Kamis, 30 Juli 2009
di
20.39
|
0
komentar
Oleh HENDRIYO WIDI
Sehari-hari Kusaeri Yusuf Sudarno adalah guru di Sekolah Dasar Dresi Wetan, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Namun, di luar tugasnya itu dia prihatin dengan semakin habisnya generasi pendongeng di Rembang.
Kusaeri cemas dongeng-dongeng rakyat Rembang akan musnah. Pasalnya, banyak pendongeng di Rembang yang meninggal dunia atau telah berusia di atas 65 tahun.
Kusaeri cemas dongeng-dongeng rakyat Rembang akan musnah. Pasalnya, banyak pendongeng di Rembang yang meninggal dunia atau telah berusia di atas 65 tahun.
”Kemungkinan besar mereka akan bertahan satu dasawarsa lagi. Selama waktu itu pula usia mereka terus menua hingga tak mampu lagi mendongeng,” kata Kusaeri.
Untuk itulah, Kusaeri berinisiatif mengumpulkan dongeng-dongeng dari 294 desa yang termasuk dalam 14 kecamatan di wilayah Kabupaten Rembang. Dongeng-dongeng itu lalu dia tulis dan dikumpulkan dalam dua jilid buku berjudul Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang.
Buku jilid pertama hasil karyanya tersebut setebal 182 halaman berisi 25 dongeng. Adapun buku jilid kedua setebal 193 halaman dengan 23 dongeng.
Penulisan buku dongeng itu tak mudah baginya. Meski Kusaeri sudah mulai menulis buku tentang berbagai bidang, terutama yang berkaitan dengan bahasa Jawa sejak tahun 1974.
Untuk itulah, Kusaeri berinisiatif mengumpulkan dongeng-dongeng dari 294 desa yang termasuk dalam 14 kecamatan di wilayah Kabupaten Rembang. Dongeng-dongeng itu lalu dia tulis dan dikumpulkan dalam dua jilid buku berjudul Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang.
Buku jilid pertama hasil karyanya tersebut setebal 182 halaman berisi 25 dongeng. Adapun buku jilid kedua setebal 193 halaman dengan 23 dongeng.
Penulisan buku dongeng itu tak mudah baginya. Meski Kusaeri sudah mulai menulis buku tentang berbagai bidang, terutama yang berkaitan dengan bahasa Jawa sejak tahun 1974.
”Kesulitan itu dimulai dari menemukan generasi tutur yang masih fasih bercerita tentang dongeng-dongeng di desa masing-masing,” katanya. Namun, berkat bantuan dari sejarawan di Rembang, seperti Slamet Wijaya dan Sigit Wicaksono, dongeng-dongeng rakyat itu bisa terkumpul.
”Saya juga mendapat banyak informasi tentang dongeng rakyat dari para tokoh masyarakat di 14 kecamatan itu. Mereka masih bisa mengingat dongeng yang sering dikisahkan para orangtua dulu,” katanya.
”Saya juga mendapat banyak informasi tentang dongeng rakyat dari para tokoh masyarakat di 14 kecamatan itu. Mereka masih bisa mengingat dongeng yang sering dikisahkan para orangtua dulu,” katanya.
Dongeng rakyat tersebut umumnya berkisah tentang asal-usul suatu daerah atau desa dengan beragam adat dan budayanya. Terkadang dongeng juga masuk dalam ranah sejarah. Di Rembang, dongeng yang berkembang umumnya berkaitan dengan Kerajaan Majapahit, Mataram masa Islam, dan Demak.
”Semula terkumpul 108 cerita rakyat. Namun, setelah diteliti lagi, ada kisah-kisah yang mirip. Jadi, saya gabungkan saja kisah-kisah (yang mirip) itu,” tutur Kusaeri, yang untuk menuliskan kembali dongeng rakyat Rembang itu memerlukan waktu sekitar enam bulan.
Makna cerita
”Semula terkumpul 108 cerita rakyat. Namun, setelah diteliti lagi, ada kisah-kisah yang mirip. Jadi, saya gabungkan saja kisah-kisah (yang mirip) itu,” tutur Kusaeri, yang untuk menuliskan kembali dongeng rakyat Rembang itu memerlukan waktu sekitar enam bulan.
Makna cerita
Setiap cerita dalam buku Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang yang beredar mulai Juni 2009 mengandung makna untuk kehidupan kita. ”Ternyata dongeng itu bisa menjadi ’kaca benggala’, teladan yang berguna selama kita hidup di dunia,” tutur Kusaeri.
Dia lalu mencontohkan dongeng Si Kancil, yang para tokohnya menggambarkan berbagai sifat baik dan buruk dari manusia. ”Sifat baik dan buruk itu digambarkan lewat karakter berbagai binatang. Ini tentunya lebih menarik untuk anak-anak.”
Kusaeri lalu bercerita tentang berbagai dongeng rakyat Rembang, seperti Legenda Mbah Sarah, Bende Becak Sunan Bonang, dan Putri Cempa.
Dia lalu mencontohkan dongeng Si Kancil, yang para tokohnya menggambarkan berbagai sifat baik dan buruk dari manusia. ”Sifat baik dan buruk itu digambarkan lewat karakter berbagai binatang. Ini tentunya lebih menarik untuk anak-anak.”
Kusaeri lalu bercerita tentang berbagai dongeng rakyat Rembang, seperti Legenda Mbah Sarah, Bende Becak Sunan Bonang, dan Putri Cempa.
”Dongeng itu membuat imajinasi anak-anak berkembang. Dengan mendengarkan atau membaca dongeng, anak bisa menghadirkan tokoh-tokoh dan jalinan alur cerita itu dalam imajinasi masing-masing,” kata Kusaeri.
Pengalaman Kusaeri sebagai guru sejak tahun 1972 membuat dia menyadari bahwa pembelajaran lebih efektif apabila disampaikan dengan cara yang menarik. Dia memilih mendongeng ketika melihat para siswa merasa ”berat” menerima pelajaran.
”Untuk mengusir kebosanan siswa di kelas, saya suka mendongeng. Cara ini ternyata berhasil membuat siswa kembali memerhatikan pelajaran,” katanya.
Pengalaman Kusaeri sebagai guru sejak tahun 1972 membuat dia menyadari bahwa pembelajaran lebih efektif apabila disampaikan dengan cara yang menarik. Dia memilih mendongeng ketika melihat para siswa merasa ”berat” menerima pelajaran.
”Untuk mengusir kebosanan siswa di kelas, saya suka mendongeng. Cara ini ternyata berhasil membuat siswa kembali memerhatikan pelajaran,” katanya.
Terbiasa dengan dongeng
Kusaeri lahir di Desa Jambangan, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang. Ayahnya adalah seorang petani, sedangkan sang bunda menjadi ibu rumah tangga. Namun, sejak kecil dia sudah akrab dengan dunia dongeng.
”Sebelum tidur biasanya bapak, atau ibu, kadang juga kakek atau nenek kami, suka mendongeng. Mereka menanamkan nilai-nilai moral dalam kehidupan ini secara tidak langsung, lewat dongeng,” kata Kusaeri mengenang.
Kusaeri lahir di Desa Jambangan, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang. Ayahnya adalah seorang petani, sedangkan sang bunda menjadi ibu rumah tangga. Namun, sejak kecil dia sudah akrab dengan dunia dongeng.
”Sebelum tidur biasanya bapak, atau ibu, kadang juga kakek atau nenek kami, suka mendongeng. Mereka menanamkan nilai-nilai moral dalam kehidupan ini secara tidak langsung, lewat dongeng,” kata Kusaeri mengenang.
Tanpa sadar, dongeng-dongeng masa kecil itu tetap diingatnya sampai dewasa. Kusaeri tak lagi akrab dengan dongeng ketika duduk di sekolah menengah pertama hingga menjadi siswa sekolah pendidikan guru atau SPG di Rembang. Selulus dari SPG pada tahun 1972 dia menjadi guru Bahasa Jawa. Selain mengajar, ia juga menambah pengetahuan dengan belajar di berbagai perguruan tinggi swasta.
Dua tahun setelah mengajar, tahun 1974, Kusaeri mulai menulis artikel dan cerita pendek. Dia menulis berbagai bidang yang diminatinya, mulai dari masalah kebudayaan, agama, sampai yang berkaitan dengan tugasnya sebagai guru Bahasa Jawa.
Kusaeri kemudian mengirimkan tulisan-tulisan analisisnya tentang berbagi bidang itu ke media massa. Jadi selama beberapa tahun dia juga menjadi penulis dan pengisi kolom untuk majalah Srikandi di Kabupaten Rembang dan majalah Swadesi yang beredar di wilayah Jateng.
Bahasa Jawa
Kusaeri kemudian mengirimkan tulisan-tulisan analisisnya tentang berbagi bidang itu ke media massa. Jadi selama beberapa tahun dia juga menjadi penulis dan pengisi kolom untuk majalah Srikandi di Kabupaten Rembang dan majalah Swadesi yang beredar di wilayah Jateng.
Bahasa Jawa
Seiring berjalannya waktu, dunia tulis-menulis semakin lekat dengan Kusaeri. Dia kemudian juga menulis buku-buku, terutama yang menyangkut bahasa Jawa, mulai dari aksaranya sampai soal tata krama. Kusaeri menggarisbawahi tata krama sebagian generasi masa kini.
Menurut dia, belakangan ini tata krama yang lekat dengan kebudayaan Jawa semakin ditinggalkan. Kusaeri memberi contoh tentang kebiasaan untuk permisi saat orang muda hendak berjalan melewati orang tua atau kebiasaan berbahasa Jawa kromo (halus) kepada mereka yang berusia lebih tua.
Menurut dia, belakangan ini tata krama yang lekat dengan kebudayaan Jawa semakin ditinggalkan. Kusaeri memberi contoh tentang kebiasaan untuk permisi saat orang muda hendak berjalan melewati orang tua atau kebiasaan berbahasa Jawa kromo (halus) kepada mereka yang berusia lebih tua.
”Dulu, kalau kita berjalan melewati orang yang lebih tua, pasti permisi, nyuwun sewu.... Kalau orang muda berbicara dengan mereka yang lebih tua usianya, yang digunakan adalah bahasa Jawa kromo bukan ngoko,” tuturnya.
”Semua itu sudah ditinggalkan sejak 1980-an. Unggah-ungguh atau tata krama anak-anak kita terus terkikis. Mereka tidak lagi dapat membedakan dan memperlakukan mana yang teman dan mana orang tua,” lanjut Kusaeri.
”Semua itu sudah ditinggalkan sejak 1980-an. Unggah-ungguh atau tata krama anak-anak kita terus terkikis. Mereka tidak lagi dapat membedakan dan memperlakukan mana yang teman dan mana orang tua,” lanjut Kusaeri.
Kembali tentang buku dongengnya, Kusaeri yakin lewat dongeng, selain tuntunan hidup itu bisa diwariskan kepada generasi penerus, kaum muda juga bisa belajar sejarah.
”Lewat dongeng tentang kejayaan kerajaan-kerajaan masa lalu, misalnya, bisa membuat kaum muda makin kuat nasionalismenya. Ini bisa melengkapi sisa-sisa kejayaan itu yang bisa dilihat secara fisik lewat punden, patung, candi, dan sebagainya,” kata Kusaeri.
”Lewat dongeng tentang kejayaan kerajaan-kerajaan masa lalu, misalnya, bisa membuat kaum muda makin kuat nasionalismenya. Ini bisa melengkapi sisa-sisa kejayaan itu yang bisa dilihat secara fisik lewat punden, patung, candi, dan sebagainya,” kata Kusaeri.
BIODATA
• Nama: Kusaeri Yusuf Sudarno
• Nama: Kusaeri Yusuf Sudarno
• Lahir: Rembang, Jawa Tengah, 6 April 1954
• Istri: Sasti Jamilah
• Anak: Mulyono Agung Pambudi (15)
• Pendidikan: - SD Negeri Sarang, Rembang - SMP Negeri Rembang - SPG Rembang - IKIP PGRI Tuban - Universitas Islam Malang - IKIP PGRI Veteran Semarang
• Pekerjaan: Guru SD Dresi Wetan, Kecamatan Kaliori, Rembang
• Penghargaan: - Juara I Lomba Menulis tentang Sumber Daya Laut tingkat Guru SD se-Jawa Tengah, 2000 - Juara I Lomba Mata Pelajaran Mengarang Guru tingkat Nasional 1995/1996 - Penghargaan Widya Bhakti Upa Pradana, 1996
• Karya antara lain:
- Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang
- Mengenal Riwayat Hidup Rasulullah Muhammad SAW
- Gulat Pathol dari Sarang
Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Juli 2009
Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Juli 2009
Diposting oleh
petani berdasi