Selasa, 12 Mei 2009
di
18.17
|
“Sudah lengkap? Satu, dua, tiga,… sembilan, sepuluh.” Saya tidak perlu melihat ke arah pintu untuk mengetahui bahwa itu suara Sinyo. Dia tamping (tahanan pendamping) Blok F yang setiap hari, tepat pukul 18.30, menutup pintu semua kamar di dalam blok. Tugas yang harus dilakukan tepat waktu, tidak boleh kurang atau lebih.
Lengan Sinyo yang penuh tato dengan cekatan menarik daun pintu besi, disusul suara gemerincing kunci dan gesekan gembok yang dikaitkan dengan engsel besi. Saya menghela nafas panjang dan duduk di tepi busa alas tidur. Kembali, perasaan teriris itu menyanyat hati saya.
Saya yakin, perasaan setiap penghuni penjara pasti sama. Termasuk sekitar 1.800 penghuni Rutan Medaeng ini. Tiap malam datang, selalu ada perih yang menyelinap. Ingat keluarga, orangtua, istri, anak, dan orang-orang yang dicintai.
Bagi saya, 788 kali sudah perih itu menelusup. Artinya, lebih dari dua tahun sudah saya menjadi penghuni Medaeng. Masuk kerangkeng pukul 18.30, baru dibuka lagi keesokan harinya pukul 06.30.
Saya yang menjadi penghuni lama, hafal betul tingkah para penghuni yang julukan resminya adalah warga binaan pemasyarakatan alias WBP. Ada yang langsung merebahkan badan, ada yang duduk ngobrol dengan teman, sementara bagi yang punya HP langsung online, menelepon entah siapa. Bagi WBP baru, biasanya lebih suka merenung sedih.
Walau harus menjalani hidup susah, ada saja yang menghibur diri dengan mengatakan bahwa “hidup di dalam penjara itu enak”. Paling tidak, makan dan minum dijatah, tidur juga dijaga. Orang yang ingin bertemu juga harus minta izin dan ada jam khusus untuk bisa bertemu. Mirip para pejabat sangat tinggi.
Di antara 9 orang teman sekamar, ada 3 orang yang sudah berulang kali masuk Medaeng. Selebihnya baru sekali, termasuk saya. Ketiga teman saya tadi, yang berulang kali masuk ke Medaeng, terjerat kasus yang sama: narkoba. Dulu, mereka juga mantan penghuni kamar yang sekarang saya huni (kamar F-30).
Keluar masuk penjara bagi mereka sudah biasa. Ketika keluar dulu, mereka bilang jera, kapok, ogah bersentuhan dengan narkoba. Tapi nyatanya? Masuk lagi.
Selain orang-orang yang “ulang alik“ ke Medaeng, ada lagi cerita menarik. Judulnya “Toni“.
Karena di Medaeng banyak yang bernama Toni, maka di belakang namanya ditambah dengan “Pabrik.” Ya, Toni Pabrik. Inilah nama yang kemudian menjadi beken di kumunitas narkoba Surabaya. Dia dipidana kali keempat pada Maret 2007 lalu, dijerat pasal percobaan produksi alias pabrik. Dia ditangkap bersama teman wanitanya. Tapi karena faktor X, Toni dan wanita cantik kekasihnya itu hanya divonis masing-masing 10 bulan.
Ketika bebas, saya bilang padanya, “Ton, kasur dan bantalmu akan saya simpan. Tidak akan saya berikan pada orang lain karena kamu pasti akan kembali lagi dan kamar F-30 terbuka buat kamu.”
Tidak sampai dua bulan menghirup udara bebas, Toni kepek (tertangkap) lagi. Maka pada bulan Mei tahun lalu kembali lagi. “Gara-gara sampean sih, dulu bilang saya pasti kembali, ya beginilah jadinya,” kata Toni.
Untuk kali kelima, Toni hanya divonis kurang dari setahun dengan barang bukti 2 gram sabu-sabu. Dia kemudian bebas Desember tahun 2008 lalu. Ketika pamit, saya bilang, “Ton, selamat ya? Jangan ketemu saya di dalam, kelak kita ketemu di alam bebas saja.” Toni memeluk saya dan melangkah pergi.
Dua bulan berlalu tanpa kabar tentang Toni. Apakah dia masih menjalankan bisnis narkoba atau benar-benar berhenti seperti janjinya pada saya? Suatu saat ia pernah bilang akan kembali ke profesi lamanya di bidang periklanan. Kliennya tergolong kakap, termasuk bank.
Masuk bulan keempat (akhir Januari 2009) beredar kabar Toni masuk daftar pencarian orang (DPO) Polresta Surabaya Timur. Dia berhasil meloloskan diri ketika disergap saat akan bertransaksi dengan Keong yang juga mantan penghuni Medaeng. Keong sendiri baru bebas dua minggu melalui program cuti bersyarat (CB).
Ton, kalau kamu membaca tulisan ini, jangan salah persepsi. Bukannya saya bermaksud membeberkan aib seorang teman. Saya juga bukannya mau sok suci dengan berkata “narkoba itu jahat, berhenti adalah jalan terbaik”.
Kita, para terpidana adalah cerminan dari adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan dengan masyarakat. Tiga aspek tersebut menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum. Aspek hidup, yaitu hubungan antara kita (manusia) dengan pencipta-Nya, aspek kehidupan hubungan antar manusia, sementara aspek penghidupan hubungan manusia dengan alam yang dimanifestasikan sebagai hubungan manusia dengan pekerjaan.
Karena itu, saya yang kini masih menjalani proses re-integrasi hidup, kehidupan dan penghidupan, ingin mengutip ungkapan manis dari buku “Negara Tanpa Penjara” (Adi Sujitno, halaman 16) bahwa “Sesungguhnya kita bukanlah penjahat, hanya tersesat, belum terlambat untuk bertobat” (bersambung)
Sumber : Suarabaya Post
Lengan Sinyo yang penuh tato dengan cekatan menarik daun pintu besi, disusul suara gemerincing kunci dan gesekan gembok yang dikaitkan dengan engsel besi. Saya menghela nafas panjang dan duduk di tepi busa alas tidur. Kembali, perasaan teriris itu menyanyat hati saya.
Saya yakin, perasaan setiap penghuni penjara pasti sama. Termasuk sekitar 1.800 penghuni Rutan Medaeng ini. Tiap malam datang, selalu ada perih yang menyelinap. Ingat keluarga, orangtua, istri, anak, dan orang-orang yang dicintai.
Bagi saya, 788 kali sudah perih itu menelusup. Artinya, lebih dari dua tahun sudah saya menjadi penghuni Medaeng. Masuk kerangkeng pukul 18.30, baru dibuka lagi keesokan harinya pukul 06.30.
Saya yang menjadi penghuni lama, hafal betul tingkah para penghuni yang julukan resminya adalah warga binaan pemasyarakatan alias WBP. Ada yang langsung merebahkan badan, ada yang duduk ngobrol dengan teman, sementara bagi yang punya HP langsung online, menelepon entah siapa. Bagi WBP baru, biasanya lebih suka merenung sedih.
Walau harus menjalani hidup susah, ada saja yang menghibur diri dengan mengatakan bahwa “hidup di dalam penjara itu enak”. Paling tidak, makan dan minum dijatah, tidur juga dijaga. Orang yang ingin bertemu juga harus minta izin dan ada jam khusus untuk bisa bertemu. Mirip para pejabat sangat tinggi.
Di antara 9 orang teman sekamar, ada 3 orang yang sudah berulang kali masuk Medaeng. Selebihnya baru sekali, termasuk saya. Ketiga teman saya tadi, yang berulang kali masuk ke Medaeng, terjerat kasus yang sama: narkoba. Dulu, mereka juga mantan penghuni kamar yang sekarang saya huni (kamar F-30).
Keluar masuk penjara bagi mereka sudah biasa. Ketika keluar dulu, mereka bilang jera, kapok, ogah bersentuhan dengan narkoba. Tapi nyatanya? Masuk lagi.
Selain orang-orang yang “ulang alik“ ke Medaeng, ada lagi cerita menarik. Judulnya “Toni“.
Karena di Medaeng banyak yang bernama Toni, maka di belakang namanya ditambah dengan “Pabrik.” Ya, Toni Pabrik. Inilah nama yang kemudian menjadi beken di kumunitas narkoba Surabaya. Dia dipidana kali keempat pada Maret 2007 lalu, dijerat pasal percobaan produksi alias pabrik. Dia ditangkap bersama teman wanitanya. Tapi karena faktor X, Toni dan wanita cantik kekasihnya itu hanya divonis masing-masing 10 bulan.
Ketika bebas, saya bilang padanya, “Ton, kasur dan bantalmu akan saya simpan. Tidak akan saya berikan pada orang lain karena kamu pasti akan kembali lagi dan kamar F-30 terbuka buat kamu.”
Tidak sampai dua bulan menghirup udara bebas, Toni kepek (tertangkap) lagi. Maka pada bulan Mei tahun lalu kembali lagi. “Gara-gara sampean sih, dulu bilang saya pasti kembali, ya beginilah jadinya,” kata Toni.
Untuk kali kelima, Toni hanya divonis kurang dari setahun dengan barang bukti 2 gram sabu-sabu. Dia kemudian bebas Desember tahun 2008 lalu. Ketika pamit, saya bilang, “Ton, selamat ya? Jangan ketemu saya di dalam, kelak kita ketemu di alam bebas saja.” Toni memeluk saya dan melangkah pergi.
Dua bulan berlalu tanpa kabar tentang Toni. Apakah dia masih menjalankan bisnis narkoba atau benar-benar berhenti seperti janjinya pada saya? Suatu saat ia pernah bilang akan kembali ke profesi lamanya di bidang periklanan. Kliennya tergolong kakap, termasuk bank.
Masuk bulan keempat (akhir Januari 2009) beredar kabar Toni masuk daftar pencarian orang (DPO) Polresta Surabaya Timur. Dia berhasil meloloskan diri ketika disergap saat akan bertransaksi dengan Keong yang juga mantan penghuni Medaeng. Keong sendiri baru bebas dua minggu melalui program cuti bersyarat (CB).
Ton, kalau kamu membaca tulisan ini, jangan salah persepsi. Bukannya saya bermaksud membeberkan aib seorang teman. Saya juga bukannya mau sok suci dengan berkata “narkoba itu jahat, berhenti adalah jalan terbaik”.
Kita, para terpidana adalah cerminan dari adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan dengan masyarakat. Tiga aspek tersebut menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum. Aspek hidup, yaitu hubungan antara kita (manusia) dengan pencipta-Nya, aspek kehidupan hubungan antar manusia, sementara aspek penghidupan hubungan manusia dengan alam yang dimanifestasikan sebagai hubungan manusia dengan pekerjaan.
Karena itu, saya yang kini masih menjalani proses re-integrasi hidup, kehidupan dan penghidupan, ingin mengutip ungkapan manis dari buku “Negara Tanpa Penjara” (Adi Sujitno, halaman 16) bahwa “Sesungguhnya kita bukanlah penjahat, hanya tersesat, belum terlambat untuk bertobat” (bersambung)
Sumber : Suarabaya Post
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar