Senin, 27 Juli 2009
di
05.12
|
BILA ingin merasakan salah satu masakan ”kelangenan” di dekat perbatasan Kudus-Purwodadi, warung burung sawah goreng milik Muntirah (50), dapat menjadi salah satu ”jujugan”. Pembeli akan merasakan sensasi aneka burung liar ditambah sambal dan nasi kebul-kebul.
Usaha yang dirintis orang tuanya pada 1965 itu memang menawarkan sesuatu yang lain. Menurut sang empunya warung, setiap hari setidaknya 100 ekor burung laris terjual. ”Kalau sedang ramai, dapat menggoreng hingga 200 ekor burung,” tandasnya.
Jenis burung yang disediakan cukup beraneka ragam. Selain teluk, blekek, ada pula yang memesan burung belibis. Persoalannya, bahan baku masakan ”mak nyos” itu terkadang sulit dicari.”Terutama saat musim kemarau. Maklum, burung tersebut bukan diternakkan, melainkan hidup liar di alam bebas.
Biasanya, mereka memilih tinggal di lokasi yang ada airnya,” ungkapnya.Soal harga, tidak perlu menguras kocek terlalu dalam. Bila menginginkan teruk, seekor yang sudah siap santap harganya Rp 10.000, blekek Rp 5.000, dan belibis Rp 20.000.”Bila ada pejabat yang sedang meninjau Undaan, sering mampir ke warung saya,” katanya bangga.Getok Tular Rupanya, promosi getok tular itu cukup ampuh.
Buktinya, selain kedatangan pelanggan dari kalangan umum hingga ”ndara agung”, dia juga mengaku sering menerima pesanan. ”Mereka biasa menelepon dan pesan burung goreng jenis tertentu,” paparnya.Setiap hari, warung tersebut selalu dijejali pembeli. Karena itu, jika tidak ingin kehabisan lebih baik pesan tempat dulu. Maklumlah, meski tak pernah memasang iklan di media, namun warung Bu Mun tidak pernah sepi dari pelanggan.
“Awalnya saya hanya membantu ibu saya, dan akhirnya saya mempelajari resepnya meneruskan usaha ini hingga sampai sekarang,” kata Tumisih (39), penerus dan pengelola warung makan tersebut. Disinggung soal isu flu burung yang sempat merebak beberapa waktu lalu, dia menyatakan tidak ada pengaruhnya. Pasalnya, jumlah pembeli tidak banyak berubah meski ada pemberitaan mengenai penyakit tersebut.
”Sepertinya tidak ada masalah, tidak ada pengaruhnya,” ungkapnya.Yang jadi persoalan justru ketika pasokan burung menurun. Jika sedang sepi, dia terpaksa banting setir menggantinya dengan ayam. Hal tersebut biasanya terjadi pada bulan Agustus saat burung liar sulit didapat. ”Burung dipasok pelanggan dari beberapa daerah di Grobogan dan Demak,” paparnya.
Salah seorang pembeli, Atok, mengaku secara periodik mengunjungi warung tersebut. Meski saat ini sudah banyak variasi kuliner, sensasi burung liar goreng itu tidak pernah dilewatkannya. ”Iwak manuk, tetep mathuk...” akunya. (71)
Sumber : Suara Merdeka Muria
Usaha yang dirintis orang tuanya pada 1965 itu memang menawarkan sesuatu yang lain. Menurut sang empunya warung, setiap hari setidaknya 100 ekor burung laris terjual. ”Kalau sedang ramai, dapat menggoreng hingga 200 ekor burung,” tandasnya.
Jenis burung yang disediakan cukup beraneka ragam. Selain teluk, blekek, ada pula yang memesan burung belibis. Persoalannya, bahan baku masakan ”mak nyos” itu terkadang sulit dicari.”Terutama saat musim kemarau. Maklum, burung tersebut bukan diternakkan, melainkan hidup liar di alam bebas.
Biasanya, mereka memilih tinggal di lokasi yang ada airnya,” ungkapnya.Soal harga, tidak perlu menguras kocek terlalu dalam. Bila menginginkan teruk, seekor yang sudah siap santap harganya Rp 10.000, blekek Rp 5.000, dan belibis Rp 20.000.”Bila ada pejabat yang sedang meninjau Undaan, sering mampir ke warung saya,” katanya bangga.Getok Tular Rupanya, promosi getok tular itu cukup ampuh.
Buktinya, selain kedatangan pelanggan dari kalangan umum hingga ”ndara agung”, dia juga mengaku sering menerima pesanan. ”Mereka biasa menelepon dan pesan burung goreng jenis tertentu,” paparnya.Setiap hari, warung tersebut selalu dijejali pembeli. Karena itu, jika tidak ingin kehabisan lebih baik pesan tempat dulu. Maklumlah, meski tak pernah memasang iklan di media, namun warung Bu Mun tidak pernah sepi dari pelanggan.
“Awalnya saya hanya membantu ibu saya, dan akhirnya saya mempelajari resepnya meneruskan usaha ini hingga sampai sekarang,” kata Tumisih (39), penerus dan pengelola warung makan tersebut. Disinggung soal isu flu burung yang sempat merebak beberapa waktu lalu, dia menyatakan tidak ada pengaruhnya. Pasalnya, jumlah pembeli tidak banyak berubah meski ada pemberitaan mengenai penyakit tersebut.
”Sepertinya tidak ada masalah, tidak ada pengaruhnya,” ungkapnya.Yang jadi persoalan justru ketika pasokan burung menurun. Jika sedang sepi, dia terpaksa banting setir menggantinya dengan ayam. Hal tersebut biasanya terjadi pada bulan Agustus saat burung liar sulit didapat. ”Burung dipasok pelanggan dari beberapa daerah di Grobogan dan Demak,” paparnya.
Salah seorang pembeli, Atok, mengaku secara periodik mengunjungi warung tersebut. Meski saat ini sudah banyak variasi kuliner, sensasi burung liar goreng itu tidak pernah dilewatkannya. ”Iwak manuk, tetep mathuk...” akunya. (71)
Sumber : Suara Merdeka Muria
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar