Oleh : JA NOERTJAHYO
Karsiman membeli seekor kambing lokal di pasar hewan seharga Rp 300.000. Uang itu dia kumpulkan dari penjualan singkong, jagung, dan kelapa selama dua tahun. Setelah dirawat dengan baik hampir setahun, si kambing dikawinkan dan melahirkan dua anak yang kini berumur enam bulan.
...
Kangge ingon-ingon, celengan sakwanci-wanci betah yatra (Untuk peliharaan, simpanan sewaktu-waktu butuh uang)," kata lelaki yang mengaku berumur 45 tahun dan ayah dari tiga anak itu.

Di Desa Tepas, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, itu bukan hanya Karsiman yang memelihara kambing. Banyak penduduk yang memelihara 1-4 ekor ternak kecil yang akrab disebut kambing kacang atau kambing jawa.

Hal serupa mewarnai beberapa desa di sekitar Tepas, seperti Tapakrejo, Nyawangan, Gogoniti, Kalimanis, Doko, dan lain-lain. Kawasan ini menghampar di lereng Gunung Kawi bagian selatan dan memiliki banyak tanaman perkebunan. Penduduk beternak sebagai "selingan" kegiatan tani, dengan pakan hijauan dari limbah pertanian yang digelutinya.

Umumnya penduduk menganggap ternak sebagai raja-kaya (harta benda), sekaligus sebagai tabungan. Tidak sedikit yang memulai dengan memelihara ayam, setelah berkembang biak lalu dijual untuk dibelikan kambing. Eskalasi ini bisa berlanjut. Mereka yang kambingnya sudah beranak pinak kemudian menjualnya untuk dibelikan pedet (anak sapi) atau gudel (anak kerbau). Selain sebagai tabungan, hewan besar ini juga digunakan sebagai tenaga kerja dalam pengolahan tanah pertanian.

Usaha ternak domba-kambing di negeri kita memang didominasi oleh peternakan rakyat karena modalnya tidak besar dan perawatannya gampang. Menurut Oon Furkon, Ketua Himpunan Peternak Domba-Kambing Indonesia (HPDKI) Jawa Timur, sekitar 90 persen populasi domba-kambing adalah milik rakyat yang dikelola secara tradisional. "Peternak komersial yang memiliki piaraan 100 ekor atau lebih bisa dihitung dengan jari tangan," katanya.

Potensi ekonomi domba-kambing memang sangat cocok sebagai peternakan rakyat. Modal yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan beternak sapi misalnya, atau ternak besar lainnya. Cara memelihara pun mudah, sebagai pekerjaan sampingan dan bisa dilakukan oleh anggota keluarga, termasuk anak-anak. Usaha dalam skala kecil tidak memerlukan tempat yang luas.

Selain itu, domba-kambing berkembang biak lebih cepat dibandingkan ternak besar karena sekali beranak bisa melahirkan 2-3 ekor. Bisa dijual setiap saat, baik ke pasar hewan maupun melalui perantara (belantik). Setiap desa memiliki dua atau lebih warga yang berprofesi sebagai belantik.

Akan tetapi, peternakan rakyat secara tradisional seperti itu justru sulit dikembangkan ke tingkat skala-usaha karena pemilikan modal yang terbatas, pengelolaan tidak efisien akibat keterbatasan produksi dan pemasaran, teknologi yang digunakan sederhana, serta kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah.

Kenyataan di lapangan menunjukkan, peternakan tradisional seperti di atas hanya bisa akrab dengan pasaran tradisional pula. Di pasaran, para pembelinya adalah para calon peternak yang mencari "bibit" untuk dipiara sebagai tabungan. Atau tukang sate/gulai, ditambah kebutuhan untuk kambing guling dan sop kambing. Penyerapan untuk konsumsi tradisional ini sangat terbatas sehingga beberapa pengusaha yang mencoba meningkatkan peternakan domba-kambing ke skala usaha sulit berkembang.

Selama ini pemasaran domba-kambing memang menjadi masalah besar bagi para pengusaha peternak. "Peningkatan produksi sangat baik, tapi pemasarannya sulit. Mesin pengolah pakan pun jadi mangkrak dan karatan," kata Nuril Huda, peternak dari Tuban, dalam seminar "Mewujudkan Kesejahteraan Peternak Melalui Agribisnis Domba dan Kambing" di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jatim, 9 Mei 2006.

Di atas kertas, sebenarnya pasar domba-kambing masih sangat besar. Menurut Ir Fauzi Luthan, Direktur Budidaya Ternak Ruminansia Ditjen Peternakan Deptan, kebutuhan domba-kambing secara nasional lebih dari 5,6 juta ekor per tahun. Peluang untuk ekspor pun terbuka luas. Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah dalam tahun 2004 mengimpor 9.303.598 ekor dari Australia, Jerman, Thailand, Selandia Baru, dan lain-lain. Indonesia bisa turut mengisi pasar luar negeri tersebut.

"Angka-angka peluang ekspor seperti itu sering kami dengar. Tetapi, peternak tak pernah bisa memanfaatkan karena informasinya tidak jelas," kata Sartono, peternak asal Banyuwangi.

Oon Furqon membenarkan ucapan Sartono di atas. "Saya pernah didatangi orang yang mengaku importir Malaysia. Namun, setelah saya ajukan penawaran, ternyata ia tidak muncul lagi," ujar pemelihara sekitar 300 domba-kambing dan 25.000 ayam potong itu.

Ditambahkan, pasaran terbesar domba-kambing hanya terjadi setahun sekali, yaitu pada hari raya Idul Adha. "Semua stok yang memenuhi syarat untuk hewan kurban pasti habis," katanya. Selain Idul Adha, pasar lain hanya untuk memenuhi kebutuhan pedagang sate/gulai dan kambing guling, serta orang yang melaksanakan hajatan. Untuk itu pun terkendala dengan kepercayaan masyarakat bahwa daging kambing bisa menyebabkan beberapa penyakit, misalnya memicu tekanan darah tinggi sampai stroke.

"Belum ada diversifikasi pengolahan produk, misalnya berupa abon atau dendeng kambing," kata Oon Furkon.

Pengusaha ternak domba-kambing dalam pemasaran juga sering "bertubrukan" dengan peternak tradisional (rakyat). Misalnya, saat harga pasaran berkisar Rp 17.500 per kilogram domba-kambing hidup, peternak tradisional tidak mau melepaskan karena tidak butuh uang. Tetapi, jika butuh uang untuk membayar sekolah anaknya, ditawar Rp 15.000 per kg pun bisa dilepaskan.

Itulah problem lain yang dihadapi para peternak komersial. Karena jumlah peternak tradisional jauh lebih banyak dibandingkan peternak komersial, kelompok terakhir inilah yang sering berada pada posisi sulit. Akibat lebih jauh, perkembangan usaha komersial pun jadi lamban.

Peternakan tradisional yang tak terkoordinasi dan tersebar lokasinya itu juga sulit untuk memenuhi permintaan luar negeri. Sebab, untuk menghimpunnya dalam jumlah besar memerlukan waktu lama dan biaya yang tak kecil. Masih ditambah lagi tidak adanya standar mutu, baik dari segi umur, ukuran tubuh (bobot), jenis, dan lain-lain.

Menurut data terakhir Ditjen Peternakan Deptan, konsumsi daging domba-kambing memang masih rendah, baru 5 persen dari keseluruhan daging yang dikonsumsi masyarakat. Tempat tertinggi diduduki daging ayam/unggas (56 persen), disusul sapi (23 persen), babi (13 persen), domba-kambing (5 persen), dan lain-lain 3 persen. Dengan komposisi seperti itu, upaya meningkatkan konsumsi daging domba-kambing sepertinya masih terbuka lebar, namun kendala terberat yang dihadapi adalah faktor psikologis, yaitu dikaitkannya daging ini sebagai penyebab beberapa penyakit.

Peningkatan volume penjualan domba-kambing rasanya memang perlu dipikirkan banyak pihak karena populasi ternak ruminansia kecil ini paling besar dibandingkan ternak ruminansia lainnya. Apalagi Jatim sudah menetapkan ternak domba-kambing sebagai komoditas strategis yang harus dikembangkan.

JA Noertjahyo Wartawan, Tinggal di Malang
Sumber : Kompas Jumat, 23 Juni 2006
Diposting oleh petani berdasi

0 komentar:

Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved