Rabu, 25 Februari 2009 di 21.46 |  

INGIN bisnis aman dari pencuri? Cobalah beternak buaya. Dijamin aman, ditambah pemasukan dalam dollar, dan tahan banting dari krisis ekonomi. Setidaknya, itulah pengalaman Tarto Sugiarto (44), pebisnis di Balikpapan yang punya banyak unit usaha: penangkaran buaya berikut taman rekreasinya, distributor berbagai barang konsumsi, grosir, sampai penyedia layanan sambungan Internet.
...

Khusus tentang bisnis penangkaran buaya, Tarto yang Direktur Utama CV Surya Raya itu mengatakan, "Ini bisnis aman karena bebas dari gangguan pencuri. Maling atau pegawai tidak mungkin mencuri buaya."

Di peternakan di Kelurahan Tritip, sekitar 20 km di sebelah utara Balikpapan, kini hidup ribuan ekor buaya berbagai jenis: buaya muara (Crocodylus porosus), buaya supit (Tomistoma schlegelii), dan buaya kodok (Crocodylus siamensis). Setiap Minggu atau hari libur, lokasi milik Tarto itu dipenuhi pengunjung dari berbagai daerah di Kalimantan Timur.

Pengunjung bisa menyaksikan buaya dewasa siap bertelur, makan sate daging buaya, plus membawa oleh-oleh organ tubuh buaya yang diyakini banyak orang sebagai obat dan penambah daya tahan tubuh. Para pengunjung anak-anak juga bisa bergembira ria menunggang dua ekor gajah yang didatangkan dari Way Kambas, Lampung.

Lulusan San Francisco University itu mengungkapkan, buaya sangat tahan terhadap berbagai penyakit dan tidak membutuhkan perawatan serius seperti udang, ikan, atau jenis ternak konvensional lain, seperti sapi dan kambing. Satu-satunya penyakit hanyalah jamur kulit.


***
SECARA ekonomis, menangkarkan buaya sangat menguntungkan. Harga jual kulit buaya sekurangnya 120 dollar AS per ekor. Padahal, sampai panen, biaya yang dikeluarkan hanyalah Rp 450.000 per ekor. Untuk memberi makan ribuan buaya itu, Tarto membeli empat ton daging ayam per bulan yang harganya sekitar Rp 4 juta.

Tarto yang menggeluti bisnis ternak buaya sejak tahun 1991 itu menjelaskan, usaha yang ditekuninya itu memberi keuntungan minimal 25.000 dollar setiap tahun. Itu baru laba dari penjualan kulit 600 ekor buaya yang dihargai 3 dollar per sentimeter persegi.

Pemasukan lain berasal dari penjualan tiket masuk pengunjung peternakan, sate buaya, daging buaya, minyak gosok, pil empedu, hingga tangkur buaya. Khusus untuk tangkur yang katanya dijamin "manjur" mengatasi masalah laki-laki, ia mematok harga sampai Rp 3 juta per tangkur! Dalam setahun, peternakan buaya itu bisa menjual sedikitnya 500 tangkur. Belum lagi hasil penjualan sate daging buaya sekurangnya dua juta rupiah setiap bulan. Minyak buaya dari tiap ekor yang disembelih juga menambah pemasukan sebesar
Rp 300.000. Lebih dari keuntungan bisnis, usaha yang diawaki 20 orang pekerja itu juga menjadi obyek wisata dan konservasi.

Tarto mengaku tak sengaja memasuki bisnis buaya. Tahun 1986, ia bertemu seorang rekan yang beternak buaya di Tarakan, Kalimantan Timur. "Kelihatannya serba mudah dan menjanjikan keuntungan besar," pikirnya ketika itu. Saat itu, harga kulit buaya mencapai 6 dollar per sentimeter persegi. "Dalam hitungan bisnis saya, keuntungan puluhan ribu dollar sudah terbayang," kenang suami dari Susan Soebakti itu.

Bermodal lahan seluas enam hektar di tepi pantai Selat Makassar di kawasan utara Balikpapan dan ditambah biaya lain-lain yang secara keseluruhan mencapai Rp 450 juta, mulailah CV Surya Raya beroperasi. Semuanya dilakukan dengan modal nekat tanpa pengalaman. Perlahan tetapi pasti, ayah Avina Sugiarto dan Adrian Sugiarto itu membuka peternakan buaya.

Pada awal beroperasi, peternakan hanya memiliki 18 ekor buaya muara sehingga semuanya terkesan mudah. Masalah mulai timbul ketika hewan peliharaan Tarto berkembang biak. Memindahkan buaya saat membersihkan kolam menjadi persoalan yang tidak terpikirkan saat awal membuka peternakan.

Berbagai cara ia coba, dari mengurungkan karung ke kepala buaya sampai menggunakan jaring pukat yang digulungkan ke tubuh buaya. "Pokoknya ribet," kata Tarto yang berkali-kali menirukan ulah buaya yang menyebabkan kegagalan pemindahan. Cara mudah dan sederhana baru dia dapat saat mengunjungi Jurong Crocodille Park di Singapura. Ternyata hanya dengan seutas tali nilon dan tongkat besi, buaya dapat takluk. Berbekal seutas tali nilon di ujung sebatang besi, pekerjanya diminta menjerat moncong buaya yang dipilih. Setelah berhasil, tali dililitkan sekali lagi sehingga mulut buaya terkatup. Selanjutnya, buaya akan patuh dituntun ke mana saja!


***
SELUK-beluk pengembangbiakan buaya ia peroleh dari banyak membaca literatur dan bertanya kepada pakar setempat maupun asing, juga belajar ke sejumlah lembaga. "Orang Australia selaku pimpinan Crocodille Specialist Group (CSG) Asia bagian barat, ngotot menyatakan beternak Crocodylus porosus sangat sulit," katanya. Meski sudah mengeluarkan biaya banyak, ilmu yang diajarkan para pakar dari lembaga itu ternyata tidak banyak membuahkan hasil. Ia kemudian berpaling ke Madras di India yang dikenal sebagai pusat CSG Asia Timur. Di sanalah ia mendapat pengetahuan dan pelajaran gratis.

Pembuatan kolam buaya, cara mengatur kondisi lingkungan, pemberian pakan, merawat anak buaya, hingga mengatur siklus sampai panen didapat dari India serta dikombinasikan dengan pengalaman di Balikpapan. Cara itu jitu sehingga sejak tahun 1995 produksi pun berjalan mulus. Buaya berkembang biak dengan pesat.


***
DIA pernah mengalami masa sulit justru ketika berhasil mengembangbiakkan buaya kodok dan buaya supit. Meski di Kaltim masih banyak ditemukan, kedua jenis buaya itu tidak bisa dikomersialkan untuk diambil kulitnya karena tergolong hewan terancam punah.

Tahun 1996, masyarakat Barat mengecam industri kulit buaya Indonesia yang mereka nilai tidak mematuhi konvensi perdagangan hewan langka CITES (Convention on International Trade in Endangered Species). Akibatnya, ekspor kulit buaya Indonesia ditolak. Satu per satu peternakan buaya, terutama di Papua, tumbang hingga tersisa sekitar 30 dari 80 peternakan.

Tahun 1997, pimpinan World Wildlife Fund (WWF), Pangeran Bernhard dari Belanda, mengunjungi peternakan Tritip untuk membuktikan adanya peternakan buaya yang memenuhi standar. Peternakan Tritip dipilih pemerintah, mewakili Indonesia, untuk ditinjau pelbagai lembaga asing.

Setelah keadaan pulih, Tarto melanjutkan usaha, tetapi tidak lupa diri. Dia membuka peternakan buaya model plasma kepada peternak ayam yang berminat. Secara cuma-cuma, dia sediakan 50 ekor buaya bagi plasma, dengan keuntungan minimal Rp 5 juta per tahun dari perhitungan pertumbuhan tubuh buaya. Dalam setahun, seekor buaya bibit tumbuh dari 80 sentimeter menjadi 150 sentimeter. Selisih panjang tubuh dihitung sebagai balas jasa kepada peternak.

Saat ini baru satu peternak ayam di Samarinda yang menjadi plasma. Padahal, di Thailand pola ini berkembang pesat, beternak ayam sambil memelihara buaya. Ingin bisnis aman dari pencuri? Silakan mencoba beternak buaya! (IWAN SANTOSA)

Diposting oleh petani berdasi

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Dear Friend, dimana sy dpt belajar utk budidaya buaya dgn biaya murah.?

3 Desember 2015 pukul 22.00  
Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved