Senin, 16 Februari 2009
di
06.36
|
Meski sudah pensiun, H Mahrup Kaseh (60) tetap produktif. Warga Jalan Panji Asmara II Nomor 4 Mataram itu memproduksi jamur tiram yang masih asing bagi warga Nusa Tenggara Barat. "Sampai sekarang banyak yang bertanya, makan tengkong (jamur) apa ndak membuat mabuk dan pingsan," tutur Mahrup.
Jamur tiram bikinannya lebih singkat dalam proses produksinya dibandingkan dengan proses produksi jamur lain yang ia baca dari berbagai buku referensi. Sebutlah seperti membuat media induk jamur dengan tabung reaksi, lalu dipindah ke tabung bibit dan tabung media sebar, yang masing-masing perlu waktu tiga bulan.
Mahrup mempersingkat proses pertumbuhan jamur dari media induk ke media sebar. Caranya mencampur bahan pokok seperti serbuk gergaji, dedak halus, tepung jagung, dan kapur. Setelah disiram air secukupnya, campuran itu diberi pupuk urea dan NPK organik sekadarnya untuk mempercepat proses fermentasi bahan-bahan baku jamur tiram itu.
Sekitar 24 jam kemudian, bahan baku tadi-yang nantinya jadi media tanam- dimasukkan ke dalam alat pres yang dibuatnya sendiri. Hasilnya media tanam berbentuk seperti botol. Media tanam itu dimasukkan dalam polybag atau kantung tanaman dari lembaran plastik yang berlubang-lubang. Bagian atasnya ditutup dengan kapas sebelum dimasukkan ke dalam alat khusus untuk disteril selama 24 jam dengan suhu maksimum 120 derajat Celcius.
Setelah dingin, media tanam jamur dimasukkan ke ruang inkubasi selama sebulan, menunggu tumbuhnya miselium (benang-benang jamur), lalu disimpan di ruang produksi. Sekitar empat bulan kemudian jamur bisa dipanen, dan media jamur itu bisa dipanen maksimal tiga kali.
Untuk mempercepat tumbuhnya miselium, Mahrup memiliki formula khusus yang disebutnya starter, diracik dari tepung jagung halus dan adonan dedak halus yang diayak dengan ayakan kopi. Formula itu dibubuhi di bagian atas media jamur.
"Dalam buku referensi ada bahan yang disebut PDA (Potatoes Dikstrosa Agar). Bahan dikstrosa ini kan susah dicari di Lombok sehingga saya coba bahan lain sebagai substitusinya (tepung jagung halus dan dedak halus)," ujar Mahrup.
Dengan formula pengganti itu, kerja Mahrup lebih efisien, sebab substrat biang murni pertumbuhan jamur itu (PDA) semula dibeli dari pengusaha di Surabaya.
Formula temuan itu mengantarkan Mahrup meraih Anugerah Teknologi Tepat Guna, Kategori Pengembang, dari Pemerintah Provinsi NTB, saat Hari Ulang Tahun NTB, 17 Desember 2004. Ia mendapat hadiah Rp 2.900.000.
Kini produksi jamur Mahrup rata-rata tujuh kilogram per hari dan laku keras dijual di beberapa pasar. Harga jamur tiram dalam kemasan satu ons Rp 20.000 per kilogram (Rp 2.000 per ons), atau lebih tinggi bila dijual eceran di pasar sebesar Rp 3.000-Rp 3.500 per ons. Banyaknya permintaan membuatnya kewalahan melayani konsumen karena produksinya habis terjual dalam sehari.
Selain melayani permintaan jamur tiram, ia juga menjual media jamur rekayasanya sendiri ke petani mitra usaha seharga Rp 2.500 per polybag, dan untuk kalangan umum dijual Rp 3.000-Rp 5.000 per polybag. Perbedaan itu disengaja agar pengusaha mendapat keuntungan dari selisih pembelian dan penjualan. Harga pembelian media jamur sudah tertutup hasil sekali panen, padahal media jamur itu maksimal digunakan untuk tiga kali masa produksi.
Tiap mitra usahanya selain dijatah media jamur sebanyak 200 polybag per bulan, juga disepakati soal harga guna stabilisasi harga. "Jangan sampai harga jadi kacau bila jamur dijual terlalu tinggi atau terlalu rendah," ungkapnya.
Pemasaran jamur tiram maupun media pertumbuhan jamurnya tersebar di Kota Mataram, sejumlah desa di Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Khusus untuk Pulau Sumbawa, pemesan biasanya membeli produk jamur.
"SAYA ingin menunjukkan kepada anak-anak bahwa usia tua bukanlah halangan untuk berprestasi," ujar Mahrup, yang pensiun dari Kantor Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998. Meski demikian, lelaki kelahiran Selong, Ibu Kota Lombok Timur, itu mengaku persinggungannya dengan produksi jamur tiram berlatar belakang ekonomi.
Pasalnya, gaji pensiun sebagai Pegawai negeri sipil sebagian besar tersedot untuk kebutuhan sehari-hari, sementara lima anaknya butuh biaya untuk sekolah dan kuliah. Karena itu, ia menekuni budidaya jamur. Apalagi bahan baku media jamur, yaitu serbuk kayu gergaji, mudah didapatkan di Mataram. "Asal kuat ngangkut saja, malah tukang gergaji berharap saya mengambil semua serbuk gergaji itu," ucapnya.
Tahun 2000 dia merintis usahanya dengan membuat media dengan bibit (PDA tadi) yang dibeli dari Pulau Jawa. Jamur yang produknya dipasarkan sendiri sembari mencari mitra kerja yang bersedia menampung produksinya itu ia beri merek dagang Nihida. Produknya bisa "diatur", rasanya seperti rasa kaldu daging kambing, sapi, dan ayam.
Produknya lambat laun dikenal masyarakat. Bahkan, bengkel kerjanya menjadi tempat pelatihan para mitra usaha dan tempat magang karyawan dinas/instansi, maupun sejumlah anggota lembaga yang bergerak di bidang industri rumah tangga serta ekonomi produktif lainnya.
Setelah bekerja sendiri, dari meracik bahan hingga pemasaran, Mahrup kini dibantu enam pekerja, dua di antaranya pekerja tetap yang bertugas mengadon bahan baku media jamur, dan Mahrup selaku ahlinya. Dua karyawannya itu diupah Rp 200.000 per orang, plus makan-minum tiap hari. Bengkel kerjanya menjadi ramai didatangi anak-anak yang menjual jasa: memasukkan media jamur ke polybag. Mereka diupah Rp 100 per polybag per orang, dan dalam sehari mereka rata-rata mampu menyelesaikan 100 polybag.
Mahrup tidak takut mendapat saingan dari produk lain. Dia juga tidak gentar jika formulanya disadap orang. Alasannya, mutu tergantung pada bahan baku, namun yang terpenting adalah aspek nonteknis yang tidak semua orang memilikinya.
"Sudah banyak yang magang kerja di sini, tetapi selesai magang, mereka datang mengadu, kok media jamur yang dibuatnya hasilnya tidak seperti produk yang saya buat," ucap Mahrup. (KHAERUL ANWAR)
Jamur tiram bikinannya lebih singkat dalam proses produksinya dibandingkan dengan proses produksi jamur lain yang ia baca dari berbagai buku referensi. Sebutlah seperti membuat media induk jamur dengan tabung reaksi, lalu dipindah ke tabung bibit dan tabung media sebar, yang masing-masing perlu waktu tiga bulan.
Mahrup mempersingkat proses pertumbuhan jamur dari media induk ke media sebar. Caranya mencampur bahan pokok seperti serbuk gergaji, dedak halus, tepung jagung, dan kapur. Setelah disiram air secukupnya, campuran itu diberi pupuk urea dan NPK organik sekadarnya untuk mempercepat proses fermentasi bahan-bahan baku jamur tiram itu.
Sekitar 24 jam kemudian, bahan baku tadi-yang nantinya jadi media tanam- dimasukkan ke dalam alat pres yang dibuatnya sendiri. Hasilnya media tanam berbentuk seperti botol. Media tanam itu dimasukkan dalam polybag atau kantung tanaman dari lembaran plastik yang berlubang-lubang. Bagian atasnya ditutup dengan kapas sebelum dimasukkan ke dalam alat khusus untuk disteril selama 24 jam dengan suhu maksimum 120 derajat Celcius.
Setelah dingin, media tanam jamur dimasukkan ke ruang inkubasi selama sebulan, menunggu tumbuhnya miselium (benang-benang jamur), lalu disimpan di ruang produksi. Sekitar empat bulan kemudian jamur bisa dipanen, dan media jamur itu bisa dipanen maksimal tiga kali.
Untuk mempercepat tumbuhnya miselium, Mahrup memiliki formula khusus yang disebutnya starter, diracik dari tepung jagung halus dan adonan dedak halus yang diayak dengan ayakan kopi. Formula itu dibubuhi di bagian atas media jamur.
"Dalam buku referensi ada bahan yang disebut PDA (Potatoes Dikstrosa Agar). Bahan dikstrosa ini kan susah dicari di Lombok sehingga saya coba bahan lain sebagai substitusinya (tepung jagung halus dan dedak halus)," ujar Mahrup.
Dengan formula pengganti itu, kerja Mahrup lebih efisien, sebab substrat biang murni pertumbuhan jamur itu (PDA) semula dibeli dari pengusaha di Surabaya.
Formula temuan itu mengantarkan Mahrup meraih Anugerah Teknologi Tepat Guna, Kategori Pengembang, dari Pemerintah Provinsi NTB, saat Hari Ulang Tahun NTB, 17 Desember 2004. Ia mendapat hadiah Rp 2.900.000.
Kini produksi jamur Mahrup rata-rata tujuh kilogram per hari dan laku keras dijual di beberapa pasar. Harga jamur tiram dalam kemasan satu ons Rp 20.000 per kilogram (Rp 2.000 per ons), atau lebih tinggi bila dijual eceran di pasar sebesar Rp 3.000-Rp 3.500 per ons. Banyaknya permintaan membuatnya kewalahan melayani konsumen karena produksinya habis terjual dalam sehari.
Selain melayani permintaan jamur tiram, ia juga menjual media jamur rekayasanya sendiri ke petani mitra usaha seharga Rp 2.500 per polybag, dan untuk kalangan umum dijual Rp 3.000-Rp 5.000 per polybag. Perbedaan itu disengaja agar pengusaha mendapat keuntungan dari selisih pembelian dan penjualan. Harga pembelian media jamur sudah tertutup hasil sekali panen, padahal media jamur itu maksimal digunakan untuk tiga kali masa produksi.
Tiap mitra usahanya selain dijatah media jamur sebanyak 200 polybag per bulan, juga disepakati soal harga guna stabilisasi harga. "Jangan sampai harga jadi kacau bila jamur dijual terlalu tinggi atau terlalu rendah," ungkapnya.
Pemasaran jamur tiram maupun media pertumbuhan jamurnya tersebar di Kota Mataram, sejumlah desa di Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Khusus untuk Pulau Sumbawa, pemesan biasanya membeli produk jamur.
"SAYA ingin menunjukkan kepada anak-anak bahwa usia tua bukanlah halangan untuk berprestasi," ujar Mahrup, yang pensiun dari Kantor Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998. Meski demikian, lelaki kelahiran Selong, Ibu Kota Lombok Timur, itu mengaku persinggungannya dengan produksi jamur tiram berlatar belakang ekonomi.
Pasalnya, gaji pensiun sebagai Pegawai negeri sipil sebagian besar tersedot untuk kebutuhan sehari-hari, sementara lima anaknya butuh biaya untuk sekolah dan kuliah. Karena itu, ia menekuni budidaya jamur. Apalagi bahan baku media jamur, yaitu serbuk kayu gergaji, mudah didapatkan di Mataram. "Asal kuat ngangkut saja, malah tukang gergaji berharap saya mengambil semua serbuk gergaji itu," ucapnya.
Tahun 2000 dia merintis usahanya dengan membuat media dengan bibit (PDA tadi) yang dibeli dari Pulau Jawa. Jamur yang produknya dipasarkan sendiri sembari mencari mitra kerja yang bersedia menampung produksinya itu ia beri merek dagang Nihida. Produknya bisa "diatur", rasanya seperti rasa kaldu daging kambing, sapi, dan ayam.
Produknya lambat laun dikenal masyarakat. Bahkan, bengkel kerjanya menjadi tempat pelatihan para mitra usaha dan tempat magang karyawan dinas/instansi, maupun sejumlah anggota lembaga yang bergerak di bidang industri rumah tangga serta ekonomi produktif lainnya.
Setelah bekerja sendiri, dari meracik bahan hingga pemasaran, Mahrup kini dibantu enam pekerja, dua di antaranya pekerja tetap yang bertugas mengadon bahan baku media jamur, dan Mahrup selaku ahlinya. Dua karyawannya itu diupah Rp 200.000 per orang, plus makan-minum tiap hari. Bengkel kerjanya menjadi ramai didatangi anak-anak yang menjual jasa: memasukkan media jamur ke polybag. Mereka diupah Rp 100 per polybag per orang, dan dalam sehari mereka rata-rata mampu menyelesaikan 100 polybag.
Mahrup tidak takut mendapat saingan dari produk lain. Dia juga tidak gentar jika formulanya disadap orang. Alasannya, mutu tergantung pada bahan baku, namun yang terpenting adalah aspek nonteknis yang tidak semua orang memilikinya.
"Sudah banyak yang magang kerja di sini, tetapi selesai magang, mereka datang mengadu, kok media jamur yang dibuatnya hasilnya tidak seperti produk yang saya buat," ucap Mahrup. (KHAERUL ANWAR)
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar