Rabu, 13 Mei 2009
di
18.33
|
Semua orang pasti tahu binatang yang bernama kucing. Banyak orang yang suka memeliharanya karena ia lincah dan lucu. Saya jadi ingat pada seorang teman wanita yang dulu pernah satu kantor dengan saya. Dia gemar sekali memelihara kucing. Tak kurang 9 ekor kucing tinggal bersamanya di rumahnya. Ya, yang ini bukan kumpuil kebo, tapi kumpul kucing.
Jika salah satu kucingnya sakit, teman saya ini mengudar kesedihan dan kecemasannya seolah yang sakit itu adalah saudara kandungnya. Bila salah satu kucingnya –yang memiliki nama-nama cantik itu—hilang, dia juga berbagi cerita dengan saya.
“Tahu nggak, wanita yang tidak memberi makan pada kucing, suka memukul atau menendang kucing, dia tidak akan bisa masuk surga,” ungkapnya suatu hari. Entah dari mana dia mengutip kalimat itu. Dan, saya juga yakin bukan karena iming-iming surga sehingga dia begitu menyayangi kucing.
Kucing-kucing yang hidup di lingkungan kantor pun mendapat jatah kasih sayang dari dia. Setiap hari, ketika mobilnya memasuki pintu gerbang kantor, beberapa ekor kucing langsung berlari mengejar. Teman saya itu pun memperlambat mobilnya. Begitu berhenti, kucing-kucing tadi naik ke atas kap mobil. Ketika wanita berusia kepala empat itu turun dari mobil, kucing-kucing itu berlari mendekati. Seolah sudah menjadi ritual, steman saya itu segera membuka bungkusan dan diletakkannya di lantai. Ya, itulah jatah makan pagi untuk kucing-kucing di kantor kami.
Tapi, bercerita tentang kucing di rutan Medaeng, tentu lain lagi. Di sana, populasinya cukup banyak. Kucing-kucing itu terdiri dari 12 kelompok. Ada kelompok kucing pasar yang berkeliaran di “pasar” tempat orang berjualan nasi bungkus. Kemudian ada 11 kelompok lagi yang hidup di dalam blok. Asal tahu saja, di Rutan Medaeng ada 11 blok hunian.
Dari sekian banyak kucing di Blok F, satu di antaranya tergolong sangat istimewa. Keistimewaan kucing jantan yang diberi nama “Gendut” itu, bukan karena memiliki bulu indah dan berbadan gemuk. Tapi, karena perannya yang sangat istimewa bagi beberapa bandar dan pecandu narkoba di Blok F. Si Gendut inilah kurir narkoba yang setia memasok barang haram itu pada para pecandunya.
Tolong, jangan anggap ini mustahil.
Sungguh, Gendut bisa mengantar narkoba dari satu kamar ke kamar lain. Tugas itu dijalaninya pada malam hari ketika semua penghuni sudah terkunci dalam kamar. Saat itu, hanya Gendut yang bisa mengantar narkoba dari kamar si bandar ke kamar pasien (pecandu). Namanya juga kucing, masa dikerangkeng pula?
Tidak ada petugas Rutan Medaeng yang curiga. Saya pun baru tahu ketika sudah dua bulan menjadi penghuni. Saya sering melihat si Gendut dilepas lewat sela jeruji lalu berlari menuju kamar yang memesan narkoba. Dengan hanya memanggil satu dua kali: “Gendut…Gendut,” kucing itu segera mendekat. Barang pesanan yang dikalungkan di leher Gendut pun sampai kepada pemesan. Sederhana sekali tetapi sangat cerdas untuk mengelabui petugas.
Selain Gendut, ada seekor kucing lagi yang juga istimewa di Blok F. Dia ini piaraan seorang Bandar, sebut saja Rudi atau Rudi Jepang. Predikat Jepang di belakang namanya itu didapat lantaran raut wajahnya mirip dengan pria Jepang. Dia sudah divonis oleh Pengadilan Negeri Surabaya dengan pidana 10 tahun penjara atas kepemilikan 100 butir pil ekstasi.
Saya tidak bisa menyebut dia ini penyayang kucing walau dia suka membawa anak kucing ke mana pun dia pergi (tentu saja di seputar penjara). Anak kucing itu dia beri pakaian yang dibuat dari kaos kaki. Bukannya merasa modis, si anak kucing itu terlihat sangat tersiksa.
“Bagaimana bisa sehat kalau kucingnya tidak suka makan? Minum susu pun tidak,” kata teman sekamar Rudi. Ternyata, si kucing itu kalau malam dimasukkan ke dalam toples plastik. Kemudian diberi lubang-lubang kecil. Nah, lewat lubang itu, Rudi memasukkan asap sabu-sabu.
“Kalau saya lagi narik (memakai SS) asapnya disebulkan ke dalam toples. Anak kucing itu ikut nyabu,” ujarnya. Anak kucing tadi hanya bertahan tiga minggu bersama Rudi. Dia meninggal lantaran terkontaminasi asap SS tadi.
Entah kebetulan atau tidak, sehari setelah anak kucing itu meninggal, Rudi mendapat masalah. Dia ditangkap petugas Rutan Medaeng dengan barang bukti dua gram sabu-sabu. Kasusnya diproses di Polsek Waru Sidoarjo.
Selang dua minggu setelah anak kucingnya mati, Rudi kembali memungut anak kucing yang lain. Juga diperlakukan sama. Di pakaikan baju dari kaos kaki dan dimasukkan ke dalam toples plastik sekaligus ditiupi asap sabu. Apa yang terjadi? Nasib si anak kucing kedua itu sama saja. Mati hanya dalam dua minggu setelah “diadopsi” Rudi.
Lalu, selang dua hari, Rudi Jepang kembali kepek dengan barang bukti sabu-sabu lima poket siap edar. Dia diproses lagi di Polsek Waru Sidoarjo. Kini Rudi sudah dilayar (dipindah) ke LP Sidoarjo untuk menunggu proses sidang di Pengadilan Negeri Sidoarjo.
Kebiasaan aneh memungut anak kucing menyisakan satu pertanyaan, “untuk apa sih?”
Pertanyaan ini akhirnya terjawab setelah Rudi dilayar ke LP Sidoarjo. Ternyata, baju si anak kucing yang terbuat dari kaos kaki itu menjadi tempat rahasia untuk menyimpan SS. Yang belum terjawab adalah, mengapa kucingnya harus ikut nyabu juga? (bersambung)
Sumber : Surabaya Post
Jika salah satu kucingnya sakit, teman saya ini mengudar kesedihan dan kecemasannya seolah yang sakit itu adalah saudara kandungnya. Bila salah satu kucingnya –yang memiliki nama-nama cantik itu—hilang, dia juga berbagi cerita dengan saya.
“Tahu nggak, wanita yang tidak memberi makan pada kucing, suka memukul atau menendang kucing, dia tidak akan bisa masuk surga,” ungkapnya suatu hari. Entah dari mana dia mengutip kalimat itu. Dan, saya juga yakin bukan karena iming-iming surga sehingga dia begitu menyayangi kucing.
Kucing-kucing yang hidup di lingkungan kantor pun mendapat jatah kasih sayang dari dia. Setiap hari, ketika mobilnya memasuki pintu gerbang kantor, beberapa ekor kucing langsung berlari mengejar. Teman saya itu pun memperlambat mobilnya. Begitu berhenti, kucing-kucing tadi naik ke atas kap mobil. Ketika wanita berusia kepala empat itu turun dari mobil, kucing-kucing itu berlari mendekati. Seolah sudah menjadi ritual, steman saya itu segera membuka bungkusan dan diletakkannya di lantai. Ya, itulah jatah makan pagi untuk kucing-kucing di kantor kami.
Tapi, bercerita tentang kucing di rutan Medaeng, tentu lain lagi. Di sana, populasinya cukup banyak. Kucing-kucing itu terdiri dari 12 kelompok. Ada kelompok kucing pasar yang berkeliaran di “pasar” tempat orang berjualan nasi bungkus. Kemudian ada 11 kelompok lagi yang hidup di dalam blok. Asal tahu saja, di Rutan Medaeng ada 11 blok hunian.
Dari sekian banyak kucing di Blok F, satu di antaranya tergolong sangat istimewa. Keistimewaan kucing jantan yang diberi nama “Gendut” itu, bukan karena memiliki bulu indah dan berbadan gemuk. Tapi, karena perannya yang sangat istimewa bagi beberapa bandar dan pecandu narkoba di Blok F. Si Gendut inilah kurir narkoba yang setia memasok barang haram itu pada para pecandunya.
Tolong, jangan anggap ini mustahil.
Sungguh, Gendut bisa mengantar narkoba dari satu kamar ke kamar lain. Tugas itu dijalaninya pada malam hari ketika semua penghuni sudah terkunci dalam kamar. Saat itu, hanya Gendut yang bisa mengantar narkoba dari kamar si bandar ke kamar pasien (pecandu). Namanya juga kucing, masa dikerangkeng pula?
Tidak ada petugas Rutan Medaeng yang curiga. Saya pun baru tahu ketika sudah dua bulan menjadi penghuni. Saya sering melihat si Gendut dilepas lewat sela jeruji lalu berlari menuju kamar yang memesan narkoba. Dengan hanya memanggil satu dua kali: “Gendut…Gendut,” kucing itu segera mendekat. Barang pesanan yang dikalungkan di leher Gendut pun sampai kepada pemesan. Sederhana sekali tetapi sangat cerdas untuk mengelabui petugas.
Selain Gendut, ada seekor kucing lagi yang juga istimewa di Blok F. Dia ini piaraan seorang Bandar, sebut saja Rudi atau Rudi Jepang. Predikat Jepang di belakang namanya itu didapat lantaran raut wajahnya mirip dengan pria Jepang. Dia sudah divonis oleh Pengadilan Negeri Surabaya dengan pidana 10 tahun penjara atas kepemilikan 100 butir pil ekstasi.
Saya tidak bisa menyebut dia ini penyayang kucing walau dia suka membawa anak kucing ke mana pun dia pergi (tentu saja di seputar penjara). Anak kucing itu dia beri pakaian yang dibuat dari kaos kaki. Bukannya merasa modis, si anak kucing itu terlihat sangat tersiksa.
“Bagaimana bisa sehat kalau kucingnya tidak suka makan? Minum susu pun tidak,” kata teman sekamar Rudi. Ternyata, si kucing itu kalau malam dimasukkan ke dalam toples plastik. Kemudian diberi lubang-lubang kecil. Nah, lewat lubang itu, Rudi memasukkan asap sabu-sabu.
“Kalau saya lagi narik (memakai SS) asapnya disebulkan ke dalam toples. Anak kucing itu ikut nyabu,” ujarnya. Anak kucing tadi hanya bertahan tiga minggu bersama Rudi. Dia meninggal lantaran terkontaminasi asap SS tadi.
Entah kebetulan atau tidak, sehari setelah anak kucing itu meninggal, Rudi mendapat masalah. Dia ditangkap petugas Rutan Medaeng dengan barang bukti dua gram sabu-sabu. Kasusnya diproses di Polsek Waru Sidoarjo.
Selang dua minggu setelah anak kucingnya mati, Rudi kembali memungut anak kucing yang lain. Juga diperlakukan sama. Di pakaikan baju dari kaos kaki dan dimasukkan ke dalam toples plastik sekaligus ditiupi asap sabu. Apa yang terjadi? Nasib si anak kucing kedua itu sama saja. Mati hanya dalam dua minggu setelah “diadopsi” Rudi.
Lalu, selang dua hari, Rudi Jepang kembali kepek dengan barang bukti sabu-sabu lima poket siap edar. Dia diproses lagi di Polsek Waru Sidoarjo. Kini Rudi sudah dilayar (dipindah) ke LP Sidoarjo untuk menunggu proses sidang di Pengadilan Negeri Sidoarjo.
Kebiasaan aneh memungut anak kucing menyisakan satu pertanyaan, “untuk apa sih?”
Pertanyaan ini akhirnya terjawab setelah Rudi dilayar ke LP Sidoarjo. Ternyata, baju si anak kucing yang terbuat dari kaos kaki itu menjadi tempat rahasia untuk menyimpan SS. Yang belum terjawab adalah, mengapa kucingnya harus ikut nyabu juga? (bersambung)
Sumber : Surabaya Post
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar