Oleh HENDRIYO WIDI

Sehari-hari Kusaeri Yusuf Sudarno adalah guru di Sekolah Dasar Dresi Wetan, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Namun, di luar tugasnya itu dia prihatin dengan semakin habisnya generasi pendongeng di Rembang.
Kusaeri cemas dongeng-dongeng rakyat Rembang akan musnah. Pasalnya, banyak pendongeng di Rembang yang meninggal dunia atau telah berusia di atas 65 tahun.

”Kemungkinan besar mereka akan bertahan satu dasawarsa lagi. Selama waktu itu pula usia mereka terus menua hingga tak mampu lagi mendongeng,” kata Kusaeri.
Untuk itulah, Kusaeri berinisiatif mengumpulkan dongeng-dongeng dari 294 desa yang termasuk dalam 14 kecamatan di wilayah Kabupaten Rembang. Dongeng-dongeng itu lalu dia tulis dan dikumpulkan dalam dua jilid buku berjudul Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang.
...
Buku jilid pertama hasil karyanya tersebut setebal 182 halaman berisi 25 dongeng. Adapun buku jilid kedua setebal 193 halaman dengan 23 dongeng.
Penulisan buku dongeng itu tak mudah baginya. Meski Kusaeri sudah mulai menulis buku tentang berbagai bidang, terutama yang berkaitan dengan bahasa Jawa sejak tahun 1974.

”Kesulitan itu dimulai dari menemukan generasi tutur yang masih fasih bercerita tentang dongeng-dongeng di desa masing-masing,” katanya. Namun, berkat bantuan dari sejarawan di Rembang, seperti Slamet Wijaya dan Sigit Wicaksono, dongeng-dongeng rakyat itu bisa terkumpul.
”Saya juga mendapat banyak informasi tentang dongeng rakyat dari para tokoh masyarakat di 14 kecamatan itu. Mereka masih bisa mengingat dongeng yang sering dikisahkan para orangtua dulu,” katanya.

Dongeng rakyat tersebut umumnya berkisah tentang asal-usul suatu daerah atau desa dengan beragam adat dan budayanya. Terkadang dongeng juga masuk dalam ranah sejarah. Di Rembang, dongeng yang berkembang umumnya berkaitan dengan Kerajaan Majapahit, Mataram masa Islam, dan Demak.
”Semula terkumpul 108 cerita rakyat. Namun, setelah diteliti lagi, ada kisah-kisah yang mirip. Jadi, saya gabungkan saja kisah-kisah (yang mirip) itu,” tutur Kusaeri, yang untuk menuliskan kembali dongeng rakyat Rembang itu memerlukan waktu sekitar enam bulan.
Makna cerita

Setiap cerita dalam buku Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang yang beredar mulai Juni 2009 mengandung makna untuk kehidupan kita. ”Ternyata dongeng itu bisa menjadi ’kaca benggala’, teladan yang berguna selama kita hidup di dunia,” tutur Kusaeri.
Dia lalu mencontohkan dongeng Si Kancil, yang para tokohnya menggambarkan berbagai sifat baik dan buruk dari manusia. ”Sifat baik dan buruk itu digambarkan lewat karakter berbagai binatang. Ini tentunya lebih menarik untuk anak-anak.”
Kusaeri lalu bercerita tentang berbagai dongeng rakyat Rembang, seperti Legenda Mbah Sarah, Bende Becak Sunan Bonang, dan Putri Cempa.

”Dongeng itu membuat imajinasi anak-anak berkembang. Dengan mendengarkan atau membaca dongeng, anak bisa menghadirkan tokoh-tokoh dan jalinan alur cerita itu dalam imajinasi masing-masing,” kata Kusaeri.
Pengalaman Kusaeri sebagai guru sejak tahun 1972 membuat dia menyadari bahwa pembelajaran lebih efektif apabila disampaikan dengan cara yang menarik. Dia memilih mendongeng ketika melihat para siswa merasa ”berat” menerima pelajaran.
”Untuk mengusir kebosanan siswa di kelas, saya suka mendongeng. Cara ini ternyata berhasil membuat siswa kembali memerhatikan pelajaran,” katanya.

Terbiasa dengan dongeng
Kusaeri lahir di Desa Jambangan, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang. Ayahnya adalah seorang petani, sedangkan sang bunda menjadi ibu rumah tangga. Namun, sejak kecil dia sudah akrab dengan dunia dongeng.
”Sebelum tidur biasanya bapak, atau ibu, kadang juga kakek atau nenek kami, suka mendongeng. Mereka menanamkan nilai-nilai moral dalam kehidupan ini secara tidak langsung, lewat dongeng,” kata Kusaeri mengenang.

Tanpa sadar, dongeng-dongeng masa kecil itu tetap diingatnya sampai dewasa. Kusaeri tak lagi akrab dengan dongeng ketika duduk di sekolah menengah pertama hingga menjadi siswa sekolah pendidikan guru atau SPG di Rembang. Selulus dari SPG pada tahun 1972 dia menjadi guru Bahasa Jawa. Selain mengajar, ia juga menambah pengetahuan dengan belajar di berbagai perguruan tinggi swasta.

Dua tahun setelah mengajar, tahun 1974, Kusaeri mulai menulis artikel dan cerita pendek. Dia menulis berbagai bidang yang diminatinya, mulai dari masalah kebudayaan, agama, sampai yang berkaitan dengan tugasnya sebagai guru Bahasa Jawa.
Kusaeri kemudian mengirimkan tulisan-tulisan analisisnya tentang berbagi bidang itu ke media massa. Jadi selama beberapa tahun dia juga menjadi penulis dan pengisi kolom untuk majalah Srikandi di Kabupaten Rembang dan majalah Swadesi yang beredar di wilayah Jateng.
Bahasa Jawa

Seiring berjalannya waktu, dunia tulis-menulis semakin lekat dengan Kusaeri. Dia kemudian juga menulis buku-buku, terutama yang menyangkut bahasa Jawa, mulai dari aksaranya sampai soal tata krama. Kusaeri menggarisbawahi tata krama sebagian generasi masa kini.
Menurut dia, belakangan ini tata krama yang lekat dengan kebudayaan Jawa semakin ditinggalkan. Kusaeri memberi contoh tentang kebiasaan untuk permisi saat orang muda hendak berjalan melewati orang tua atau kebiasaan berbahasa Jawa kromo (halus) kepada mereka yang berusia lebih tua.

”Dulu, kalau kita berjalan melewati orang yang lebih tua, pasti permisi, nyuwun sewu.... Kalau orang muda berbicara dengan mereka yang lebih tua usianya, yang digunakan adalah bahasa Jawa kromo bukan ngoko,” tuturnya.
”Semua itu sudah ditinggalkan sejak 1980-an. Unggah-ungguh atau tata krama anak-anak kita terus terkikis. Mereka tidak lagi dapat membedakan dan memperlakukan mana yang teman dan mana orang tua,” lanjut Kusaeri.

Kembali tentang buku dongengnya, Kusaeri yakin lewat dongeng, selain tuntunan hidup itu bisa diwariskan kepada generasi penerus, kaum muda juga bisa belajar sejarah.
”Lewat dongeng tentang kejayaan kerajaan-kerajaan masa lalu, misalnya, bisa membuat kaum muda makin kuat nasionalismenya. Ini bisa melengkapi sisa-sisa kejayaan itu yang bisa dilihat secara fisik lewat punden, patung, candi, dan sebagainya,” kata Kusaeri.

BIODATA
• Nama: Kusaeri Yusuf Sudarno
• Lahir: Rembang, Jawa Tengah, 6 April 1954

• Istri: Sasti Jamilah

• Anak: Mulyono Agung Pambudi (15)

• Pendidikan: - SD Negeri Sarang, Rembang - SMP Negeri Rembang - SPG Rembang - IKIP PGRI Tuban - Universitas Islam Malang - IKIP PGRI Veteran Semarang

• Pekerjaan: Guru SD Dresi Wetan, Kecamatan Kaliori, Rembang

• Penghargaan: - Juara I Lomba Menulis tentang Sumber Daya Laut tingkat Guru SD se-Jawa Tengah, 2000 - Juara I Lomba Mata Pelajaran Mengarang Guru tingkat Nasional 1995/1996 - Penghargaan Widya Bhakti Upa Pradana, 1996

• Karya antara lain:
- Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang
- Mengenal Riwayat Hidup Rasulullah Muhammad SAW
- Gulat Pathol dari Sarang
Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Juli 2009
Diposting oleh petani berdasi
BILA ingin merasakan salah satu masakan ”kelangenan” di dekat perbatasan Kudus-Purwodadi, warung burung sawah goreng milik Muntirah (50), dapat menjadi salah satu ”jujugan”. Pembeli akan merasakan sensasi aneka burung liar ditambah sambal dan nasi kebul-kebul.

Usaha yang dirintis orang tuanya pada 1965 itu memang menawarkan sesuatu yang lain. Menurut sang empunya warung, setiap hari setidaknya 100 ekor burung laris terjual. ”Kalau sedang ramai, dapat menggoreng hingga 200 ekor burung,” tandasnya.
...
Jenis burung yang disediakan cukup beraneka ragam. Selain teluk, blekek, ada pula yang memesan burung belibis. Persoalannya, bahan baku masakan ”mak nyos” itu terkadang sulit dicari.”Terutama saat musim kemarau. Maklum, burung tersebut bukan diternakkan, melainkan hidup liar di alam bebas.


Biasanya, mereka memilih tinggal di lokasi yang ada airnya,” ungkapnya.Soal harga, tidak perlu menguras kocek terlalu dalam. Bila menginginkan teruk, seekor yang sudah siap santap harganya Rp 10.000, blekek Rp 5.000, dan belibis Rp 20.000.”Bila ada pejabat yang sedang meninjau Undaan, sering mampir ke warung saya,” katanya bangga.Getok Tular Rupanya, promosi getok tular itu cukup ampuh.

Buktinya, selain kedatangan pelanggan dari kalangan umum hingga ”ndara agung”, dia juga mengaku sering menerima pesanan. ”Mereka biasa menelepon dan pesan burung goreng jenis tertentu,” paparnya.Setiap hari, warung tersebut selalu dijejali pembeli. Karena itu, jika tidak ingin kehabisan lebih baik pesan tempat dulu. Maklumlah, meski tak pernah memasang iklan di media, namun warung Bu Mun tidak pernah sepi dari pelanggan.

“Awalnya saya hanya membantu ibu saya, dan akhirnya saya mempelajari resepnya meneruskan usaha ini hingga sampai sekarang,” kata Tumisih (39), penerus dan pengelola warung makan tersebut. Disinggung soal isu flu burung yang sempat merebak beberapa waktu lalu, dia menyatakan tidak ada pengaruhnya. Pasalnya, jumlah pembeli tidak banyak berubah meski ada pemberitaan mengenai penyakit tersebut.

”Sepertinya tidak ada masalah, tidak ada pengaruhnya,” ungkapnya.Yang jadi persoalan justru ketika pasokan burung menurun. Jika sedang sepi, dia terpaksa banting setir menggantinya dengan ayam. Hal tersebut biasanya terjadi pada bulan Agustus saat burung liar sulit didapat. ”Burung dipasok pelanggan dari beberapa daerah di Grobogan dan Demak,” paparnya.

Salah seorang pembeli, Atok, mengaku secara periodik mengunjungi warung tersebut. Meski saat ini sudah banyak variasi kuliner, sensasi burung liar goreng itu tidak pernah dilewatkannya. ”Iwak manuk, tetep mathuk...” akunya. (71)
Sumber : Suara Merdeka Muria

Diposting oleh petani berdasi
Visit the Site
Bila Anda belum menemukan cinta yang Anda inginkan, jangan buru-buru merasa unlucky in love. Karena kalimat bijak mengatakan, cinta akan datang saat kita tidak mengharapkannya. Bagaimana menurut Anda? -Copyright at Dhe To © 2009, All rights reserved