Senin, 15 Juni 2009
di
03.34
|
Secara formal, Sarjiyo hanya tamat SMP. Namun, dengan percaya diri dia mengenakan gelar MM. Bila berbicara tentang siklus energi dengan dia, tampak ketepatan gelar MM itu. Sarjiyo murah memberi kata-kata untuk menjelaskan rantai makanan dan perputaran energi di kosmos. Maka, gelar MM mempunyai akronim gurauan buatannya, Sarjiyo men mingkem (biar diam).
Dengan satu tarikan napas, Sarjiyo men-jembreng-kan teori rantai makanan yang mudah diterima akal. Bila lawan bicaranya berasal dari Jawa, kosakata berbahasa Jawa bertebaran di sana-sini. Baginya, kesadaran tentang rantai makanan dan siklus energi inilah yang menjadi pemacu utama masyarakat membuat biogas.
Pria asal Kulon Progo, Yogyakarta, ini dikenal sebagai pembuat instalasi biogas. Sejak tahun 2004 dia berkenalan dengan teori instalasi biogas dan bereksperimen membuat bangunan serta sistem yang bisa mengolah aneka limbah organik menjadi dua produk sekaligus, biogas dan kompos. Instalasi biogas pertama sekaligus laboratorium uji coba buat biogas ada di pekarangan rumahnya di Kulon Progo.
Butuh setahun bagi Sarjiyo untuk mendapatkan desain dan ukuran instalasi biogas yang pas. Dia juga menghitung jumlah kotoran ternak atau theletong. Dari catatannya, seekor sapi menghasilkan minimal 10-15 kilogram kotoran basah per hari.
Theletong itu lantas dimasukkan ke dalam ruang fermentasi biogas. Untuk kebutuhan satu-dua keluarga, ruang kedap udara yang dibutuhkan berukuran sekitar 30 meter kubik. Instalasi itu cukup untuk mengolah kotoran yang dihasilkan dua ekor sapi. Hasil fermentasi kotoran dua ekor sapi setara dengan 0,5 liter minyak tanah dan bisa mencukupi kebutuhan bahan bakar memasak satu keluarga.
Demi penghematan lahan, Sarjiyo membangun instalasi biogas di bawah tanah yang ditutup beton. Di atas beton penutup dimanfaatkan sebagai kandang sapi. Hasilnya, sejumlah warga di Kota Yogyakarta bisa memelihara dua ekor sapi di kandang yang terbatas, bersih, sekaligus memproduksi biogas untuk memasak.
”Konstruksi instalasi saya buat dengan beton karena lebih awet dibandingkan fiber dan plastik. Kalau plastik hanya tahan beberapa tahun, beton bisa puluhan tahun. Selain itu, di atas instalasi plastik tak bisa digunakan untuk kandang dan perawatannya juga sulit,” katanya.
Sementara itu, dengan beton, tambah Sarjiyo, theletong tinggal dimasukkan ke dalam lubang menuju tabung instalasi, lalu biarkan bakteri anaerob yang akan membantu fermentasi.
Gas yang dihasilkan dari fermentasi kotoran sapi ini lantas disalurkan ke dapur untuk dijadikan bahan bakar di kompor. Sarjiyo juga mendesain sendiri kompor berbahan bakar biogas. Kompor ini merupakan modifikasi dari kompor gas biasa.
Ada pula tabel angka yang menunjukkan simpanan gas saat itu. Bila penunjuk menyentuh angka 5, simpanan gas maksimal. Kalau penunjuk sudah merosot sampai ke angka 1, pemakai harus menunggu beberapa saat sebelum memakai kompor lagi.
Kalau tak ada sapi, biogas masih bisa dihasilkan dari aneka jenis kotoran ternak, ampas produksi tahu, kulit kacang, atau limbah organik lain. Semua itu bisa dicemplungkan ke tabung fermentasi sebagai produsen gas metana.
Butuh satu tahun bagi Sarjiyo untuk mendapatkan konstruksi bangunan biogas yang sempurna. Biaya uji coba membuat satu instalasi biogas untuk mengolah kotoran dari dua ekor sapi itu sekitar Rp 4,7 juta.
Setiap kali ada kelemahan, konstruksi biogas langsung diperbaiki. Sekarang, harga pembuatan instalasi itu Rp 9 juta-Rp 10 juta karena kenaikan harga material.
Berawal dari pertanian
Kisah biogas Sarjiyo berawal dari pertanian. Ketika itu, dia mengikuti pelatihan pertanian organik dan biogas yang diadakan salah satu LSM di Yogyakarta. Ada beberapa kawannya yang juga ikut pelatihan itu. Kata Sarjiyo, apa yang dia lakukan hanyalah melanjutkan teori ke praktik langsung.
Persoalan biogas dipahami Sarjiyo sebagai bagian dari pertanian organik. Biogas dihasilkan dari kotoran ternak atau limbah pertanian. Setelah proses fermentasi, tak hanya biogas yang diperoleh, tetapi juga kompos padat dan cair. Kompos yang tak berbau ini bisa digunakan di sawah untuk menyuburkan pertanian.
Setelah hasil pertanian dipanen manusia, limbahnya digunakan untuk pakan ternak. Ternak membantu kerja petani di sawah. Dari ternak itu juga, theletong diproduksi.
”Theletong itu bisa menjadi biogas lagi,” ucap Sarjiyo menjelaskan kesatuan rantai makan-dimakan serta alur energi terbarukan sekaligus sebuah pertanian terpadu.
”Pelaku biogas itu orangnya sendiri, jadi tergantung mau rajin atau tidak. Kalau rajin, ya kompos dibawa ke sawah, sawah pun subur.
Kandang juga bersih karena kotoran disapu ke lubang instalasi biogas. Ini menjadi aspek sosialnya,” ucapnya.
Oleh karena itu, Sarjiyo rajin berkeliling untuk menyebarkan pengetahuan tentang keseimbangan rantai makan-dimakan, pertanian terpadu, hingga biogas dan nol sampah. Petani juga bisa menghemat pengeluaran karena tak perlu lagi membeli bahan bakar untuk memasak.
Inilah yang disebut Sarjiyo dengan fakta, sesuatu yang bisa dilihat manfaatnya secara kasatmata. Fakta juga yang membuat dia tak peduli dengan ejekan sejumlah kawan ketika Sarjiyo baru mulai membangun instalasi. Ejekan itu dilontarkan karena perhitungan instalasi biogas ala Sarjiyo tak sesuai dengan teori di buku. Teori dalam buku itu belum menjadi fakta. Ia percaya dengan hitungannya sendiri.
Buktinya, setelah instalasi biogas terbangun, kerja instalasi ini jauh lebih maksimal dan awet dibandingkan instalasi bikinan orang lain. Di beberapa tempat, Sarjiyo bahkan membangun satu instalasi baru bersisian dengan instalasi biogas buatan salah satu perguruan tinggi.
Setelah berhasil, Sarjiyo semakin gencar membawa biogas ke pelbagai kalangan. Tak hanya petani, tetapi juga berbagai kelompok masyarakat yang tertarik membangun instalasi biogas ala Sarjiyo.
Di Kulon Progo, Sarjiyo dibantu 80-an orang berusia 18-40 tahun yang tergabung dalam Sanggar Solidaritas Petani Lestari. Mereka juga yang membantu Sarjiyo mengerjakan instalasi biogas di berbagai tempat.
Sejak tahun 2004, ada 400 instalasi biogas yang dibuat Sarjiyo. Itu pun baru di wilayah Provinsi DI Yogyakarta. Kalau ditambahkan instalasi dari berbagai daerah di Indonesia, jumlahnya bisa ribuan.
”Karena biogas, saya bisa jalan-jalan ke berbagai tempat, dari Sabang sampai Merauke. Tentunya sembari membahas biogas,” ucapnya.
Jadilah Sarjiyo berkeliling Nusantara ”memasarkan” biogas, instalasi buatannya, dan pertanian terpadu. Begitulah asal mula dia secara bergurau memberi gelar MM bagi dirinya sendiri.
”Sarjiyo MM alias men mingkem, biar diam. Ini karena saya terlalu sering jualan kata-kata (tentang biogas dan pertanian terpadu) ha-ha-ha,” ujar pria penyuka humor ini.
Data Diri
• Nama: Sarjiyo
• Lahir: Kulon Progo, DI Yogyakarta, 3 Desember 1966
• Pendidikan:
- SD Karangwuni, Wates
- SMP Trimurti, Temon, Kulon Progo
- Jurusan Peternakan Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Veteran, Wates (tak lulus)
• Istri: Ida
Pria asal Kulon Progo, Yogyakarta, ini dikenal sebagai pembuat instalasi biogas. Sejak tahun 2004 dia berkenalan dengan teori instalasi biogas dan bereksperimen membuat bangunan serta sistem yang bisa mengolah aneka limbah organik menjadi dua produk sekaligus, biogas dan kompos. Instalasi biogas pertama sekaligus laboratorium uji coba buat biogas ada di pekarangan rumahnya di Kulon Progo.
Butuh setahun bagi Sarjiyo untuk mendapatkan desain dan ukuran instalasi biogas yang pas. Dia juga menghitung jumlah kotoran ternak atau theletong. Dari catatannya, seekor sapi menghasilkan minimal 10-15 kilogram kotoran basah per hari.
Theletong itu lantas dimasukkan ke dalam ruang fermentasi biogas. Untuk kebutuhan satu-dua keluarga, ruang kedap udara yang dibutuhkan berukuran sekitar 30 meter kubik. Instalasi itu cukup untuk mengolah kotoran yang dihasilkan dua ekor sapi. Hasil fermentasi kotoran dua ekor sapi setara dengan 0,5 liter minyak tanah dan bisa mencukupi kebutuhan bahan bakar memasak satu keluarga.
Demi penghematan lahan, Sarjiyo membangun instalasi biogas di bawah tanah yang ditutup beton. Di atas beton penutup dimanfaatkan sebagai kandang sapi. Hasilnya, sejumlah warga di Kota Yogyakarta bisa memelihara dua ekor sapi di kandang yang terbatas, bersih, sekaligus memproduksi biogas untuk memasak.
”Konstruksi instalasi saya buat dengan beton karena lebih awet dibandingkan fiber dan plastik. Kalau plastik hanya tahan beberapa tahun, beton bisa puluhan tahun. Selain itu, di atas instalasi plastik tak bisa digunakan untuk kandang dan perawatannya juga sulit,” katanya.
Sementara itu, dengan beton, tambah Sarjiyo, theletong tinggal dimasukkan ke dalam lubang menuju tabung instalasi, lalu biarkan bakteri anaerob yang akan membantu fermentasi.
Gas yang dihasilkan dari fermentasi kotoran sapi ini lantas disalurkan ke dapur untuk dijadikan bahan bakar di kompor. Sarjiyo juga mendesain sendiri kompor berbahan bakar biogas. Kompor ini merupakan modifikasi dari kompor gas biasa.
Ada pula tabel angka yang menunjukkan simpanan gas saat itu. Bila penunjuk menyentuh angka 5, simpanan gas maksimal. Kalau penunjuk sudah merosot sampai ke angka 1, pemakai harus menunggu beberapa saat sebelum memakai kompor lagi.
Kalau tak ada sapi, biogas masih bisa dihasilkan dari aneka jenis kotoran ternak, ampas produksi tahu, kulit kacang, atau limbah organik lain. Semua itu bisa dicemplungkan ke tabung fermentasi sebagai produsen gas metana.
Butuh satu tahun bagi Sarjiyo untuk mendapatkan konstruksi bangunan biogas yang sempurna. Biaya uji coba membuat satu instalasi biogas untuk mengolah kotoran dari dua ekor sapi itu sekitar Rp 4,7 juta.
Setiap kali ada kelemahan, konstruksi biogas langsung diperbaiki. Sekarang, harga pembuatan instalasi itu Rp 9 juta-Rp 10 juta karena kenaikan harga material.
Berawal dari pertanian
Kisah biogas Sarjiyo berawal dari pertanian. Ketika itu, dia mengikuti pelatihan pertanian organik dan biogas yang diadakan salah satu LSM di Yogyakarta. Ada beberapa kawannya yang juga ikut pelatihan itu. Kata Sarjiyo, apa yang dia lakukan hanyalah melanjutkan teori ke praktik langsung.
Persoalan biogas dipahami Sarjiyo sebagai bagian dari pertanian organik. Biogas dihasilkan dari kotoran ternak atau limbah pertanian. Setelah proses fermentasi, tak hanya biogas yang diperoleh, tetapi juga kompos padat dan cair. Kompos yang tak berbau ini bisa digunakan di sawah untuk menyuburkan pertanian.
Setelah hasil pertanian dipanen manusia, limbahnya digunakan untuk pakan ternak. Ternak membantu kerja petani di sawah. Dari ternak itu juga, theletong diproduksi.
”Theletong itu bisa menjadi biogas lagi,” ucap Sarjiyo menjelaskan kesatuan rantai makan-dimakan serta alur energi terbarukan sekaligus sebuah pertanian terpadu.
”Pelaku biogas itu orangnya sendiri, jadi tergantung mau rajin atau tidak. Kalau rajin, ya kompos dibawa ke sawah, sawah pun subur.
Kandang juga bersih karena kotoran disapu ke lubang instalasi biogas. Ini menjadi aspek sosialnya,” ucapnya.
Oleh karena itu, Sarjiyo rajin berkeliling untuk menyebarkan pengetahuan tentang keseimbangan rantai makan-dimakan, pertanian terpadu, hingga biogas dan nol sampah. Petani juga bisa menghemat pengeluaran karena tak perlu lagi membeli bahan bakar untuk memasak.
Inilah yang disebut Sarjiyo dengan fakta, sesuatu yang bisa dilihat manfaatnya secara kasatmata. Fakta juga yang membuat dia tak peduli dengan ejekan sejumlah kawan ketika Sarjiyo baru mulai membangun instalasi. Ejekan itu dilontarkan karena perhitungan instalasi biogas ala Sarjiyo tak sesuai dengan teori di buku. Teori dalam buku itu belum menjadi fakta. Ia percaya dengan hitungannya sendiri.
Buktinya, setelah instalasi biogas terbangun, kerja instalasi ini jauh lebih maksimal dan awet dibandingkan instalasi bikinan orang lain. Di beberapa tempat, Sarjiyo bahkan membangun satu instalasi baru bersisian dengan instalasi biogas buatan salah satu perguruan tinggi.
Setelah berhasil, Sarjiyo semakin gencar membawa biogas ke pelbagai kalangan. Tak hanya petani, tetapi juga berbagai kelompok masyarakat yang tertarik membangun instalasi biogas ala Sarjiyo.
Di Kulon Progo, Sarjiyo dibantu 80-an orang berusia 18-40 tahun yang tergabung dalam Sanggar Solidaritas Petani Lestari. Mereka juga yang membantu Sarjiyo mengerjakan instalasi biogas di berbagai tempat.
Sejak tahun 2004, ada 400 instalasi biogas yang dibuat Sarjiyo. Itu pun baru di wilayah Provinsi DI Yogyakarta. Kalau ditambahkan instalasi dari berbagai daerah di Indonesia, jumlahnya bisa ribuan.
”Karena biogas, saya bisa jalan-jalan ke berbagai tempat, dari Sabang sampai Merauke. Tentunya sembari membahas biogas,” ucapnya.
Jadilah Sarjiyo berkeliling Nusantara ”memasarkan” biogas, instalasi buatannya, dan pertanian terpadu. Begitulah asal mula dia secara bergurau memberi gelar MM bagi dirinya sendiri.
”Sarjiyo MM alias men mingkem, biar diam. Ini karena saya terlalu sering jualan kata-kata (tentang biogas dan pertanian terpadu) ha-ha-ha,” ujar pria penyuka humor ini.
Data Diri
• Nama: Sarjiyo
• Lahir: Kulon Progo, DI Yogyakarta, 3 Desember 1966
• Pendidikan:
- SD Karangwuni, Wates
- SMP Trimurti, Temon, Kulon Progo
- Jurusan Peternakan Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Veteran, Wates (tak lulus)
• Istri: Ida
Sumber : Kompas
Reporter : Agnes Rita Sulistyawaty
Diposting oleh
petani berdasi
0 komentar:
Posting Komentar