sunan Kudus. Maklum saja, dari mulut para pemain wos macam itu, bukan hanya kalimat-kalimat stereotipe khas ketoprak yang keluar, tetapi juga adu kepintaran untuk berdalil yang bersumber dari hadis dan Alquran.
Memang, ketoprak telah menjelma sebagai salah satu sarana bagi masyarakat Pati dan sekitarnya untuk mengekspresikan dunianya. Penonton dan panggung ketoprak, pemain dan peran yang dibawakan, serasa lebur dan bersenyawa ke dalam fantasi penonton. Karena itulah, lakon-lakon yang digelar lebih sering bersumber dari cerita yang secara psikografik lebih dekat dengan mereka, semacam Maling Kapa-Maling Gentiri, Dhalang Sapanyana, Demang Yuyurumpung, Saridin, dan kisah heroik lain dari bumi Pati.
Kecuali dalam "adegan resmi", secara keseluruhan dialog antartokoh lebih kental dalam dialek Pati daripada dengan bahasa Jawa "baku". ''Bahasa ketoprak sini tak perlu mriyayeni, nanti malah jauh dari rasa pesisiran,'' kata Rini Riana, pemimpin Langen Marsudi Rini.
Andalkan Dagelan
Adapun untuk menghadirkan tontonan yang akeh lucune, peran dagelan terlihat sangat mewarnai sepanjang permainan. Malahan pemeran "serius" pun bisa muncul secara glenyengan, meski tak harus "separah" Ketoprak Humor di layar RCTI.
Karena itu, tak perlu heran jika para pelawak ketoprak sering lebih populer daripada pemain wos lain, malah tak kalah tenar dari nama grupnya. Penjol dan Kunthing, sebagai pelawak, selama puluhan tahun telah menjadi ikon Ketoprak Bakaran (Cahyo Mudho), di samping nama legendaris Kabul Sutrisno dan Karsono. Ronggo Budoyo pun merasa perlu memasang besar gambar sang pelawak yang juga pemimpin ketroprak itu, Markonyek, pada layar yang selalu tampak ketika panggung ditutup. Siswo Budoyo juga mengunggulkan Thukul, Uthik, dan Joko Konyil serta emban Tembel dan Denok untuk menangguk tawa penontonnya.
Demikian pula bagi Langen Marsudi Rini, kehadiran Singkek dan Kancil yang belakangan ini sering bermain dalam Ketoprak Humor RCTI, adalah sebuah magnet. Begitu penting kehadiran seorang pelawak, sampai-sampai ketika pentas siang Langen Marsudi Rini di Desa Nggrawan, Sumber, Rembang, Singkek merasa perlu untuk meminta maaf dan memberi tahu kepada penonton bahwa Kancil belum datang.
"Tetapi nanti malam dia pasti ada. Tadi baru saja telepon, katanya sudah sampai Kudus, setelah naik pesawat dari Medan," kata Singkek dalam dialek Pati-Rembang yang begitu kental.
Pentingnya para dagelan dalam pementasan tentu saja berbanding lurus dengan tetesan rezeki ke pundi-pundi mereka. Boleh jadi di semua grup ketoprak, bersama para pemain wos yang tak seberapa jumlahnya itu, para pelawak adalah pemain yang berada pada perolehan honor kelas I, tertinggi di antara personel lain. "Keistimewaan" lain, cenderung ada toleransi yang lebih longgar buat para pendagel untuk menjadi pemain jumputan, sekalipun ia telah menjadi anggota sebuah kelompok.
Karena itu, tak jarang seorang dagelan ketoprak dalam sehari semalam bisa manggung di empat tempat yang berbeda. Padahal, adegan lawak biasanya menyita waktu hampir satu jam durasi pementasan.
Selain dagelan, adegan gandrung (percintaan) pun menjadi warna tersendiri. Umumnya pemerannya adalah pemain laki-laki yang gagah dan pemeran perempuan yang cantik. Namun, tanpa kemampuan nembang dan kekuatan berimprovisasi, jangan berharap bisa terlibat dalam adegan ini. Dibandingkan dengan pemain laki-laki, mencari pemain wos perempuan yang kuat untuk adegan ini, relatif lebih sulit. Karena itu, tarif untuk pemain kategori ini terbilang tinggi, apalagi bagi pemain bon-bonan (sewaan). Sebagai pemain bon-bonan, Rinny Riana bisa dibayar Rp 1,5 juta sekali pentas.
"Tetapi kalau menuruti bon-bonan, rasanya tidak enak pada anggota sendiri. Bisa sih mencari uang gede, tapi kalau keterusan bisa membunuh kelompok sendiri,'' ungkap Rini yang tinggal di Growongkidul, Juwana, Pati ini.
Di luar itu, panggung, kelir, gamelan, dan tata suara tetap saja menjadi hal-hal yang tak boleh disepelekan. Tak hanya kelir yang harus selalu diperbarui, tetapi juga mesti ada dukungan dekorasi lain yang bisa menjadikan setting terasa lebih hidup. Demikian pula gamelan dan tata suara, selalu mengalami inovasi, jika tak ingin ketinggalan dari kelompok lain. (Sucipto Hadi Purnomo-60k)
Sumber : Suara Merdeka
UNTUK bisa bersaing dengan sinetron, ya harus meniru televisi. Itu yang barangkali sangat disadari oleh para pekerja ketoprak di Pati, sehingga mampu membuat seni pertunjukan itu tetap berjaya sampai sekarang. Ketika sinetron, terutama yang berjenis laga dan horor menjadi tontonan primadona, tak ada pilihan kecuali meniru atau bahkan melampauinya agar ketoprak tak berkesan ''udik'', hambar, dan formal.
Jika sinetron mampu menghadirkan trik-trik laga, ketoprak pun tak mau ketinggalan. Lewat perpaduan antara senam dan seni bela diri, adegan perang tersuguh begitu atraktif. Jauh berbeda dari perang Irak versus Amerika yang penuh dendam dan darah, dalam perang rebutan (keroyokan, mirip ampyak awur-awur dalam pergelaran wayang kulit), kekerasan serasa cair oleh gaya gecul (lucu) para ''jago gebuk''.
Tak ada perang nggegirisi di sini. Justru lewat aksi 6-7 pemain, atraksi ala Jet Lee nan lincah tersuguhkan. Pada kesempatan berikutnya, mereka tak henti-henti melakukan salto ke belakang serta berbagai gerak akrobatik lain bak pesenam.
Para pemain untuk peran itu memang tergolong khas. Untuk memperoleh pemain macam itu, beberapa kelompok ketoprak tak jarang mengambilnya dari daerah lain. Ketoprak Siswo Budoyo, misalnya, mengusung tujuh ''jago gebuk'' itu dari Desa Sulur, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan.
"Tetapi mereka sudah menjadi anggota, sehingga kami perlakukan sama dengan anggota lain," kata A Yudi Siswoyo, manajer ketoprak yang mengaku mengelola grup keseniannya sebagaimana sebuah perusahaan.
Memang pada umumnya, demi "mengamankan" keajekan berpentas, kelompok ''jago gebuk'' itu cenderung memilih bergabung sebagai anggota tetap, bukan sebagai pemain bon-bonan sekalipun honornya lebih sedikit. Namun, sebagian yang lain seperti kelompok dari Desa Tegalarum, Kecamatan Jaken, Pati memilih menjadi pemain jumputan. Untuk pentas siang-malam, kelompok seperti ini biasanya mendapatkan bayaran kurang lebih Rp 350.000 yang dibagi rata 6-7 orang.
Atraksi mereka di atas panggung, yang pada umumnya berukuran 7 x 7 meter, itu juga tak sebatas pada gerak akrobatik. Jika di layar kaca belakangan ini sinetron horor kerap kali hadir meneror, di panggung ketoprak para pemain pun menghadirkan efek horor lewat aneka macam sosok aneh yang bisa diidentifikasi sebagai memedi.
Di panggung ketoprak, Gerandong Misteri Gunung Merapi pun bisa hadir bersama sosok menyeramkan lain, dengan dukungan tata lampu dan sound effect, yang tak jarang bisa membuat bulu kuduk berdiri.
Boleh jadi, itulah yang dalam pandangan Kabul Sutrisno, pemimpin Cahyo Mudho, sebagai perwujudan dari konsepsi ketoprak yang "rame tur akeh lucune". "Biar tidak ditinggalkan penonton, kami memang harus menyuguhkan pentas yang akeh perange, akeh gandrunge, tur akeh guyonane. Kalau perlu, pada awal cerita kita keluarkan pemain-pemain yang ganteng dan cantik, biar penonton bertahan sampai lakon selesai," jelas seniman tiga zaman yang lekat dengan peran antagonis itu.
Demi memenuhi konsep itulah, tak mengherankan jika perang, gandrung, dan lawak mendapat porsi lebih dari adegan lain. Sebaliknya, adegan patur-paturan atau pasewakan (audiensi) yang dalam pergelaran wayang kerap disajikan bertele-tele pada awal cerita, nyaris tak terjumpai dalam pentas itu. Ketika mementaskan Menakjingga sang Pahlawan atau Kebo Marcuet Lena di Desa Trikoyo, Jaken, Pati, beberapa waktu lalu, bukan audiensi di Istana Majapahit yang dihadirkan oleh grup Bangun Budoyo sebagai pembuka, melainkan semadi Jaka Umbaran yang penuh godaan para lelembut.
"Ketoprak (gaya) Pati memang beda dari ketoprak (gaya) Semarang, apalagi Jogja. Ketoprak kita untuk ditonton, bukan untuk didengarkan. Karena itu, harus thas-thes, tidak usah bertele-tele seperti di dalam kaset," papar Kabul Sutrisno.
Meski demikian, tak perlu heran jika para penonton bisa serta merta berdiri dan bertepuk tangan penuh semangat ketika di atas panggung Sunan Kalijaga berdebat sengit dengan Sunan Kudus. Maklum saja, dari mulut para pemain wos macam itu, bukan hanya kalimat-kalimat stereotipe khas ketoprak yang keluar, tetapi juga adu kepintaran untuk berdalil yang bersumber dari hadis dan Alquran.
Memang, ketoprak telah menjelma sebagai salah satu sarana bagi masyarakat Pati dan sekitarnya untuk mengekspresikan dunianya. Penonton dan panggung ketoprak, pemain dan peran yang dibawakan, serasa lebur dan bersenyawa ke dalam fantasi penonton. Karena itulah, lakon-lakon yang digelar lebih sering bersumber dari cerita yang secara psikografik lebih dekat dengan mereka, semacam Maling Kapa-Maling Gentiri, Dhalang Sapanyana, Demang Yuyurumpung, Saridin, dan kisah heroik lain dari bumi Pati.
Kecuali dalam "adegan resmi", secara keseluruhan dialog antartokoh lebih kental dalam dialek Pati daripada dengan bahasa Jawa "baku". ''Bahasa ketoprak sini tak perlu mriyayeni, nanti malah jauh dari rasa pesisiran,'' kata Rini Riana, pemimpin Langen Marsudi Rini.
Andalkan Dagelan
Adapun untuk menghadirkan tontonan yang akeh lucune, peran dagelan terlihat sangat mewarnai sepanjang permainan. Malahan pemeran "serius" pun bisa muncul secara glenyengan, meski tak harus "separah" Ketoprak Humor di layar RCTI.
Karena itu, tak perlu heran jika para pelawak ketoprak sering lebih populer daripada pemain wos lain, malah tak kalah tenar dari nama grupnya. Penjol dan Kunthing, sebagai pelawak, selama puluhan tahun telah menjadi ikon Ketoprak Bakaran (Cahyo Mudho), di samping nama legendaris Kabul Sutrisno dan Karsono. Ronggo Budoyo pun merasa perlu memasang besar gambar sang pelawak yang juga pemimpin ketroprak itu, Markonyek, pada layar yang selalu tampak ketika panggung ditutup. Siswo Budoyo juga mengunggulkan Thukul, Uthik, dan Joko Konyil serta emban Tembel dan Denok untuk menangguk tawa penontonnya.
Demikian pula bagi Langen Marsudi Rini, kehadiran Singkek dan Kancil yang belakangan ini sering bermain dalam Ketoprak Humor RCTI, adalah sebuah magnet. Begitu penting kehadiran seorang pelawak, sampai-sampai ketika pentas siang Langen Marsudi Rini di Desa Nggrawan, Sumber, Rembang, Singkek merasa perlu untuk meminta maaf dan memberi tahu kepada penonton bahwa Kancil belum datang.
"Tetapi nanti malam dia pasti ada. Tadi baru saja telepon, katanya sudah sampai Kudus, setelah naik pesawat dari Medan," kata Singkek dalam dialek Pati-Rembang yang begitu kental.
Pentingnya para dagelan dalam pementasan tentu saja berbanding lurus dengan tetesan rezeki ke pundi-pundi mereka. Boleh jadi di semua grup ketoprak, bersama para pemain wos yang tak seberapa jumlahnya itu, para pelawak adalah pemain yang berada pada perolehan honor kelas I, tertinggi di antara personel lain. "Keistimewaan" lain, cenderung ada toleransi yang lebih longgar buat para pendagel untuk menjadi pemain jumputan, sekalipun ia telah menjadi anggota sebuah kelompok.
Karena itu, tak jarang seorang dagelan ketoprak dalam sehari semalam bisa manggung di empat tempat yang berbeda. Padahal, adegan lawak biasanya menyita waktu hampir satu jam durasi pementasan.
Selain dagelan, adegan gandrung (percintaan) pun menjadi warna tersendiri. Umumnya pemerannya adalah pemain laki-laki yang gagah dan pemeran perempuan yang cantik. Namun, tanpa kemampuan nembang dan kekuatan berimprovisasi, jangan berharap bisa terlibat dalam adegan ini. Dibandingkan dengan pemain laki-laki, mencari pemain wos perempuan yang kuat untuk adegan ini, relatif lebih sulit. Karena itu, tarif untuk pemain kategori ini terbilang tinggi, apalagi bagi pemain bon-bonan (sewaan). Sebagai pemain bon-bonan, Rinny Riana bisa dibayar Rp 1,5 juta sekali pentas.
"Tetapi kalau menuruti bon-bonan, rasanya tidak enak pada anggota sendiri. Bisa sih mencari uang gede, tapi kalau keterusan bisa membunuh kelompok sendiri,'' ungkap Rini yang tinggal di Growongkidul, Juwana, Pati ini.
Di luar itu, panggung, kelir, gamelan, dan tata suara tetap saja menjadi hal-hal yang tak boleh disepelekan. Tak hanya kelir yang harus selalu diperbarui, tetapi juga mesti ada dukungan dekorasi lain yang bisa menjadikan setting terasa lebih hidup. Demikian pula gamelan dan tata suara, selalu mengalami inovasi, jika tak ingin ketinggalan dari kelompok lain. (Sucipto Hadi Purnomo-60k)
Sumber : Suara Merdeka
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar